Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raja yang pucat itu, Pandu, wafat, dan ritus pemakaman yang sedih berjalan di kaki bukit di timur Astina. Tak seorang pun kemudian ingat apa yang dikatakan Wiyasa setelah upacara selesai: "Hari-hari bahagia kini tak akan ada lagi. Yang menunggu, di depan, adalah kengerian. Bumi telah kehilangan umurnya yang remaja."
Pidato dukacita yang lazim? Ramalan buruk? Setelah Pandu wafat, persiapan perang mulai. Perebutan takhta berangsur-angsur menuju ke klimaks. Para Pandawa dicoba dibakar habis. Para Pandawa dikalahkan dalam judi dadu. Para Pandawa dibuang ke dalam Hutan Kiskendha. Selama bertahun-tahun (ada yang mengatakan lebih persis: selama 12 tahun) para pangeran itu hidup menyamar sebagai pertapa, berat, keras, lapar. Tidak sukar bagi kita untuk melihat apa yang menyebabkan mereka bisa bertahan: ada dendam dan tekad yang menebal seperti tapak kaki yang tiap hari menempuh semak yang sulit. Akhirnya perang besar itu terjadi. Sengit, dengan segala senjata dan muslihat. Ribuan orang tewas di kedua pihak, dan Kurawa dihabisi dengan ganas. Setelah itu para Pandawa memasuki Istana Astina.
Keadilan ditegakkan--demikianlah yang empunya hikayat berkata. Tetapi tunggu: barangkali Wiyasa benar. "Bumi telah kehilangan umurnya yang remaja". Ketika dalang menancapkan kayon di akhir malam, kita tak membayangkan lagi tubuh Abimanyu yang rusak oleh seribu anak panah. Tak membayangkan lagi Gatutkaca yang roboh dengan pusar yang robek, dalam, oleh keris yang seakan-akan merasuk ke seluruh jeroan tubuhnya. Tak membayangkan lagi kepala Jayajatra yang terpenggal oleh Arjuna dan melesat jatuh ke pangkuan ayahnya yang terkejut dan mati. Jer basuki mawa beya: kebahagiaan, karena keadilan tegak, memerlukan korban. Dan keadilan, dalam narasi yang sering kita dengar, berasal dari sebuah asal-usul: memang para Pandawalah, anak-anak Pandu, yang berhak dan layak menang.
Tetapi Mahabharata rasanya tak bisa dipatok dalam paradigma garis lurus itu--dengan satu asal dan segala susulannya. Keadilan itu tak punya kesinambungan yang jelas. Hak tak punya genealogi. Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa bukanlah anak-anak Pandu. Mereka lahir dari sejumlah ayah yang lain. Konon ibu mereka yang perkasa itu, Kunti, mendapatkan benih dari para dewa. Dan Pandu sendiri? Ia tak lahir dari syahwat dan niat Baginda Wicitrawirya yang lemah. Ibunya, Ambalika, suatu malam menerima Wiyasa di tempat tidur dengan ketakutan, dan sperma resi itulah yang melahirkan seorang bocah yang kemudian disebut sebagai pangeran dengan paras yang pucat. Apa boleh buat. Ambalika harus melahirkan putra mahkota.
Politik asal-usul ini bisa ditarik lebih jauh: Wiyasa sendiri dikisahkan lahir di perut seekor ikan, meskipun dari sel telur Satyawati, seorang gadis penambang yang dihamili oleh seorang brahmana yang lewat, konon Pararasa namanya. Dengan kata lain, sebuah kisah yang menunjukkan bahwa curriculum vitae ini memang tak akan bisa dijelaskan pada satu titik yang terang.
Juga tak cukup terang perihal hak para Pandawa atas takhta. Pandu menjadi raja karena si putra sulung cacat: Destarastra lahir buta. Seorang tak pernah bersalah hanya karena dilahirkan tak bisa melihat, juga anak ini. Tapi ia disingkirkan. Baru ketika Pandu wafat, ia dinobatkan lagi ad interim. Anak-anaknya, para Kurawa, tentu saja melihat bahwa merekalah ahli waris yang sah dari kerajaan. Tapi ini pun problematis: Destarastra juga bukan anak Raja Wicitrawirya. Ia lahir dari perhubungan gelap (yang diizinkan atas nama kepentingan kerajaan) antara sang ibu, Ambika, dan Wiyasa juga--tokoh yang seakan-akan melahirkan kisah ini.
Tapi Wiyasa pun bukan dalam posisi sebagai auteur dalam epik yang bercabang ke banyak arah ini. Ia tak bisa membuat struktur yang rapi. Yang kita ikuti adalah awal yang tak jelas di mana dan akhir yang tak jelas kenapa. Bahkan Kresna, yang bijak bestari seperti advokat surga, yang pandai membikin terang-jelas segala hal yang tak masuk akal, yang menolong para pelaku dalam situasi yang pelik, bahkan Kresna tak bisa melawan sebuah antiklimaks yang melempem untuk dirinya sendiri. Tiga puluh tahun setelah perang Kurusetra, di kerajaannya orang saling membunuh sampai tumpas hanya karena sebuah pertengkaran orang mabuk. Di akhir hidupnya Kresna tertidur di bawah sebatang pohon. Tiba-tiba sebatang anak panah yang dilepas pemburu rusa menusuk tungkak kakinya, dan raja itu pun mati. Tak ada konspirasi, tak ada strategi dan kegagahan khusus, untuk menghabisi riwayatnya.
Mungkin itu sebabnya cerita ini tak pernah final. Roberto Calasso menerbitkan hampir 450 halaman Ka: sebuah novel, atau dongeng, atau esai, atau ketiga-tiganya dengan dasar Mahabharata. Narasinya mengagumkan dan sekaligus membingungkan, penuh dengan paparan visual yang bizar dan cemerlang, namun akhirnya dengan semacam konklusi: "Seluruhnya, Mahabharata adalah kisah tentang dharma dalam keadaan sakit, terkuras lelah, dibebani oleh rintangan yang dihimpun sejarah dalam perjalanan". Cerita ini bukan cerita dharma melawan non-dharma, melainkan dekatnya persamaan antara keduanya: dharma dan adharma menemukan titik temu "dalam sebuah malatepaka yang merupakan pengantar untuk dunia yang akan menarik napas baru, dalam sebuah skenario padang pasir, di mana hanya residu yang paling renik akan jadi saksi, lewat kata, pergantian-pergantian masa silam…".
Tapi ada yang tetap tak akan jadi residu. Dalam Ka, Calasso menyebut apa yang diajarkan Kresna kepada Arjuna menjelang perang: berjaraklah dari ihwal dunia. Detachement. Namun, menurut hemat saya, yang tetap tak jadi residu adalah tindak yang tersendiri. Gandari memutuskan untuk menutup matanya sepanjang hidup dengan kain hitam--bukan agar ia senasib dengan suaminya buta, Destarastra, tapi karena ia menunjukkan diri berani memprotes ketidakadilan itu, yang datang dari dewa. Yudistira menolak melangkah ke surga hanya karena anjing hina yang mengikutinya dilarang masuk Rasa adil, bukan dalam kemenangan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo