Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tugas berat membayangi Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Belum seratus hari dilantik menjadi anggota Kabinet Indonesia Bersatu II, ia harus menghadapi kenyataan hutan Indonesia yang telah rusak parah. Dari sekitar 120 juta hektare hutan, hanya sekitar 20 juta hektare dalam kondisi baik. Sisanya adalah lahan gundul dan kritis. Hutan yang seharusnya menjadi penyerap karbon justru menjadi penyemprot polusi terbesar di negeri ini.
Masalah pelik lainnya menanti, dari pengelolaan kekayaan hutan yang belum dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, kebakaran hutan, pembalakan liar, masalah tata kelola lahan dan pengaturan tata ruang hutan yang harus segera diselesaikan, sampai soal mengembalikan hutan sebagai paru-paru penyerap karbon. "Kita harus mengembalikan hutan menjadi lestari untuk kesejahteraan masyarakat," kata kader Partai Amanat Nasional ini.
Dalam seratus hari pertama kerjanya, Zulkifli akan berfokus pada pembuatan konsep penyelesaian masalah pembebasan lahan untuk kepentingan umum yang berlarut-larut di daerah, penyelesaian konflik dan tata ruang, serta mekanisme pencegahan kebakaran hutan, khususnya di kawasan Sumatera dan Kalimantan.
Sedikitnya ada enam misi yang akan dikerjakan pria kelahiran Lampung, 17 Mei 1962 ini: memantapkan kepastian status kawasan hutan serta kualitas data dan informasi kehutanan; meningkatkan produksi dan diversifikasi hasil hutan dan daya saing kehutanan; memantapkan penyelenggaraan perlindungan dan konservasi sumber daya alam; memelihara dan meningkatkan fungsi dan daya dukung daerah aliran sungai; meningkatkan ketersediaan produk teknologi dasar terapan dan kompetensi sumber daya alam; dan memantapkan kelembagaan penyelenggaraan tata kelola kehutanan.
Pekan lalu ia menjelaskan lebih detail program kerja departemennya kepada Adek Media Roza dan Rudy Prasetyo dari Tempo, setelah membuka Lokakarya Koordinasi Permasalahan Kawasan Hutan.
Apa yang harus diperbaiki dari kebijakan pendahulu Anda, M.S. Kaban?
Semua kebijakannya bagus, tapi akan kami sempurnakan. Kalau dulu ada kebijakan mencegah pembalakan liar, revitalisasi kehutanan, rekonservasi sumber daya hutan, pemberdayaan masyarakat, dan pemanfaatan hutan, nah, sekarang isunya lain. Visi kami adalah hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat. Jadi fokusnya itu kesejahteraan.
Program apa yang disiapkan?
Ada delapan program, antara lain pemantapan kawasan hutan yang berbasis pengelolaan hutan lestari, rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung daerah aliran sungai, perlindungan dan pengamanan hutan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, revitalisasi hutan dan produk kehutanan, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor perhutanan, dan penguatan kelembagaan kehutanan.
Bagaimana cara menyejahterakan itu?
Kami akan melakukan rehabilitasi sekurang-kurangnya 500 ribu hektare hutan per tahun, yang akan diberikan kepada rakyat untuk dikelola, ditanami, sehingga menjadi hutan kembali. Rakyat bisa menanam jagung atau ketela sehingga hutan yang ditanam itu bermanfaat untuk mereka. Mereka diberi izin selama 35 tahun untuk menanam hutan dengan sistem tumpang sari sekaligus menunggu pohon yang ditanam seperti damar dan gaharu tumbuh membesar. Rakyat juga bisa memakai lahan hutan untuk mengembangkan peternakan.
Apa syarat mendapatkan lahan itu?
Tidak ada. Yang penting lahannya ada, dan untuk warga sekitar. Kalau dulu satu orang bisa dapat 50 ribu hektare hak pengelolaan hutan, sekarang rakyat bisa memperolehnya. Mereka diberi izin, tapi harus menanam pohon. Itulah yang saya sebut hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Kalau tidak begitu, siapa yang mau menanam di hutan?
Pembagian lahan bakal menjadi isu sensitif. Tentu harus melibatkan pemerintah daerah.
Tentu, mereka harus dilibatkan. Pemerintah daerah, wali kota, bupati, dan gubernur itu penguasa wilayah. Kita harus bekerja sama. Tidak mungkin tidak. Karena itu kita rangkul bupati dan gubernur membangun daerah mereka agar rakyatnya makmur, hutannya lestari.
Tapi selama ini sering terjadi ketidaksepahaman antara pemerintah daerah dan Departemen Kehutanan, contohnya soal perizinan.
Itulah yang akan kita selaraskan undang-undangnya. Ini masuk program seratus hari kerja. Kami juga akan melakukan audit hutan. Kawasan hutan lindung, misalnya, harus tetap seperti apa adanya, tak boleh berubah. Jika hutannya sudah tak ada, harus direhabilitasi. Sebab, kalau hutan tidak ada, yang akan datang selanjutnya adalah bencana. Hutan lindung tak bisa diutak-atik. Harus ditanami pohon lagi. Itulah nanti yang akan dikelola oleh rakyat.
Ada desakan Departemen Kehutanan tak lagi memberikan izin pembukaan hutan, terutama lahan gambut, karena laju deforestasi hutan Indonesia sangat cepat. Bukankah Departemen Kehutanan sebaiknya berkonsentrasi pada konservasi?
Bisa saja kita stop. Tapi, kalau kita stop, pembalakan liar jalan terus karena industri butuh kayu. Kami akan selektif, dan tentu harus lebih banyak menanam daripada menebang. Kalau tidak kita lakukan dari sekarang, termasuk restorasi hutan yang rusak, sebentar lagi kita akan impor kayu. Jadi pembalakan harus selektif. Pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) yang bagus tentu tidak bisa kita hentikan.
Bagaimana menghijaukan kembali lahan gundul yang sudah ditinggal pemegang HPH itu? Bukankah membutuhkan dana besar?
Kami akan bekerja sama dengan swasta untuk menanam, misalnya Djarum, Sampoerna. Mereka menanam pohon kemudian hutannya diberi nama perusahaan mereka. Tak apa-apa, karena tak mungkin Departemen Kehutanan menanam sendiri. Begitu pula lahan hutan tanaman industri yang kritis. Saya yakin banyak yang berminat.
Pembukaan hutan, terutama lahan gambut, merupakan penyumbang terbesar emisi karbon di Indonesia. Presiden sudah mencanangkan pengurangan emisi hingga 26 persen pada 2020. Apa yang akan Anda lakukan untuk mencapai target Presiden itu?
Program yang kami jalankan memang selaras dengan tujuan Presiden. Kami akan lebih banyak menanam. Mengembalikan hutan yang rusak, mengurangi kebakaran hutan, dan memperketat pemberian izin pengusahaan hutan.
Apa yang akan Anda sampaikan dalam Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen nanti?
Kami akan menyampaikan hitungan bahwa pada 2020 kita sudah zero deforestasi, bahkan rehabilitasinya sudah selesai, sehingga target pengurangan emisi 26 persen terpenuhi.
Upaya mengurangi emisi dan mencegah pembukaan hutan sepertinya sangat sulit dilakukan jika perkebunan sawit terus dibuka. Apakah akan ada moratorium pembukaan hutan untuk sawit atau perkebunan lainnya?
Ya. Kalau memang di lahan yang harus menanam kelapa sawit, mengapa harus dilarang? Yang tidak boleh itu kalau misalnya hutannya ditebang. Itu melanggar undang-undang. Tetapi jika memang itu untuk kelapa sawit, kenapa harus dilarang? Jika misalnya itu kawasan hutan lindung tiba-tiba dijadikan lahan kelapa sawit, itu tindak pidana. Itu pasti kami tertibkan.
Selama ini pembukaan lahan sering menimbulkan konflik dengan warga sekitar. Contohnya di Papua.
Oh, banyak. Konflik bukan hanya di Papua, bahkan di seluruh Indonesia. Kalau melanggar, tentu ada sanksinya. Sesuai dengan hukum, kalau melanggar, ya pidana. Departemen Kehutanan tentu akan menindaklanjuti, tapi itu kan kewenangan polisi dan jaksa. Solusinya sekarang sedang dibahas.
Apa tanggapan Anda tentang tuntutan Greenpeace untuk menghentikan pembukaan lahan oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper di Semenanjung Kampar, Riau?
Tentu pendapat Greenpeace akan kami dengar. Kami akan melakukan evaluasi terhadap lahan itu. Saya akan mengirim tim independen untuk mengkaji. Kalau pembukaan lahan gambut itu merusak lingkungan, untuk kepentingan jangka panjang ya harus kami tahan. Tapi, kalau bagus, ya kita teruskan saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo