DULU namanya Tano Niha, artinya tanah manusia. Kini ahli geologi
dan Departemen Pekerjaan Umum memberi julukan "pulau bergoyang"
bagi PulauNias (berpenduduk setengah juta). Soalnya, tanah
pulau yang terletak di sebelah barat Sumatera Utara itu suka
bergerak, bergeser dan longsor.
Sifat tanah yang labil itu memaksa para petugas Dep. PU memutar
otak dalam membuat jalan. Pemerintah pusat untuk itu telah
menyodorkan biaya Rp 700 juta dari APBN 1982/1983. Jalan yang
direncanakan itu sepanjang 30 km, dari Hilifalawo di pesisir
selatan menusuk ke pedalaman Kota Wanga yang kemudian akan
menghubungkan dengan Gunungsitoli, ibukota Kabupaten Nias.
Kesulitan yang dihadapi tim Direktorat Pembangunan Jalan Dep. PU
itu ialah soal sifat tanah. Banyak bagian jalan atau tanah
bergeser dari posisi semula. "lanahnya berwarna kelabu, dan
kalau hujan ia jadi lumpur," kata Ir. P.J. Siaajan Kepala Bina
Marga Dinas PU SumUt itu juga melukiskan, beberapa bagian jalan
yang sudah melejit sampai 50 meter dari porosnya. "Ada lagi kami
bangun jembatan. Tapi kemudian sungainya berpindah," katanya.
Di Nias Tengah, pada zaman Belanda pernah dibangun jalan
beraspal sekitar 367 km dengan 297 jembatan. Sejak 10 tahun
lalu, jalan itu hancur lantaran tidak diurus. Tinggal di daerah
pesisir-yang tanahnya bercampur kapur dan tidak terlalu
labil--jalan masih bisa dipakai.
Upaya menembus daerah pedalaman pulau itu ialah membuat jalan
antitanah bergeser. Para ahli dari Dep. PU telah nerancang
sebuah jalan beraspal dengan sitem AWCAS (all weather
compacted regate sub-base). Sebuah jalan beraspal dengan
konstruksi lapisan batu padat setebal 30 cm yang tahan segala
cuaca dan tidak gampang copot bila tanah bergerak. Dengan
konstruksi semacam itu, jalan akan lentur dan tetap pada
posisinya walau lapisan tanah di bawahnya "berjalan".
Agaknya pembangunan jalan dengan Sistem AWCAS itu menjadi
pilihan terbaik setelah ada konsultasi dengan Direktorat
Penelitian Masalah Jalan di Bandung. Yang nampaknya tidak
dilupakan ialah saran Direktorat Lembaa Geologi dan
Pertambangan Nasional LIPI, yang bermarkas di Bandung pula.
"Pergeseran lapisan tanah di pulau-pulau sebelah barat Sumatera
seperti Nias itu memang sangat aktif dan terus-menerus," kata
Fred Hehuwat, direkturnya.
Penelitian pernah dilakukan lembaga itu (1975-1979). Hasilnya
pergeseran tanah di kawasan itu akan berlanjut. "Secara
geologis, daerah itu merupakan pertemuan lempeng Samudera Hindia
dan Asia," kata Dr. Hehuwat kepada TEMPO . Lumrahnya, pertemuan
lempeng semacam itu berada di dasar laut dalam. "Ini memang
unik, karena pertemuan lempeng justru muncul di permukaan laut,"
katanya.
Sifat tanah pada pertemuan dua lempeng ialah tidak stabil.
Lapisan bergerak, seperti tanah amblas, gempa bumi atau proses
deformasi (berubah bentuk). Pertemuan dua lempeng serupa yang
mencuat ke permukaan laut ialah Kepulauan Barnados, antara Benua
Amerika dan Lautan Atlantik. Sifatnya juga mirip Nias itu.
Tanah yang labil semacam itu, menurut Dr. Hehuwat, ahli
sedimentasi, tidak Iisa ditaklukkan hanya dengan mengandalkan
pengetahuan teknik sipil. "Perlu penelitian geologi sebelumnya,"
katanya. Berbagai konstruksi jalan seperti AWCAS belum tentu
mampu lolos dari ancaman tanah bergerak atau longsor. "Kalau mau
membuat jalan beraspal, lebih aman pilih tempat munculnya batu
koral. Relatif daerah ini stabil," katanya.
Penduduk setempat -- sebagian besar petani kelapa -- jarang
menyentuh daerah labil di bagian tengah, seperti Kecamatan
Lolowan dan Mandreke. Mereka membangun rumah dan bertani di
daerah pesisir yang berkapur. Penduduk asli tidak pernah bersoal
mengapa pulau sepanjang 120 km dan lebar 40 km itu belum mantap
benar. Mungkin pulau itu masih muda, semuda orang sana menyebut
dirinya Olo Nila, artinya anak-anak manusia. Pulau itu penuh
hutan, berbu kit kecil, dan berbatu rapuh. Tapi pohon-pohonan
nampak kecil seperti baru tumbuh belasan tahun silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini