Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

"Pulau Bergoyang"

Para ahli dari Dep. PU telah merancang sebuah jalan beraspal dengan sistem awcaj, teknik baru pembuatan jalan anti geser, untuk pulau nias yang tanahnya suka bergeser. (ling)

25 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DULU namanya Tano Niha, artinya tanah manusia. Kini ahli geologi dan Departemen Pekerjaan Umum memberi julukan "pulau bergoyang" bagi PulauNias (berpenduduk setengah juta). Soalnya, tanah pulau yang terletak di sebelah barat Sumatera Utara itu suka bergerak, bergeser dan longsor. Sifat tanah yang labil itu memaksa para petugas Dep. PU memutar otak dalam membuat jalan. Pemerintah pusat untuk itu telah menyodorkan biaya Rp 700 juta dari APBN 1982/1983. Jalan yang direncanakan itu sepanjang 30 km, dari Hilifalawo di pesisir selatan menusuk ke pedalaman Kota Wanga yang kemudian akan menghubungkan dengan Gunungsitoli, ibukota Kabupaten Nias. Kesulitan yang dihadapi tim Direktorat Pembangunan Jalan Dep. PU itu ialah soal sifat tanah. Banyak bagian jalan atau tanah bergeser dari posisi semula. "lanahnya berwarna kelabu, dan kalau hujan ia jadi lumpur," kata Ir. P.J. Siaajan Kepala Bina Marga Dinas PU SumUt itu juga melukiskan, beberapa bagian jalan yang sudah melejit sampai 50 meter dari porosnya. "Ada lagi kami bangun jembatan. Tapi kemudian sungainya berpindah," katanya. Di Nias Tengah, pada zaman Belanda pernah dibangun jalan beraspal sekitar 367 km dengan 297 jembatan. Sejak 10 tahun lalu, jalan itu hancur lantaran tidak diurus. Tinggal di daerah pesisir-yang tanahnya bercampur kapur dan tidak terlalu labil--jalan masih bisa dipakai. Upaya menembus daerah pedalaman pulau itu ialah membuat jalan antitanah bergeser. Para ahli dari Dep. PU telah nerancang sebuah jalan beraspal dengan sitem AWCAS (all weather compacted regate sub-base). Sebuah jalan beraspal dengan konstruksi lapisan batu padat setebal 30 cm yang tahan segala cuaca dan tidak gampang copot bila tanah bergerak. Dengan konstruksi semacam itu, jalan akan lentur dan tetap pada posisinya walau lapisan tanah di bawahnya "berjalan". Agaknya pembangunan jalan dengan Sistem AWCAS itu menjadi pilihan terbaik setelah ada konsultasi dengan Direktorat Penelitian Masalah Jalan di Bandung. Yang nampaknya tidak dilupakan ialah saran Direktorat Lembaa Geologi dan Pertambangan Nasional LIPI, yang bermarkas di Bandung pula. "Pergeseran lapisan tanah di pulau-pulau sebelah barat Sumatera seperti Nias itu memang sangat aktif dan terus-menerus," kata Fred Hehuwat, direkturnya. Penelitian pernah dilakukan lembaga itu (1975-1979). Hasilnya pergeseran tanah di kawasan itu akan berlanjut. "Secara geologis, daerah itu merupakan pertemuan lempeng Samudera Hindia dan Asia," kata Dr. Hehuwat kepada TEMPO . Lumrahnya, pertemuan lempeng semacam itu berada di dasar laut dalam. "Ini memang unik, karena pertemuan lempeng justru muncul di permukaan laut," katanya. Sifat tanah pada pertemuan dua lempeng ialah tidak stabil. Lapisan bergerak, seperti tanah amblas, gempa bumi atau proses deformasi (berubah bentuk). Pertemuan dua lempeng serupa yang mencuat ke permukaan laut ialah Kepulauan Barnados, antara Benua Amerika dan Lautan Atlantik. Sifatnya juga mirip Nias itu. Tanah yang labil semacam itu, menurut Dr. Hehuwat, ahli sedimentasi, tidak Iisa ditaklukkan hanya dengan mengandalkan pengetahuan teknik sipil. "Perlu penelitian geologi sebelumnya," katanya. Berbagai konstruksi jalan seperti AWCAS belum tentu mampu lolos dari ancaman tanah bergerak atau longsor. "Kalau mau membuat jalan beraspal, lebih aman pilih tempat munculnya batu koral. Relatif daerah ini stabil," katanya. Penduduk setempat -- sebagian besar petani kelapa -- jarang menyentuh daerah labil di bagian tengah, seperti Kecamatan Lolowan dan Mandreke. Mereka membangun rumah dan bertani di daerah pesisir yang berkapur. Penduduk asli tidak pernah bersoal mengapa pulau sepanjang 120 km dan lebar 40 km itu belum mantap benar. Mungkin pulau itu masih muda, semuda orang sana menyebut dirinya Olo Nila, artinya anak-anak manusia. Pulau itu penuh hutan, berbu kit kecil, dan berbatu rapuh. Tapi pohon-pohonan nampak kecil seperti baru tumbuh belasan tahun silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus