SECARA umum telah terjadi kritis air di Indonesia," kata Dr. Ir.
Fred Hehuwat. Direktur Lembaga Geologi dan Pertambangan LIPI itu
menunjuk Jakarta sebagai daerah yang paling gawat". Sukardi,
Kepala Subdit Hidrogeologi Direktur Geologi dan Tata Lingkungan
malah menunjuk beberapa kota lainnya seperti Surabaya, Bandung,
Pontianak, dan Medan sudah turut kritis.
Tapi kota-kota itu ternyata belum kekeringan. Kenapa kritis?
"Kritis, menurut saya, dalam pengertian kita sudah sulit
memperoleh air dalam kualitas dan kuantitas tertentu," kata Dr.
Hehuwat Kocar-kacirnya penduduk kota-kota tadi mendapatkan air
di musim kemarau ini, menurut dia, sudah jadi indikasi
terjadinya kritis. Merembesnya air laut di Jakarta pun merupakan
indikasi lain.
Perembesan air asin itu terjadi karena menurunnya permukaan air
tanah, "karena pengambilan yang terlalu banyak," kata E..
Patty, Direktur Geologi dan Tata Lingkungan. Ir. Ahmad Djaeni
dari instansi itu dalam sebuah seminar di Jakarta Juni lalu
mengungkapkan air laut tak hanya merembes di kedalaman 0-60 m.
Di sekitar muara Sungai Cisadane dan sekitar Cakung sampai
Kemayoran, katanya, air asin sudah merembes (instrusi) sampai
pada kedalaman 150 m Artinya, air tanah di kedalaman sampai 150
m di kawasan itu sudah tak mungkin dipakai untuk sumur bor.
Penurunan potensi air tanah di Jakarta nampaknya sudah berjalan
cepat. Sebagai contoh, menurut Sukardi, tahun 1962 ketika
dilakukan pengeboran di Cengkareng sedalam 120 m air masih
muncrat ke luar.
Bila sekarang pengeboran dilakukan lagi di tempat yang sama, air
hanya mampu naik sampai 30 m di bawah permukaan tanah. "Untuk
menaikkannya ke permukaan terpaksa digunakan pompa," katanya.
Kegawatan air tanah di Jakarta ini diduga terjadi karena kian
ramainya pengeboran -- melebihi potensi yang tersedia. Di
Jakarta sekarang tercatat 2.000-an sumur bor, antara lain untuk
memenuhi kebutuhan industri, hotel dan gedung pencakar langit.
Tak jelas berapa produksi ribuan sumur bor itu tiap hari. _
Sebagai gambaran, menurut catatan Direktorat Geologi dan Tata
Lingkungan, 25 sumur bor Krakatau Steel di Cilegon menguras
0,0108 juta m3 air setiap hari. Di Bandung sebuah pabrik
tekstil--yang memang boros air--menguras sampai 0,0345 juta
m3/hari.
lertanyaan yang menggoda sekarang kapan air tanah di Jakarta
itu habis terkuras dan digantikan oleh air asir. dari Teluk
Jakarta? Pertanyaan itu belum terjawab. Data dasar geologi masih
terlalu minim untuk memperkirakan besarnya kandungan air tanah.
"Kita baru punya data yang lebih lengkap dan mendetil untuk
sumber minyak," kata Dr. Hehuwat. Geolog ITB itu memakai alasan
kesulitan dana. "Sumur observasi sedalam 200 meter saja butuh
biaya Rp 20 juta," katanya.
Maka data yang ada sekarang hanya perkiraan kasar, hasil
perhitungan empiris dari luar negeri yang diduga punya kasus
sama dengan di sini. Dengan cara itu diperoleh dugaan misalnya,
di Bandung terdapat kandungan air tanah (selama satu tahun) 78,8
juta m3, Semarang 10,5 juta m3, Medan 53,5 juta m3 dan Jakarta
42,1 juta m3.
Air tanah adalah air yang berada di bawah tanah. Sampai
kedalaman 60 m biasanya air itu disebut air tanah dangkal. Lalu
air tanah dalam berada di ke dalaman lebih 60 m --- di bawah
bebatuan yang kedap air. Air tanah dangkal -sumber air sumur
penduduk -- cepat terpengaruh oleh musim kemarau, tapi air tanah
dalam sama sekali tak terpengaruh.
Rupanya perjalanan air tanah sangat lamban -- 0,3 m3/hari.
Sehingga, menurut dugaan Sukardi, air tanah dalam bisa ratusan
bahkan ribuan tahun mencapai daerah produksi dari daerah
infiltrasinya.
Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan menaksir 12,38 juta m3
air dibutuhkan setiap hari di Indonesia sekarang, dan 9,97 juta
m3 di antaranya air tanah terutama air tanah dangkal. Perkiraan
ini akan meningkat dua kali pada tahun 2001, akibat pertambahan
penduduk dan industri. Tahun 1975, industri baru meludeskan air
0,39 juta m3/hari, tapi 19 tahun lagi kebutuhan meningkat jadi
2,148 juta m3/hari.
Memang, kata Purbo Hadiwidjojo. dosen luar biasa hidrogeologi
ITB, dengan adanya curah hujan kita tak akan kekurangan air,
kalau mampu mengelolanya." Maksudnya ialah mencegah air hujan
terbuang percuma ke laut. Justru Fred Hehuwat menyebutkan
terjadinya kritis air karena Indonesia belum mampu
mengelolanya.
Ir. Badruddin Mahbud, Kasubdit Hidrokimia Direktorat Penelitian
Masalah Air (DPMA), mengatakan air permukaan - seperti
sungai--di banyak kota tercemar oleh limbah industri. "Yang
paling kritis Jabotabek dan Surabaya," katanya. Maka orang lebih
suka, atau terpaksa, mendapatkan air dengan sumur bor.
Tapi bisakah sumur bor dibiarkan bertambah terus jumlahnya?
Kalau benar dugaan Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan bahwa
Jakarta hanya mengandung air tanah 42,1 juta m3/tahun, maka
untuk tiap penduduk Ibukota itu hanya tersedia 17,75
liter/orang/hari. Padahal kebutuhan air di perkotaan 150
liter/orang /hari.
Ketika PAM belum mampu menutui kekurangannya, sumur bor
cenderung bekerja tambah keras dan air laut pun kian merembes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini