Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Air tanah jadi asin?

Potensi air tanah sudah jauh menurun, terutama di jakarta, air asin makin merembes di bawah permukaan, karena menurunnya permukaan air tanah. (ling)

25 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SECARA umum telah terjadi kritis air di Indonesia," kata Dr. Ir. Fred Hehuwat. Direktur Lembaga Geologi dan Pertambangan LIPI itu menunjuk Jakarta sebagai daerah yang paling gawat". Sukardi, Kepala Subdit Hidrogeologi Direktur Geologi dan Tata Lingkungan malah menunjuk beberapa kota lainnya seperti Surabaya, Bandung, Pontianak, dan Medan sudah turut kritis. Tapi kota-kota itu ternyata belum kekeringan. Kenapa kritis? "Kritis, menurut saya, dalam pengertian kita sudah sulit memperoleh air dalam kualitas dan kuantitas tertentu," kata Dr. Hehuwat Kocar-kacirnya penduduk kota-kota tadi mendapatkan air di musim kemarau ini, menurut dia, sudah jadi indikasi terjadinya kritis. Merembesnya air laut di Jakarta pun merupakan indikasi lain. Perembesan air asin itu terjadi karena menurunnya permukaan air tanah, "karena pengambilan yang terlalu banyak," kata E.. Patty, Direktur Geologi dan Tata Lingkungan. Ir. Ahmad Djaeni dari instansi itu dalam sebuah seminar di Jakarta Juni lalu mengungkapkan air laut tak hanya merembes di kedalaman 0-60 m. Di sekitar muara Sungai Cisadane dan sekitar Cakung sampai Kemayoran, katanya, air asin sudah merembes (instrusi) sampai pada kedalaman 150 m Artinya, air tanah di kedalaman sampai 150 m di kawasan itu sudah tak mungkin dipakai untuk sumur bor. Penurunan potensi air tanah di Jakarta nampaknya sudah berjalan cepat. Sebagai contoh, menurut Sukardi, tahun 1962 ketika dilakukan pengeboran di Cengkareng sedalam 120 m air masih muncrat ke luar. Bila sekarang pengeboran dilakukan lagi di tempat yang sama, air hanya mampu naik sampai 30 m di bawah permukaan tanah. "Untuk menaikkannya ke permukaan terpaksa digunakan pompa," katanya. Kegawatan air tanah di Jakarta ini diduga terjadi karena kian ramainya pengeboran -- melebihi potensi yang tersedia. Di Jakarta sekarang tercatat 2.000-an sumur bor, antara lain untuk memenuhi kebutuhan industri, hotel dan gedung pencakar langit. Tak jelas berapa produksi ribuan sumur bor itu tiap hari. _ Sebagai gambaran, menurut catatan Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan, 25 sumur bor Krakatau Steel di Cilegon menguras 0,0108 juta m3 air setiap hari. Di Bandung sebuah pabrik tekstil--yang memang boros air--menguras sampai 0,0345 juta m3/hari. lertanyaan yang menggoda sekarang kapan air tanah di Jakarta itu habis terkuras dan digantikan oleh air asir. dari Teluk Jakarta? Pertanyaan itu belum terjawab. Data dasar geologi masih terlalu minim untuk memperkirakan besarnya kandungan air tanah. "Kita baru punya data yang lebih lengkap dan mendetil untuk sumber minyak," kata Dr. Hehuwat. Geolog ITB itu memakai alasan kesulitan dana. "Sumur observasi sedalam 200 meter saja butuh biaya Rp 20 juta," katanya. Maka data yang ada sekarang hanya perkiraan kasar, hasil perhitungan empiris dari luar negeri yang diduga punya kasus sama dengan di sini. Dengan cara itu diperoleh dugaan misalnya, di Bandung terdapat kandungan air tanah (selama satu tahun) 78,8 juta m3, Semarang 10,5 juta m3, Medan 53,5 juta m3 dan Jakarta 42,1 juta m3. Air tanah adalah air yang berada di bawah tanah. Sampai kedalaman 60 m biasanya air itu disebut air tanah dangkal. Lalu air tanah dalam berada di ke dalaman lebih 60 m --- di bawah bebatuan yang kedap air. Air tanah dangkal -sumber air sumur penduduk -- cepat terpengaruh oleh musim kemarau, tapi air tanah dalam sama sekali tak terpengaruh. Rupanya perjalanan air tanah sangat lamban -- 0,3 m3/hari. Sehingga, menurut dugaan Sukardi, air tanah dalam bisa ratusan bahkan ribuan tahun mencapai daerah produksi dari daerah infiltrasinya. Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan menaksir 12,38 juta m3 air dibutuhkan setiap hari di Indonesia sekarang, dan 9,97 juta m3 di antaranya air tanah terutama air tanah dangkal. Perkiraan ini akan meningkat dua kali pada tahun 2001, akibat pertambahan penduduk dan industri. Tahun 1975, industri baru meludeskan air 0,39 juta m3/hari, tapi 19 tahun lagi kebutuhan meningkat jadi 2,148 juta m3/hari. Memang, kata Purbo Hadiwidjojo. dosen luar biasa hidrogeologi ITB, dengan adanya curah hujan kita tak akan kekurangan air, kalau mampu mengelolanya." Maksudnya ialah mencegah air hujan terbuang percuma ke laut. Justru Fred Hehuwat menyebutkan terjadinya kritis air karena Indonesia belum mampu mengelolanya. Ir. Badruddin Mahbud, Kasubdit Hidrokimia Direktorat Penelitian Masalah Air (DPMA), mengatakan air permukaan - seperti sungai--di banyak kota tercemar oleh limbah industri. "Yang paling kritis Jabotabek dan Surabaya," katanya. Maka orang lebih suka, atau terpaksa, mendapatkan air dengan sumur bor. Tapi bisakah sumur bor dibiarkan bertambah terus jumlahnya? Kalau benar dugaan Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan bahwa Jakarta hanya mengandung air tanah 42,1 juta m3/tahun, maka untuk tiap penduduk Ibukota itu hanya tersedia 17,75 liter/orang/hari. Padahal kebutuhan air di perkotaan 150 liter/orang /hari. Ketika PAM belum mampu menutui kekurangannya, sumur bor cenderung bekerja tambah keras dan air laut pun kian merembes.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus