PETUGAS humas (hubungan masyarakat) -- seperti biasa --
mendatangi Stasiun TVRI Ujungpandang. Di sana Kepala Urusan
Pemberitaan segera bersedia meliput kegiatan di instansi petugas
tadi. Tapi ada daftar tarif-seperti biasa pula -- tanpa boleh
ditawar.
TVRI memang secara resmi mengutip biaya pemberitaannya. Surat
Edaran Menteri Negara Sudharmono, 24 Maret 1981, yang disusul
oleh Instruksi Direktur TVRI H. Subrata, 1 April 1981, telah
mengaturnya. Besar pungutan seragam untuk seluruh stasiun: Rp 25
ribu untuk berita dan Rp 100 ribu bagi laporan yang cukup
panjang. Kalau film berwarna--tanpa suara --tarifnya Rp 50 ribu
dan Rp 200 ribu. Ini naik menjadi Rp 80 ribu dan Rp 240 ribu
bila orang menghendaki suara. Biaya produksi itu sudah meliputi
pengadaan bahan baku film, video tape, rekaman suara,
eengolahan, penyuntingan sampai penyiarannya.
Tapi stasiun TVRI Yogyakarta baru menerapkannya September ini.
Agak terlambat, karena "ruang lingkup kami kecil sekali," kata
petugas di sana.
Karena belum terbiasa dengan tarif pemberitaan, Berita Nasional,
surat kabar di Kota Gudeg itu, menampilkan karikatur Seorang
bapak menggembol uang sambil menuntun anaknya--yang mau
dikhitan-- menuju kantor TVRI. Maksudnya, tentu, ia minta
peristiwa khitan disiarkan sebab ia sanggup membayar. Teguh
Ranuasmara, seorang budayawan, lantas mengkhawatirkan TVRI Yogya
nanti memprioritaskan siaran berita salon.
Kemungkinan itu dibantah. "Tak semua kegiatan--meski dia sanggup
membayar -- bisa masuk televisi," kata seorang pejabat TVRI
Pusat. Menurut dia, ada kriteria yang harus dipenuhi. Misalnya,
peristiwa itu harus berbobot dan bcrdampak luas, bersifat
informatif edukatif dan mampu membangkitkan motivasi positif
secara massal. Peristiwa yang ditampilkan, katanya lagi,
hendaknya juga bisa menjadi bahan pelajaran dan contoh teladan.
Tapi "kalau harus mengikuti kriteria itu 100%, kita bisa tidak
ada siaran berita."
Permintaan pada TVRI untuk meliput suatu kegiatan selama ini tak
pernah sepi. Banyak kalangan bahkan menganggap, bahwa acara baru
sah bila disiarkan TVRI. Maka sering terjadi suatu acara resmi
ditunda, atau diulang, menanti crew TVRI datang. Di Jakarta,
pada acara tingkat menteri pun, ini sering terjadi. Lantas
seorang juru kamera berkata, "yang penting kan acaranya, bukan
liputan televisi." Ia sering kena dampra karena terlambat,
akibat lalu-lintas macet atau kesulitan kendaraan.
Pungutan biaya produksi berita televisi ini memang berkaitan
dengan permintaan yang mengalir deras. "Mereka yang ingin
disiarkan, diharapkan agak menahan diri," kata sumber TEMPO di
TVRI Pusat.
Biaya bukan soal bagi seorang pengsaha bank di Denpasar, Bali,
asalkan egiatannya diliput. Siaran berita TVRI nerupakan promosi
baginya -- dan ia bersedia membayar di atas tarif resmi. Dan di
Medan, ada istilah marpokken, bila seseorang meminta wajahnya
disoot kamera agak lama. Orang begini ikhlas memberikan sedikit
imbalan bagi guru kamera.
TVRI, menurut sumber TEMPO, sebenarnya lebih senang mencari
berita sendiri. Biaya untuk itu --seandainya pungutan ditiadakan
--masih tersedia. rapi waktu crew TVRI sering terpakai habis
untuk melayani undangan saja.
Tak semua pengundang harus keluar uang. Stasiun Ujungpandang,
misalnya, tak mengutip biaya untuk 'varia pendidikan', kegiatan
PMI ataupun promosi pemerintah seperti soal penarikan pajak.
Namun pihak pengundang biasanya maklum. "Kalau tak diberi, clew
televisi suka ogah-ogahan," kata seorang pejabat di Pemda
Sumatera Selatan, Palembang. Ia biasa memberi 'salam tempel'
sampai Rp 25 ribu sekali shooting, di atas tarif resmi. Dan di
Ujungpandang, kesejahteraan crew TVRI--khususnya yang sering
tugas luar-- cukup memadai. anyak yang sudah bisa membeli mobil
pribadi, meski mereka baru golongan 11.
Dan jika tidak aktif memenuhi undangan, ataupun tidak
berinisiatif mencari berita sendiri, stasiun TVRI biasanya masih
akan bisa mengisi acara siaran warta berita lokal. Ternyata ada
saja datang kiriman film berita yang "siap pakai" dari berbagai
instansi dan kantor humas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini