KESADARAN lingkungan masyarakat kota di Australia, telah
menumbuhkan satu industri baru: industri peralatan perekam dan
pengendali polusi. Selusin perusahaan begituan, dua pekan lalu
mengadakan pameran tiga hari di hotel Borobudur, Jakarta.
Pameran di ruang Komisaris Perdagangan Australia yang sempit dan
ramai seperti kaki lima Kramat Raya, memang sangat terjepit oleh
waktu. Maklumlah, acara itu merupakan bagian dari pameran
keliling Asia Tenggara, khususnya di Jakarta, Kualalumpur dan
Manila - tiga ibukota negara ASEAN yang masih rendah kesadaran
lingkungannya.
Peserta pameran mewakili ketiga bidang pencemaran alam: polusi
air, darat, dan udara. Mulai dari penyaring debu pabrik dan
tambang, pemadat kotoran padat untuk digunakan menimbuni
tanah-tanah becek, sampai pada mobil sampah yang juga sambil
jalan mencincang dan memadatkan sampah pabrik dan rumah tangga.
Ada yang sudah punya konsumen di Indonesia, ada yang baru sedang
mencari agen - misalnya alat pembasmi ganggang (algae) - dan ada
yang berhasil memancing order baru. Misalnya truk-truk sampah
berkapasitas 4 ton yang dipesan DKI untuk pembersihan sampah di
kampung-kampung yang sudah diperbaiki (MHT). Sedang Kotamadya
Surabaya memesan 6 truk sampah a 5 ton.
Sampah Dikubur
Selain pameran statis itu. tiap hari disampaikan ceramah tentang
pengenualian polusi cair. polusi padat. dan polusi berwujud
asap. John Barton, seorang ahli perawatan air, berbicara tentang
bahaya gas berbau dalam air buangan pabrik dan rumah tangga daya
tariknya terhadap serangga, serta penanggulangan bibit
penyakitnya melalui proses chlorination.
Itu bukan barang baru buat orang sini. Yang lebih relevan dengan
munculnya 1001 pabrik yang membuang air ampasnya di pinggiran
kota-kota besar adalah meningkatnya asam sianida (HCN), cairan
buangan pabrik-pabrik tekstil, serta ampas padat yang mudah
larut dan hanyut, seperti aluminium sulfat, abu soda, kapur,
zat-zat kimia hasil elektrolisa, dan lain-lain.
Menarik pula ceramah K.I. Birkett, manajer teknik Applied
Engineering Pty. Ltd. yang membahas pengendalian polusi benda
padat. "Ada dua pilihan dalam pengendalian polusi padat", kata
Birkett, yakni sampah itu dipakai untuk menguruk tanah, atau
dibakar. Pilihan pertama, memang cocok untuk daerah yang tipis
penduduknya dan masih banyak tanah kosong. Hanya saja, perlu
diperhatikan polusi berantai yang timbul karena penimbunan
sampah organis yang belum terurai dan menyatu dengan tanah.
Namun Birkett lebih condong pada pilihan yang kedua: pemanfaatan
sampah sebagai bahan bakar. "Apa gunanya mengubur enerji yang
terkandung dalam sampah itu?", tanya ahli polusi itu sembari
mengutip anjuran Jimmy Carter, supaya rakyat Amerika mengubah
berton-ton sampah yang terkumpul tiap hari menjadi sumber
enerji.
Kalau diolah secara sempurna, setiap kilo sampah dapat
menghasilkan 3500 Kilokalori panas. Ini dapat dicapai, kalau gas
bahan bakar dengan suhu sampai 1000ø C dapat disadap dari sampah
itu. Untuk itu, perusahaan yang diwakili Birkett telah
menciptakan mesin pyrolytic incinerator yang menguraikan sampah
padat itu dengan suhu tinggi dalam atmosfir yang miskin zat
asam. Alat ini dapat memanfaatkan gas-gas hidrogen, karbon
mono-oksid, metana dan hidrokarbon-hidrokarbon lainnya dalam
sampah untuk mencapai suhu di atas 1000ø C dengan asap buangan
yang halus sekali: 0,4 gram per mikron, yang masih dapat
diterima oleh dinas pengawasan polusi.
Dari sudut penyebaran kesadran lingkungan, pameran yang hanya
tiga hari itu mungkin masih terlalu singkat. Juga ke-12 produk
yang dipamerkan di situ, baru merupakan contoh kecil saja dari
kemajuan industri alat-alat pengendalian polusi Australia.
Berhasil tidaknya mereka 'jualan' di sini, juga tergantung pada
iklim pemeliharaan kelestarian lingkungan di Indonesia.
Khususnya di kota-kota besar, yang kini dikelilingi dan dirasuki
pabrik modern, peraturan anti-polusi belum diterapkan secara
ketat. Di samping itu, keputusan untuk membeli dan memasang
peralatan anti-polusi, biasanya lebih murah dan tepat pula
saatnya diambil sebelum pabrik berdiri. Jadi pada taraf disain.
Sebab pencangkokan alat anti-polusi pada pabrik yang sudah lama
berjalan akan jauh lebih mahal, dan kurang efisien.
Teknologi Sentris
Selain itu, pameran anti-polusi ini karena didukung oleh
pabrik-pabrik peralatannya - sangat teknologi-sentris. Cara.
pendekatan lain dalam pemeliharaan kelestarian lingkungan,
misalnya dengan memanfaatkan tanaman dan hewan, tidak mendapat
tempat. Padahal di Singapura misalnya, pohon-pohon yang ditanam
dalam rangka penghijauan di dekat kawasan industri sengaja
dipilih yang daunnya kuat menyerap karbon dioksid dan karbon
mono-oksid. Sedang di Inggeris, tingkah-laku jenis ikan tertentu
digunakan untuk mengawasi kadar polutan dalam air buangan pabrik
yang melintasi bak ikan dulu sebelum muntah ke kanal atau
sungai. Bagi Indonesia, cara pengawasan dan pengendalian polusi
model begini, mungkin lebih murah dan tak kalah efektifnya.
Paling tidak, dapat dikombinasi dengan cara-cara yang
padat-teknologi.
Masalah sampah di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya,
juga bukan soal ada-tidaknya mobil sampah saja. Tapi juga soal
partisipasi penduduk sendiri dalam mengamankan sampah organis di
rumah sendiri. Bukan dengan dibakar, yang hanya memindahkan
polusi dari darat ke udara, dengan radius yang lebih jauh. Tapi
lebih baik lagi kalau dapat diolah sendiri menjadi rabuk untuk
tanaman pekarangan, yang juga berarti uenciptakan lingkungan
yang lebih segar.
Selain itu, sebagian besar sampah kota-kota di Jakarta dan
Surabaya - juga kota-kota pantai lainnya di Indonesia tidak
dibuang di darat, melainkan di air. Karena itu, perahu
pengangkut sampah yang dulu dikenal di kali-kali kota Betawi ada
baiknya diberi perhatian yang seimbang dengan truk-truk
pengumpul sampah bikinan Australia. Perahu begini, malah tak
perlu dipesan di luar negeri: murah, dan tanpa komisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini