MAHASISWI Akademi Tari LPKJ yang berbakat itu, bernama Wiwik
Sipala. Ia punya lengan-lengan panjang dan kaki jangkung, yang
membuatnya khas kalau sedang menari. Di Teater Tertutup TIM --
11 s/d 13 Mei -- ia memperlihatkan pula bakatnya sebagai penata
tari, disertai oleh tangan gurunya sendiri yakni Farida Feisol.
Penampilan itu berjudul Putn Putih. Sebuah drama tari dalam dua
babak yang menceritakan nasib dan cinta puteri Raja Luwuk.
Puteri cantik itu (Retno Maruti) menderita penyakit ca-sebangsa
penyakit kulit yang musykil diobati. Puteri ini kemudian
diasingkan. Tetapi dalam perjalanan ia terdarnpar ke pantai
Tosora. Ini sedikit mengingatkan cerita Prahara-nya Shakespeare
.
Di pantai itulah Puteri Putih memulai hidup baru. Tidak lama,
karena tiba-tiba muncul seekor kerbau putlh. Binatang itu
menyerang puteri. Merobohkannya. Lalu menjilat seluruh tubuhnya.
Tak tersangka ulah itu menyebabkan penyakit itu raib seketika.
Maka sehatlah puteri itu kernbali. Cantik dan jelita. Rakyat pun
gembira bukan main. Langsung mengangkat Puteri sebagai pimpinan.
Tarian-tarian pesta berlangsunglah dengan gembira.
Di tengah-tengah kegembiraan muncul rombongan Putera Raja Bone.
Anak muda ini merusak suasana. Bahkan sempat terjadi perkelahian
sehingga jatuh korban pribumi Tosora. Tentu saja putera raja itu
langsung dibekuk. Tetapi mendadak pula perkelahian terhenti
setelah jelas bahwa anak muda itu anak muda yang paling
terhormat di Bone. Puteri pun bimbang. Apalagi antara keduanya
cepat menjalar api asmara. Kini sebagaimana lazimnya, datanglah
pilihan. Atau sang puteri memilih cinta atau ia memilih
rakyatnya. Tetapi ternyata drama tari ini bukan sebuah kisah
cinta. Ia lebih cenderung menjadi cerita teladan tentang
keteguhan hati seorang pemimpin. Maka puteri pun memilih
rakyatnya. Berarti, Putera Raja Bone dibebaskan, tetapi
dipersilakan pulang ke negerinya.
Cerita yang cukup berlekuk-lekuk ini rupanya memang menuntut
alur yang komplit Dalam menata tari, Wiwik dan Farida tampak
sangat berusaha menjaga keutuhan seluruh cerita. Dengan urutan
yang jelas, terkumpullah adegan-adegan yang sifatnya naratif.
Untuk tarian uni memang terlampau literer, terlampau prosais.
Untung pertunjukan ini bernama drama tari. Sehingga sektor
penataan tari seperti sedikit mendapat kelonggaran. Tetapi
dengan demikian tempo lantas diganyangnya menjadf agak kendor.
Berbeda sekali dengan yang dilakukan oleh Yulian dengan
pertunjukannya yang lalu. Tempo jadi merangkak.
Bayangkan, untuk menuturkan pelayaran Puteri Putih, diperlukan
adegan khusus di mana terlihat sejumlah orang mendayung dari
sisi panggung belakang ke sisi panggung di depan secara
diagonal, dengan gerak-gerak yang sama. Bagian-bagian memang
penting dalam cerita, tetapi tidak punya kadar dramatik serta
untuk materi tari sudah terlalu klise. Dengan sudut memandang
yang lebih gesit, cerdik serta drarnatik, banyak saat-saat lain
yang harusnya digarap untuk ditampilkan.
Dongeng Dari Dirah
Adegan-adegan perkelahian yang akrobatik dikerjakan dengan
bersemangat. Porsinya berlebihan, karena drarna tari ini sempat
dirubahnya menjadi cerita silat. Kejadiannya akan lain
seandainya yang diteropong adalah 'moral cerita'. Sebagaimana
dahulu Sardono mengerjakan Dongeng Dari Dirah. Di sana ceritanya
sedikit diacak-acak, karena yang dipegang adalah intinya,
filsafat ceritanya, untuk memberi kebebasan penggarapan visuil.
Juga pada pertunjukan Yulian, kita lihat cara menampilkan cerita
sudah begitu rupa sehingga bukan urutan atau liku-liku yang
diteropong mendetail. Tetap diperhitungkan, tetapi tidak lebih
penting dari unsur-unsur "tontonan" yang lain -- seperti tempo,
irama, gambaran visuil, pembagian ruang dan sebagainya. Apalagi
lampu kurang dimanfaatkan. Sementara tata pentas tidak mampu
memberi suasana yang diminta lakon. Demikianlah drama tari ini
kurang berhasil.
Nomor kedua sesudah istirahat kecil adalah garapan Farida Feisol
bernama ntrospeksi. Dibawakan oleh penari-penari June Beckx,
Linda Karim, Nancy Hasan, Lydia, Yoke Donaldson, Farida Feisol
dan Suwanto. Dalam nomor ini kita hanya sempat menikmati Farida.
Keunggulannya sebagai penari melebihi kekuatannya sebagai penata
tari. Apalagi penari-penari lainnya belum menyelesaikan problim
teknis mereka, sehingga tidak ada yang dapat dianggap matang.
Nomor selanjutnya dari Fanda bernama Pasdedeux Windflowers yang
dibawakan oleh Dewi Rani dan Sentot S. Nomor ini anggaplah
sebagai nomor terbaik dalam babak kedua. Farida jelas lebih
mampu membuat komposisi-komposisi dengan penari yang minim.
Terutama untuk tema-tema romantis. Sementara Sentot lah penari
yang paling mantap saat ini, untuk melayani garapan Farida.
Tubuhnya yang terbentuk sudah menjadi bahasa, sementara jiwaya
yang musikal membuat ia tidak saat oleh gerak tari tradisionil
meskipun ia dedengkot tari Jawa. Hal mana sering bocor pada
penari-penari lain.
June Beckx juga muncul dengan gaI apannya yang bernama Cyclus.
Ia menggunakan musik dari ABBA, Manfred Mann dan Deodato. Hanya
saja kita belum sempat diyakinkannya. Di samping modal penari
kurang mantap, kita tidak melihat idiom-idiom yang khas. Karena
tari tentunya bukan hanya komposisi. Bukan sekedar lancar,
tetapi juga peniiwaan pada ide dasar.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini