TAK terasa, DPR hasil Pemilu 1977 sudah hampir habis masa
kerjanya. Sebagian anggota sudah ubanan, sebagian tambah gemuk
berkat dimakan usia, satu-dua kena wasir. Namun, rohani serta
syaraf mereka segar bugar, karena mereka sudah bekerja
sebaik-baiknya. Kata hatinya sesuai dengan bunyi mulutnya. Ini
akibat rasa iba dan terimakasih kepada rakyat pemilih, yang
seperti hantu terus hinggap di tengkuk, seakan siap mencekik
batang lehernya kalau saja mereka alpa melakukan tugas-tugas
legislatifnya. Mereka tidaklah lagi seperti DPR di masa silam,
yang kedudukannya di depan Pemerintah seperti tikus dengan
kucing, atau seperti subkontraktor dengan kontraktor, melainkan
duduk sama rendah berdiri sama tinggi.
Kalau tidak keliru hitung, ada 60 UU yang disahkannya, dan dari
jumlah itu 50 buah hasil inisiatif DPR sendiri. Beda betul
dengan DPR hasil Pemilu 1971 yang tidak pernah bikin RUU
inisiatif satupun. Dan UU yang 60 buah itu bukan sembarang UU,
melainkan UU yang membuat hati penduduk lega semata. Jangan
dibilang lagi pengunaan hak-hak lainnya. Hampir tiap 3 hari
sekali ada saja anggota yang bertanya ini-itu tentang
kebijaksanaan Pemerintah. Hampir tiap 1 minggu sekali muncul
interpelasi. Penyelidikan atau angket runtun-beruntun saja.
sehingga Pemerintah berusaha tidak membuat kekeliruan sekecil
apapun. Jangan dibilang lagi hak budget! Kalau DPR dulu-dulu
kelewat murah hati terima tiap RUU APBN yang disodorkan
Pemerintah tanpa perubahan angka satu sen pun sekarang tidak
lagi. Mata anggota sampai berair (bahkan ada yang sampai lamur)
memeriksa tiap mata anggaran menghujani Pemerintan dengan
rupa-rupa pertanyaan, sehingga yang disebut belakangan ini jadi
pening kepalanya. Sampai-sampai pernah ada RUU APBN yang ditolak
DPR, sehingga Pemerintah terpaksa menggunakan anggaran tahun
sebelumnya. Ini sesuai benar dengan UUD pasal 3 ayat 1.
Kembang Plastik
Dari sekian banyak bunga mawar yang menghias Gedung Senayan.
tentu terselip juga beberapa kembang plastik. Ini bisa merusak
pemandangan dan mengganggu martabat. Maka dari itu. yang
plastik-plastik ini kena recall. Bukan lantaran malas atau
mangkirnya. melainkan begonya. Mereka ini seperti baca koran
terbalik. Sebagian direcall atas pertimbangan organisasinya
masing-masing sebagian karena gerut-l dan kontrole publik.
Sebab. publik yang sudah merasa cape nyoblos, bahkan ada pula
yang kena gebuk dan kena tahan, tentu tidak senang hati dengan
kembang-kembang plastik ini. Bagus tidak, harum pun tidak.
Mendingan ditarik pulang, tertancap di jambangan rumah
masing-masing.
Maka tibalah saatnya Pemilu 1982. Sesuai dengan perkembangan
sang waktu dan makin meningkatnya kesadaran politik rakyat,
tentulah tidak serupa dengan Pemilu-Pemilu sebelumnya. Ini pun
tercermin jelas dalam UU maupun peraturan-peraturan
pelaksanaannya. Penduduk menyambut dengan gembira, seperti
datangnya hari lebaran. Pemerintah pun tidak kurang-kurang
senang hatinya, serta penuh harap dapat tunjangan, karena
Pemerintah yang tidak dapat tunjangan penduduk sama halnya
dengan korsi tanpa kaki. Ganjil serta menggelikan.
Seperti halnya tukang martabak memukul-mukul penggorengannya
menarik pembeli, begitu pula halnya Pemilu dengan kampanye.
Kampanye yang sekarang ini sungguh bermutu. Tiap kontestan boleh
melancarkan kritik asal faktuil, boleh menangis atau ketawa di
podium, tanpa ada yang larang atau seret dia dari sana. Jika
pembicara bisa humor, bukan saja hadirin dan hadirat, melainkan
petugas-petugas keamanan berikut wasit-wasit dari kalangan
Pemerintah turut pula tertawa terpingkal-pingkal sambil melempar
senyum yang manis.
Begitu pula hubungan antar kontestan. Mereka bukan mengadu
dengkul atau sikut, melainkan mengadu otak. Ini perlu, karena
penduduk pun punya otak. Mereka mesti berfikir paling sedikit
dua hari untuk mengucapkan sebaris janji. Sebab, mereka tahu
persis, penduduk tidak lagi pelupa seperti penduduk zaman dulu.
Salah-salah buatan, bisa kena semprot. Barang sepuhan akan cepat
dikenal. Ada kampanyewan yang jatuh pingsan, bukan karena
dilempar batu, melainkan karena khalayak pada bubar. Tidak
kecuali tukang es dan rujak tumbuk. Tak ada "minggu tenang",
karena mereka sudah tenang dengan sendirinya.
Bersiul-siul
Hari penyoblosan, pemilih datang sambil bersiul-siul. Mereka
bersendagurau dengan panitia pelaksana seperti dalam suasana
kondangan. Mentari memancar dengan lembutnya, petugas-petugas
keamanan mengucapkan selamat pagi, orang ke luar masuk bilik
suara tanpa was-was maupun cemas, bahkan ada yang sambil
mengisap rokok. Dan begitu hari menjelang siang. semua yang
mustahik memilih sudah dapat giliran, surat-suara pun dihitung
apa adanya, tidak ada yang kurang dan tidak ada yang lebih.
Tatkala final perhitungan suara secara nasional, semua kepala
mengangguk-angguk tanda setuju serta percaya. Para wasit mulai
yang tingkat atas sampai bawah digendong orang dan diarak
kian-kemari tanda gembira. Tak sedikit di antara mereka yang
mendapat kiriman bunga dari penduduk. Kontestan yang kalah
saling berpelukan dengan kontestan yang menang, dan mereka
sama-sama menyalami tangan panitia pelaksana serta wasit,
mengguncang-guncangnya hingga lebih dari dua menit.
Maka diadakanlah "syukuran" yang sungguh-sungguh "syukuran".
Kambing serta sapi bergelimpangan dipotong orang. Anehnya, di
pesta yang meriah itu, orang-orang yang dapat korsi dan sebentar
lagi akan dilantik, malahan tampak jadi pendiam, rupa-rupanya
sedang memantapkan mereka punya batin. bagaimana caranya supaya
bisa mengemban amanat para pemilih semaksimal-maksimalnya,
supaya kelak jangan kualat dan diludahi orang.
Memang, ada juga yang disebut "korban pemilu" tahun 198 itu.
Tapi. bukannya kena lemparan batu atau gebukan kayu atau bacokan
golok Cibatu. melainkan karena keteledorannya sendiri. Ada yang
kese!eo kakinya tatkala turun dari podium, ada yang jarinya
kegencet pintu mobilnya sendiri, ada yang benjol ketiban alat
pengeras suara, dan ada pula yang ditilang polisi karena
melanggar rambu lalulintas tatkala mau ikut pawai motor. Itu
saja. Betul-betul itu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini