SEJAK beberapa bulan ini, Haji Dahlan bingung mencari air. Padahal, kulah (bak air) di samping rumahnya selalu terisi penuh. "Badan keponakan saya dipenuhi bintik-bintik kecil yang gatal karena mandi di kulah," kata ketua RT di Cibeureum itu. Belakangan, Pak Haji mencium ada sesuatu yang tak beres di kampung itu, setelah para jiran mengeluarkan keluhan yang sama. Penduduk yang tinggal di tepi Kali Cisarua malah sering menemukan lintah kecil di sungai itu, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Yang terjadi di Citeko, tetangga Cibeureum, lebih parah: penduduk menyaksikan parit-parit kecil yang mengalir di desa itu, setelah melintasi kompleks Taman Safari, airnya berwarna hijau. "Seperti bekas cucian tahi kerbau," kata Pak Haji. Ratusan penduduk di kedua desa yang bertetangga dengan Taman Safari Indonesia (TSI), di Cisarua, Kabupaten Bogor, itu kini memang menuding kompleks binatang itu sebagai penyebab tercemarnya air di kali dan parit desa mereka. Menurut mereka, semua itu terjadi setelah adanya TSI--kebun binatang seluas 55 ha dengan 430 ekor binatang berbagai jenis bebas berkeliaran - di kawasan tinggi dan berbukit di lereng Gunung Pangrango. Bupati Bogor Sudardjat Nataatmadja, rupanya, mendengarkan keluhan rakyatnya. Kamis pekan lalu, ia mengirimkan suatu tim untuk meneliti TSI. Hasilnya: Pemda Bogor segera menyetop pembangunan restoran Sunda yang sedang dikerjakan di tempat itu, karena tak punya izin dan dianggap bertentangan dengan Keppres yang mengatur penataan kawasan Puncak. Keputusan lainnya, TSI dilarang membeli batu dan pasir dari penambang liar di Kali Cisarua, karena itu merusakkan lingkungan. Kabarnya, untuk membangun berbagai proyeknya, setiap hari 20 truk batu diangkut dari kali ke TSI. "Menurut laporan dari Subbalai, tingkat erosi di Kali Ciliwung meningkat," kata Ir. Moch. Toha, Kepala Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Wilayah IV, yang membawahkan kawasan itu. Tapi pencemaran oleh kotoran binatang tak ditemukan oleh tim tadi, karena menurut Humas Pemda Bogor, Oscar Saragih, "TSI sudah membuat penampungan kotoran binatang dan selokan pembuang air limbah." Mapala Ul, yang pernah meneliti kawasan di sekitar Kali Cisarua, Agustus sampai Oktober tahun lalu, menyimpulkan bahwa penderita penyakit kulit meningkat di situ setelah TSI dibuka. Sebelumnya, Agustus sampai Desember 1985, penduduk yang berobat ke puskesmas 3-8 orang sehari. Setelah TSI dibuka, awal 1986, jumlah penderita melonjak jadi 12-32 orang sehari. Pada Maret sampai Juli tambah meningkat, menjadi 21--32 orang sehari. Penelitian kualitas air Kali Cisarua mengungkapkan bahwa air sungai di sebelah hulu TSI relatif lebih bersih dibandingkan di hilirnya. Kian ke hilir, pada air sampel malah ditemukan cacing tubilex dan banyak siput air - petunjuk bahwa sungai sudah tercemar berat oleh bahan organik. Kesimpulan dari perkumpulan pencinta alam UI itu, Kali Cisarua sudah tercemar bakteri coliporm sehingga tak layak diminum. Penyebabnya adalah kotoran hewan dan manusia. Semua tuduhan dibantah Tony Sumanpouw, pemilik TSI, "Kami pencinta lingkungan, masa merusakkan lingkungan," katanya menunjuk keberhasilan TSI menangkar berbagai jenis satwa langka. Berbagai septictank sudah mereka siapkan di sana, sehingga mustahil kotoran hewan itu masuk ke kali. Jansen, pemilik TSI yang lain, mengaku akan menyetop semua pembangunan yang disebutkan tanpa izin itu. Padahal, menurut rencananya, di situ akan dibangun hotel bertingkat 5, bungalo, dan berbagai fasilitas lainnya. Tapi kemudian dia mengungkapkan kepada Didi Sunardi dari TEMPO, bahwa semua pembangunan yang dilaksanakannya sebetulnya sudah memiliki izin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini