Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Si haram itu masih tetap berserakan

Pelaksanaan inpres no 3 masih tersendat. dimana 57 jenis pestisida yang terlarang untuk padi, masih tetap beredar dan dicari petani. malahan harganya melonjak. diperlukan penyuluhan yang intensif. (ling)

7 Februari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI merasa bersalah, Harjono, 50, tetap saja menyemprotkan diazinon di sawahnya. Petani pemilik setengah hektar sawah di Sleman, Yogyakarta, itu tahu racun serangga tersebut termasuk di antara 57 jenis pestisida yang dilarang untuk padi, sesuai dengan Inpres No. 3, November 1986. "Saya berusaha taat, tapi apakah saya mesti tidak panen?" tuturnya. Menurut dia tanpa pestisida itu sawahnya bisa diamuk hama, dan bisa jadi panennya akan gagal. Karena itu, dia tidak berani mengambil risiko dan tetap menyemprotkan barang terlarang tersebut. Di Sidoarjo, Ja-Tim, pestisida itu juga masih berserakan d sawah-sawah, sekalipun kampanye pelarangannya lewat TV dan kerapatan desa begitu gencar. Di sini, pemakainya juga termasuk orang yang seharusnya tahu tentang pelarangan itu. Misalnya Bakir, ketua kontak tani setempat, bersama 17 anggotanya. Mengapa tak patuh ? "Maaf, sebetulnya Inpres itu 'kan hanya anjuran," kilah Bakir. Tampaknya, ia juga was-was, tanpa pestisida itu padinya akan musnah dimangsa wereng. Pelaksanaan Inpres No. 3 itu di sana sini memang masih tersendat. Selain berbagai alasan tadi, ada yang tetap memakai diazinon karena mudah diperoleh. Yang lebih menarik, sekalipun Inpres itu sudah berumur hampir tiga bulan, di Medan masih ada petani yang belum tahu. "Maklum, pendidikan mereka rendah, lagi pula mereka menganggap pemerintah terlalu mengatur tanaman mereka," kata Arita Siregar, Kepala Dinas Pertanian Medan, memberi dalih. Inpres ini dimaksudkan untuk mengendalikan serangan wereng cokelat yang begitu parah sepanlang musim tanam lalu, dari 9,8 juta ha tanaman padi yang ada, 220.000 ha rusak dimangsa wereng. Hal ini, kalau tak segera dikendalikan, bisa mengancam swasembada pangan. Munculnya biotipe ganas ini, rupanya karena pemakaian pestisida - yang dikampanyekan pemerintah besar-besaran - selama ini mengakibatkan hama itu resisten. Yang musnah justru musuh alaminya, seperti berbagai jenis laba-laba. Untuk itu, selain berusaha mencari VUTW baru dan menyeragamkan pola tanam, Inpres ini mengharamkan pemakaian 57 jenis pestisida. Selama ini, 37 jenis di antaranya sudah lama beredar di sini. Antara lain diazinon, bassazinon, basudin dan sevin, tapi masih boleh dipakai untuk tanaman nonpadi, seperti palawija dan holtikultura. Tampaknya, ini menimbulkan kesulitan di lapangan, seperti dikatakan Direktur Pemasaran PT Pertani Susanto Kasdi, "Kalau pestisida itu sudah dibeli petani, kami tidak tahu lagi dipakai untuk apa. Terserah petaninya. Paling-paling kami bisa mengimbau agar jangan disemprotkan ke padi." Sebagai pemasok tunggal pestisida, perusahaan milik Departemen Pertanian ini memang tak mampu mengintip pemakaian racun serangga itu sampai ke sawah, karena pegawai mereka hanya 10 orang tiap kabupaten. "Bagaimana mereka bisa mengawasi sawah 100.000 ha di Kabupaten Karawang, misalnya," ucap Kasdi. Taruhlah mereka mampu menangkap basah pelanggar, kesulitan lain masih ada. "Inpres itu tak ada sanksi hukumnya," ujar Suhaedi Wiraatmaja, Dirjen Pertanian Tanaman Pangan, kepada TEMPO. Maka, upaya yang diandalkan untuk mengamankan Inpres itu ialah melakukan penyuluhan. Misalnya menyebarkan berbagai poster dan selebaran. Kalau ternyata pestisida itu masih dipakai petani, dengan jujur Suhaedi berkata, "Mungkin karena penyuluhan kami belum menyentuh mereka." Pihaknya memperkirakan, petani baru melaksanakan Inpres itu setelah dua-tiga musim tanam. Ketika itu, persediaan pestisida yang ada di tangan petani diduga akan habis. Sebagai gantinya, sejak November lalu, Deptan telah mengedrop 508 ton pestisida halal ke daerah-daerah kecamatan, dan dibagikan secara gratis pada petani yang tak mampu. Pestisida halal itu dipilih jenis tertentu yang diduga tak akan mematikan musuh-musuh alami. Pestisida ini dibikin dari bahan baku karbamat - yang diharamkan, bahan bakunya: dari organo phospor - seperti applaud, baycarb, bassa, dan furadan, semuanya ada 10 merek. Jumlah obat pembasmi hama yang halal itu di pasaran, rupanya, belum memadai. Petani di wilayah Yogya, misalnya, membutuhkan sampai 200 ton setiap musim tanam. Nyatanya, seperti diungkapkan sebuah sumber di PT Pertani setempat, jatah yang dilempar ke daerah itu cuma 130 ton, itu pun 5 ton di antaranya harus tetap disimpan di gudang - sebagai persediaan - menjaga kemungkinan serangan wereng yang datang mendadak. PT Pertani mengakui, pengadaan pestisida itu agak seret karena, ketika Inpres itu keluar, bahan bakunya terbatas. Anehnya, saat ini ada 272 ton applaud produksi PT Petrokimia Kayaku di Gresik tertahan di gudang. "Kami belum boleh memasarkan walau sudah telanjur memproduksi," kata Soaloon Siagian, Direktur Utama perusahaan itu. Menurut Dirjen Suhaedi Wiraatmaja, kemacetan itu disebabkan kontrak dengan pihak Jepang -- penjual bahan bakunya -- belum beres. Sedang menurut Siagian, mereka dilarang memasarkan produknya itu karena pemerintah mendapat hibah 1.143 ton applaud dari Jepang. Pabrik ini ternyata tetap memproduksikan jenis pestisida yang diharamkan, diazinon dan bassazinon, dengan besar produksi sama dengan sebelum Inpres No. 3 keluar. Alasan: dipakai untuk tanaman nonpadi. Siagian enggan mengungkap data produksi itu. Padahal, menurut Nicolaus Daryanto, Sekjen AP31 (Asosiasi Perusahaan Perindustrian Pestisida Indonesia), semua jenis pestisida terlarang itu belum boleh diproduksikan, menunggu negosiasi dengan pemenntah. Sekarang sedang dirundingkan nasib bahan baku pestisida haram yang telanjur diimpor. "Kabarnya, sebagian akan dibeli pemerintah," ujar Nicolaus. Dia mendengar, karena banyak dicari, harga pestisida terlarang itu di pasaran melonjak menjadi Rp 3.500 sampai Rp 4.000 per kilo, padahal mestinya paling mahal Rp 2.750. Menghadapi kenaikan harga, Harjono dari Sleman tadi, terpaksa membeli pestisida jenis murah. Khawatir racun itu kurang tokcer, dia membantunya dengan menyiramkan minyak tanah ke tengah sawah. "Saya sudah tiga kali tidak panen, baru sekarang panen, setelah pestisida itu saya bantu dengan minyak tanah," katanya. Melarang barang haram, tanpa penyuluhan yang cukup, ternyata malah merepotkan. Lalu, bagaimana wereng bisa dihantam? Amran Nasution, Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus