PERJALANAN panjang Rudy Ambon, sementara, memang setop di Tulungagung. Duduk di kursi tertuduh, Rudy alias Ibrahim atau Roby kelihatan tenang. Ia berdoa sebentar. Celana birunya agak mewah dan mahal. Berkemeja putih, lengan panjang, dua kancing atas menguak. Bulu dadanya lebat, berewoknya berbekas tajam. Di kantung baju ada Injil kecil. Tulisan "Yesus" pada sampulnya. Sepasang sepatu kulit di kaki, warna cokelat, bersih, meski tak mengkilap. Rudy Ambon, perampok kakap buronan polisi. Ia digunjingkan di beberapa kota, di Jawa, karena membentuk kawanan penjarah, terutama terhadap nasabah bank. Dia ikut kabur dari Rutan Salemba, 1985, setelah ngendon di sana lantaran Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonisnya 5 tahun. Ia ditangkap di Magelang pada 1984. Setelah lari dari Salemba, dan 15 bulan buron, Rudy terjebak di Kediri, Agustus 1986 lalu (lihat BOX). Sidang di Pengadilan Negeri Tulungagung, Senin lalu, agak khusus. Tiga yang selama ini biasa sebagai Hakim Ketua di PN itu, misal, sama-sama duduk dalam barisan majelis yang diketuai Ny. Soeharti Kartono. Sementara itu, berkas atas nama Rudy dan kawan-kawannya, dan tindak kejahatan yang diadili, di 4 PN meliputi: Jombang, Kediri, Nganjuk, dan Tulungagung. Dari 13 kasus yang diajukan Jaksa Penuntut Umum Suwar Minanto, sembilan di antaranya terjadi di Tulungagung, kota kabupaten, 154 km di selatan Surabaya. Rudy tobat? Kawan-kawannya di luar memang tak terdengar lagi. Dua anggota komplotannya terakhir, Bambang Hermanto alias Benny Setiawan, 28, dan Sugianto alias Sugik, 34, ikut digulung. Dan hari itu, keduanya di depan meja hijau, bersama Rudy. Memasuki ruang sidang, mereka diborgol. Benny berbaju batik lengan panjang dasar biru, sewarna dengan celananya. Rambutnya dicukur bersih. Ia bersepatu bot. Tetapi Sugik mengelak necis. Malah santai dan bercelana jeans cokelat. Sepatunya juga cokelat. Kemejanya berkotak-kotak hijau, kombinasi merah dengan cokelat. Warna cokelat tampaknya idola regu Rudy dkk. Sidang dibuka pukul 09.00. Jaksa Penuntut Umum Suwar Minanto mendakwa tiga sekawan ini 13 kali merampok di beberapa kota di Jawa Timur. Dan mengumpulkan jarahan lebih dari Rp 50 juta. Tapi para terdakwa keberatan pada dakwaan sang jaksa. "Kami tak pernah mengancam. Apalagi membacok," ucap Rudy mengelak. Ketua majelis mengatakan, keberatan itu boleh dibicarakan nanti dengan penasihat hukum. "Saya tak mau didampingi pembela. Saya akan berterus terang. Tidak ingin berbelit-belit. Saya harap sidang cepat selesai," ujar Rudy. Benny dan Sugik, idem dito. Karena ancaman hukuman lebih dari lima tahun, mereka harus didampingi pembela. Hakim kemudian memanggil Willy Setyawan, S.H. dan Atim Mijanto, S.H., yang sebelumnya dicadangkan untuk membela mereka. Dan usai sidang, sekali lagi, Rudy Ambon mengatakan kepada Hakim Arisani M. Madjid, S.H., dia akan mengaku berterus terang. Dan setengah berteriak, dia bilang, "Sumpah. Saya belum pernah bunuh orang." Tapi, dalam setiap mencari mangsanya, Rudy selalu mengubah formasi komplotannya. Bila dapat sasaran, katanya, ia selalu dengan pasangan yang cocok. "Hanya, kawan yang beroperasi saja berhak dapat bagian. Tak ada kewajiban nyetor hasil jarahan kepada seseorang," tutur Rudy. Menurut polisi, Rudy punya jaringan di berbagai kota. Bahkan sampai ke Bali. Sejak dikejar-kejar gara-gara buntut nalo itulah, ketika masih di Yogya, pertama ia terlibat dalam dunia kejahatan. Rupanya keenakan, karena dia "sering berhasil" dan bertampang "seram". Ia mengaku tetap berusaha bertindak "lembut". Rudy justru ingin menegakkan "citra" dirinya, walau ia seorang penjahat. Dia, katanya, tidak "galak", seperti dikesankan orang selama ini. "Tujuan saya yang utama, mengambil uang atau barangnya saja," katanya. Ia mengaku tidak bermaksud melukai korbannya. Kecuali bila sangat terpaksa. "Kalau saya mengancam, itu hanya gertak," ujarnya sambil terkekeh. Meski begitu, banyak orang harus waspada. Pengawalan di pengadilan cukup ketat. Satu peleton polisi dikerahkan. Bahkan Soeharti Kartono menyuruh berawas-awas "Dia itu kelihatannya saja baik. Tapi siapa tahu, itu cuma sandiwara," katanya. Sumber kepolisian siap menjaga kemungkinan. Tak mustahil bila rekan-rekan Rudy yang diam-diam di luar bakal bikin ulah untuk membebaskan gembong perampok itu. "Kawan-kawan saya sudah mati semua," kata Rudy. Hari itu seperti hari penghabisan baginya. Kepada Yopie Hidayat dari TEMPO, ia bilang, "Kali ini yang terakhir bagi saya. Pasti. Ini bukan mungkin lagi," ujarnya. Ia mencucurkan air mata. Senin pagi itu, sebelum sidang dimulai, ada keharuan. Agak lain. Dua orang wanita hadir. Emmy, istri Sugik, membawa anaknya yang kedua, perempuan. Dan Wiwiek, istri Benny, menggendong Lala, anak satu-satunya, berusia setahun. Emmy menangis, sambil memukulkan tinjunya ke tembok kamar tahanan di pengadilan. Wiwiek agak tabah, walau air matanya meleleh. Dan isaknya terdengar satu-satu. Sugik tak kuasa menahan diri. Ada sembab basah di matanya. Benny malah tenang. Ia mengelus rambut si kecil, Lala. Budiman S. Hartoyo, Laporan Yopie Hidayat (Biro Ja-Tim)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini