SEBAGIAN warga kota Jakarta bisa mencuci mobil mereka dengan
air PAM (Perusahaan Air Minum), sementara masih banyak keluarga
harus mengandalkan gerobak pengedar air. Pekan lalu mereka yang
tinggal di Jakarta Utara bahkan terpaksa menadah air hujan.
Soalnya ialah gerobak para pengedar dirazia oleh petugas Kamtib
yang sedang rajin.
Kebutuhan akan air meningkat dengan bertambahnya penduduk.
Penduduk Jakarta tahun 1980 diperkirakan 6,4 juta. Sementara
jaringan PAM hanya dapat melayani 15 % dari jumlah itu.
Selebihnya penduduk ibukota harus memompa atau menimba air
sumur.
Dari 235 kelurahan di DKI ini hanya 148 yang dijangkau
jaringan PAM yang mengalirkan air seb.myak 5,4 m3 per detik. Ini
pun hanya dinikmati 23% penduduk kelurahan itu dengan rata-rata
memperoleh 5 liter sehari. Rencana Induk DKI ialah mensuplai 230
liter untuk setiap orang sehari.
Masalahnya bukan produksi atau pendistribusian air bersih
saja. Juga penyediaan air baku cukup menimbulkan kekhawatiran.
Pekan lalu suatu seminar di Jakarta membahas masalah itu. Dengan
tema Masalah Pensediaan Air Untuk DKI Jakarta, seminar ini
diprakarsai oleh HUKLHI (Himpunan Untuk Kelestarian Lingkungan
Hidup), berkenaan dengan hari ulang tahun ke3 organisasi itu.
Dalam seminar ini berbagai makalah disajikan. Tampak menonjol
soal teknologi pengolahan air bersih di samping pencemaran air
baku oleh berbagai kegiatan manusia. Segi teknologinya menyorot
berbagai kemungkinan dan rencana PAM meningkatkan kapasitasnya
mengolah sumber air permukaan. Segi pencemaran rupanya belum di
sadari masyarakat. Dirasakan.perlu adaupaya membangkitkan
kesadaran masyarakat tentang pencemaran. Dan untuk mengatasi
berbagai hal tadi, ada usul supaya diadakan suatu otorita
pengelola masalah air yang terpadu.
Sumber penyediaan air tanah dan air permukaan--seperti
sungai, danau, dan waduk --telah cukup dibahas. Namun sedikit
pun tidak disinggung kemungkinan mendaurulangkan (recycling) air
yang sudah dipakai, atau kemungkinan mendirikan fasilitas
pemisahan garam dari air laut.
Selain sektor rumah tangga, sektor industri juga membutuhkan
air. Sektor industri di wilayah Jakarta dan sekitarnya agaknya
tidak sulit memperoleh kebutuhannya, melalui sumur bor dalam.
Air tanah disedot industri dengan izin resmi semestinya. Sekitar
1000 sumur bor dalam terdaftar resmi di DKI atau hanya 60% dari
jumlahnya sebenarnya.
Dalam makalahnya, Dr. F. Hehuwat dari Lembaga Geologi dan
Pertambangan Nasional mengemukakan 100 liter per menit sebagai
debit setiap pompa sumur bor dalam itu yang rata-rata bekerja
selama 10 jam setiap hari kerja. Bila diambil jumlah pompa yang
terdaftar saja, ini berarti setiap menit sebanyak 15 truk tanki
air bisa diisinya. Tiap truk punya kapasitas 4000 liter. Itu
juga berarti air tanah yang disedot cukup untuk 15.000 tanki
sehari. Bila semua truk itu dideret, barisannya akan sepanjang
Tanjungpriok sampai Bogor.
Air yang disedot dengan laju kapasitas demikian--dari akifer
(lapisan yang mengandung air) di kedalaman tanah itu -- jauh
lebih banyak dari pada yang kembali terisi oleh resapan air
hujan di hulu. Akibatnya? Pertama, air laut mengisi kekosongan
yang ditimbulkan sedotan hebat itu dan mulai mencari persediaan
air tanah. Kedua, tanah itu akan ambles.
Intrusi air laut--yang oleh Hehuwat dinamakan penyu-
supan--diketahui sudah mencapai garis Hotel Indonesia di
Jakarta. Bahkan pada kedalaman lebih jauh lagi.
Posisi Unik
Dr. M.M. Purbo Hadiwidjoyo dari FTSP ITB menamakan hal ini
penambangan air. "Bila pengambilan melebih pemasukan, itu
namanya penambangan," katanya. Memang kalangan ahli hidrologi
mengenal istilah itu.
Hakekatnya kondisi air dalam tanah tidak berbeda dengan
minyak. Dan menambang air tanah itu sebetulnya tidak berbeda
dengan menarnbang minyak bumi. Kapasitas akifer berbeda-beda.
Ada akifer yang laju pengisiannya kembali amat lamban.
Penyedotannya, walaupun sedikit saja, merupakan penambangan.
Tapi kebanyakan akifer secara berkala terisi kembali, sekalipun
penyedotannya melalui sumur artetsis cukup banyak.
Jakarta, yang terletak di dataran pantai, sebetulnya punya
posisi unik dan menguntungkan. Ibukota ini berada di atas
sejumlah lapisan yang mengandung air (akifer). Berbagai lapisan
akifer ini membentang dari pedalaman, sekitar wilayah Bogor di
selatan, sampai ke pantai Teluk Jakarta. Air hujan yang jatuh di
wilayah itu sebagian hanyut ke laut melalui sungai-sungai sedang
sebagian meresap melalui lapisan tadi dan mengalir di bawah
tanah menuju laut pula.
Hanyutnya air tanah ke laut bisa dicegah. Israel, misalnya,
mencegahnya dengan memasang pompa di sepanjang pantainya di Laut
Tengah. lni dikendalikannya secara teliti sekali. Juga
dicegahnya pengambilan berkelebihan yang bisa menyebabkan akifer
air tawar tercemar oleh air asin dari laut. Bahkan ada air
limbah kota Israel yang diolah untuk kemudian diinjeksikan ke
dalam akifer guna membatasi intrusi air laut. Menjelang tahun
1985 Israel malah akan memanfaatkan teknologi penawaran air laut
dan mendaurulangkan air limbah industri dan kota.
Agaknya teknologi air semacam itu sudah mendesak bagi
Indonesia, khususnya Jakarta, untuk diterapkan. Setidak- nya,
demikian antara lain pesan yang muncul dari seminar pekan lalu
itu, Indonesia perlu meningkatkan prioritas investasi bagi
keperluan suplai air.
Kebetulah 10 November ini Sidang Umum PBB mengesahkan suatu
kampanye Dasawarsa Suplai Air Minum dan Sanitasi Internasional
1981-9l). Indonesia dan negara Dunia Ketiga lainnya terutama
sekali menjadi sasaran kampanye Dasawarsa itu.
Berbagai badan PBB dan lembaga internasional lainnya terlibat
di dalamnya. "Seribu juta anak-anak (di dunia) sedikit sekali
atau tak terjangkau oleh air bersih," ucap Henry F. Labouisse,
bekas direktur eksekutif UNICEF, suatu badan PBB. "Suplai air
bersih secukupnya adalah suatu hak manusia," sambung Dr Halfdan
Mahler, direkturjenderal WIIO, badan PBB lainnya.
Mengikuti derap Dasawarsa itu, Indonesia sudah menyatakan
sasarannya yang dikaitkan dengan Repelita. Suplai air bersih,
demikian sasaran Indonesia yang dicatat W}IO, diharapkan akan
menjangkau 75% penduduk perkotaan dan 42% penduduk pedcsaan.
Memadaikah itu? PBB menghimbau supaya negara masing-masing
mencapainya 100%.
Seminar pekan lalu di Jakarta tampaknya mengingatkan lagi
supaya Indonesia lebih serius dalam hal ini. Gagasan pemerataan
juga dituntut untuk pengadaan air bersih bagi rakyat banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini