Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Krakahan Dikepung Bah

Desa Krakatau, Brebes tanahnya gundul, kalau hujan banjir, dimusim kemarau tanahnya retak. penduduk makan nasi diseling singkong & umbi. upaya menanggulangi banjir pernah dilakukan oleh Prosida.

15 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANAH di desa itu gundul, hampir tak ada pohon untuk berteduh. Di musim hujan diluapi banjir dan di musim kemarau tanah retak semua. Tak ada padi yang bisa tumbuh. Akibatnya sejak sembilan tahun lalu penduduk makan nasi diseling singkong atau umbi rumput-rumputan yang disebut teki. Di daerah lain ada yang menyebut tike. Itu sekilas wajah Desa Krakahan di Kecamatan Tanjung, Brebes, Jawa Tengah, 2 km sebelah utara jalan raya Tegal-Cirebon. Penduduknya 2.000 jiwa lebih, hidup sebagai petani, nelayan, peternak tambak dan peladang garam. Teki adalah sejenis rumput liar, umbinya bergaris tengah tak lebih dari 1 cm. Bila direbus, rasanya hampir sama dengan talas atau kentang. Ada pula yang digoreng seperti emping. Rumput semacam ini tumbuh liar dengan suburnya di areal sawah seluas 50 ha yang tak lagi bisa digarap untuk tanaman padi akibat pengairan yang tak teratur. Setiap hari bisa disaksikan ratusan penduduk mengais tanah mencari teki. Mereka mencangkul sebongkah tanah, kemudian mengorek dengan golok atau pisau. Di sela-sela bongkahan tanah itulah didapati umbi teki. Sebenarnya ada 412 hektar areal persawahan di Krakahan. Tapi tidak dapat diharapkan hasilnya. Selama enam bulan, hampir setiap musim penghujan, sawah-sawah di desa itu terendam air setinggi 1,5 meter. Perkampungan penduduk pun tergenang setinggi 0,75 meter. Musim hujan merupakan siksaan bagi desa yang luasnya 833 hektar itu. Ombak pasang dari laut juga merupakan momok bagi nelayan tradisional di sana. "Selama dua hati dua malam di laut, setiap orang hanya mendapat penghasilan Rp 200," kata Kadras, 40 tahun, nelayan yang hatus menghidupi 10 anak. Bisa dibayangkan kapan mereka sempat bertemu dengan nasi, kalau harga beras di sana berkisar antara Rp 200 sampai Rp 225/kg. Menurut seorang peneliti yang pernah mampir ke desa itu, penghasilan rata-rata penduduk malah cuma Rp 50/hari. Tapi Kepala Desa Soepawi mengatakan, penghasilan penduduknya rata-rata antara Rp 1.000 sampai Rp 1.500/ hari. "Terutama yang bekerja di tambak ikan atau penggaraman," katanya. Ia juga membantah penduduk makan umbi rumput. Satu hal yang pasti, baru awal tahun ini penduduk menikmati air bersih dari empat sumur artetis--itu pun hasil swadaya penduduk sendiri. Upaya menanggulangi banjir bukannya tak ada, tapi gagal. Misalnya yang dilakukan oleh Prosida (proyek irigasi bantuan Bank Dunia) pada 1976, dengan menggabungkan aliran sungai kecil seperti Babakan, Kedawung, Sibrogan, Kabuyutan dan Tanjung Wetan di sebelah utara desa. Air disalurkan lewat sudetan --saluran yang menghubungkan aliran sungaisungai tadi. Kelima sungai itu memang mengepung desa. Usaha Prosida tersebut diharapkan dapat menambah daya dorong air dan endapan lumpur hingga bisa lebih cepat mengalir ke Laut Jawa. Tapi karena endapan lumpur yang begitu banyak itu ternyata tak tertampung, akibatnya air kembali menggenangi desa. Kegagalan ini diakui oleh pihak Prosida meskipun dikatakan sudetan itu "hanya bersifat sementara". Mengepung Desa "Masyarakat desa di sini minta agar aliran sungai dikembalikan seperti semula," kata seorang pamong desa. Untuk mengatasi kesulitan penduduk, tahun lalu Prosida menutup sudetan yang menghubungkan aliran Sungai Babakan, Kabuyutan dan Tanjung Wetan hingga ketiganya langsung kembali mengalir ke laut. Sedang aliran Sungai Sibrogan dan Kedawung tetap disatukan. Tapi usaha ini pun belum membuat Desa Krakahan bebas banjir. Akhirnya Prosida tiba pada satu kesimpulan: penang- gulangan genangan air di desa itu hanyalah bersifat sementara. "Sebab biang keladi dari genangan itu sendiri adalah gundulnya tanah-tanah di hulu sungai, hingga sungai lebih cepat mendangkal karena endapan yang mengalir cukup besar," kata seorang petugas Prosida. Tahun lalu Prosida juga minta Pusat Pengembangan Agribisnis (P2A) di Jakarta untuk meneliti keadaan sosialekonomi penduduk di kawasan itu. Oktober tahun lalu, turunlah Chamsiah Djamal, tenaga peneliti dari P2A bersama 17 mahasiswa. "Penelitian kami tidak hanya di Krakahan saja tapi di sepanjang pantai utara Jawa Tengah," kata Chamsiah akhir pekan lalu. Kalangan P2A berpendapat penduduk Krakahan tak perlu ditransmigrasikan. "Lebih baik keadaan sosial-ekonomi penduduk di desa itu ditanggulangi," kata M. Usman Imran, peneliti lainnya dari P2A. Menurut dia, penduduk masih bisa dibimbing agar produktif. Misalnya mengembangkan usaha peternakan, tambak ikan dan penggaraman. Kabarnya di Jawa Tengah emping teki bisa laku Rp 1.000/kg. Tapi penduduk Krakahan nampaknya belum mengetahui bagaimana cara menjualnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus