TANAH di desa itu gundul, hampir tak ada pohon untuk
berteduh. Di musim hujan diluapi banjir dan di musim kemarau
tanah retak semua. Tak ada padi yang bisa tumbuh. Akibatnya
sejak sembilan tahun lalu penduduk makan nasi diseling singkong
atau umbi rumput-rumputan yang disebut teki. Di daerah lain ada
yang menyebut tike.
Itu sekilas wajah Desa Krakahan di Kecamatan Tanjung, Brebes,
Jawa Tengah, 2 km sebelah utara jalan raya Tegal-Cirebon.
Penduduknya 2.000 jiwa lebih, hidup sebagai petani, nelayan,
peternak tambak dan peladang garam.
Teki adalah sejenis rumput liar, umbinya bergaris tengah tak
lebih dari 1 cm. Bila direbus, rasanya hampir sama dengan talas
atau kentang. Ada pula yang digoreng seperti emping. Rumput
semacam ini tumbuh liar dengan suburnya di areal sawah seluas 50
ha yang tak lagi bisa digarap untuk tanaman padi akibat
pengairan yang tak teratur.
Setiap hari bisa disaksikan ratusan penduduk mengais tanah
mencari teki. Mereka mencangkul sebongkah tanah, kemudian
mengorek dengan golok atau pisau. Di sela-sela bongkahan tanah
itulah didapati umbi teki. Sebenarnya ada 412 hektar areal
persawahan di Krakahan. Tapi tidak dapat diharapkan hasilnya.
Selama enam bulan, hampir setiap musim penghujan, sawah-sawah
di desa itu terendam air setinggi 1,5 meter. Perkampungan
penduduk pun tergenang setinggi 0,75 meter. Musim hujan
merupakan siksaan bagi desa yang luasnya 833 hektar itu. Ombak
pasang dari laut juga merupakan momok bagi nelayan tradisional
di sana.
"Selama dua hati dua malam di laut, setiap orang hanya
mendapat penghasilan Rp 200," kata Kadras, 40 tahun, nelayan
yang hatus menghidupi 10 anak. Bisa dibayangkan kapan mereka
sempat bertemu dengan nasi, kalau harga beras di sana berkisar
antara Rp 200 sampai Rp 225/kg. Menurut seorang peneliti yang
pernah mampir ke desa itu, penghasilan rata-rata penduduk malah
cuma Rp 50/hari.
Tapi Kepala Desa Soepawi mengatakan, penghasilan penduduknya
rata-rata antara Rp 1.000 sampai Rp 1.500/ hari. "Terutama yang
bekerja di tambak ikan atau penggaraman," katanya. Ia juga
membantah penduduk makan umbi rumput.
Satu hal yang pasti, baru awal tahun ini penduduk menikmati
air bersih dari empat sumur artetis--itu pun hasil swadaya
penduduk sendiri. Upaya menanggulangi banjir bukannya tak ada,
tapi gagal. Misalnya yang dilakukan oleh Prosida (proyek irigasi
bantuan Bank Dunia) pada 1976, dengan menggabungkan aliran
sungai kecil seperti Babakan, Kedawung, Sibrogan, Kabuyutan dan
Tanjung Wetan di sebelah utara desa. Air disalurkan lewat
sudetan --saluran yang menghubungkan aliran sungaisungai tadi.
Kelima sungai itu memang mengepung desa. Usaha Prosida
tersebut diharapkan dapat menambah daya dorong air dan endapan
lumpur hingga bisa lebih cepat mengalir ke Laut Jawa. Tapi
karena endapan lumpur yang begitu banyak itu ternyata tak
tertampung, akibatnya air kembali menggenangi desa. Kegagalan
ini diakui oleh pihak Prosida meskipun dikatakan sudetan itu
"hanya bersifat sementara".
Mengepung Desa
"Masyarakat desa di sini minta agar aliran sungai
dikembalikan seperti semula," kata seorang pamong desa. Untuk
mengatasi kesulitan penduduk, tahun lalu Prosida menutup sudetan
yang menghubungkan aliran Sungai Babakan, Kabuyutan dan Tanjung
Wetan hingga ketiganya langsung kembali mengalir ke laut. Sedang
aliran Sungai Sibrogan dan Kedawung tetap disatukan. Tapi usaha
ini pun belum membuat Desa Krakahan bebas banjir.
Akhirnya Prosida tiba pada satu kesimpulan: penang- gulangan
genangan air di desa itu hanyalah bersifat sementara. "Sebab
biang keladi dari genangan itu sendiri adalah gundulnya
tanah-tanah di hulu sungai, hingga sungai lebih cepat mendangkal
karena endapan yang mengalir cukup besar," kata seorang petugas
Prosida.
Tahun lalu Prosida juga minta Pusat Pengembangan Agribisnis
(P2A) di Jakarta untuk meneliti keadaan sosialekonomi penduduk
di kawasan itu. Oktober tahun lalu, turunlah Chamsiah Djamal,
tenaga peneliti dari P2A bersama 17 mahasiswa. "Penelitian kami
tidak hanya di Krakahan saja tapi di sepanjang pantai utara Jawa
Tengah," kata Chamsiah akhir pekan lalu.
Kalangan P2A berpendapat penduduk Krakahan tak perlu
ditransmigrasikan. "Lebih baik keadaan sosial-ekonomi penduduk
di desa itu ditanggulangi," kata M. Usman Imran, peneliti
lainnya dari P2A. Menurut dia, penduduk masih bisa dibimbing
agar produktif. Misalnya mengembangkan usaha peternakan, tambak
ikan dan penggaraman. Kabarnya di Jawa Tengah emping teki bisa
laku Rp 1.000/kg. Tapi penduduk Krakahan nampaknya belum
mengetahui bagaimana cara menjualnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini