Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Buntut Harimau, Dimana-mana

Buntut pelarangan pukat harimau diberbagai daerah. di cirebon anak buah kapal pukat harimau berdemontrasi menuntut uang tunggu & dana simpanan nelayan.

15 November 1980 | 00.00 WIB

Buntut Harimau, Dimana-mana
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TAK tahan berpangku tangan di darat, akhir bulan lalu lebih dari 200 anak buah kapal (ABK) pukat harimau berdemonstrasi untuk menemui Walikota Cirebon, Aboeng Koesman. Mereka menyampaikan keluhan karena selama kapal pukat harimau tidak melaut, mereka tidak menerima uang tunggu dari pemilik kapal. "Padahal belum ada pemutusan hubungan kerja," kata Martopo, salah seorang ABK yang ikut jalan kaki dari pelabuhan Cirebon ke kantor walikota. Tapi para pemilik pukat umumnya enggan membayar uang tunggu itu. "Bagaimana saya bisa membayar uang tunggu kalau kapal tidak beroperasi." ujar Bakri, pemilik 29 trawler. Selain itu, 200 ABK yang mewakili rekan-rekan mereka yang seluruhnya berjumlah 1.200 orang itu juga menanyakan dana simpanan nelayan. Selama ini pemda memang mengutip retribusi 5% dari tiap hasil lelang ikan di tempat pelelangan ikan (TPI). Dari jumlah retribusi itu, 1/2% di antaranya untuk dana simpanan nelayan. Dipungut sejak 1977, dana simpanan nelayan Cirebon itu diperkirakan kini berjumlah Rp 28,8 juta. Tapi menurut Sekwilda Kodya Cirebon uang itu kini sudah dipergunakan untuk membantu nelayan tradisional lewat APBD Kotarnadya Cirebon. "Soalnya penghasilan para ABK kan jauh lebih besar," kata Sekretaris Kotamadya Cirebon, Drs. Haji Moh. Djufri Pringadi. Di Cilacap (Ja-Teng), sebagian besar dari 700 ABK pulang ke kampung asal mereka di pantai utara Jawa atau di daerah Banyumas. Sisanya kembali menjadi nelayan tradisional dengan perahu compreng atau jukung bermotor dan jaring nilon. Mereka beruntung, karena pelarangan pukat harimau bersamaan dengan masa panen ikan. Sehingga meski dengan peralatan tradisional, penghasilan mereka tetap lumayan. Di sini tak timbul tuntutan uang tunggu, karena sebelum pelarangan pukat harimau setiap tahun mereka telah menerima dana simpanan nelayan lewat KUD Mino Saroyo. Pertengahan bulan lalu misalnya dana simpanan yang diterimakan kepada ABK meliputi Rp 27 juta lebih--setiap orang rata-rata menerima Rp 35.000. Sebagai tindak lanjut dari Keppres 39/1980 mengenai pelarangan pukat harimau, kini untuk Jawa dan Bali tersedia kredit Rp 30 milyar. Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) Solichin GP akhir bulan laluberada di Cirebon-Semarang-Cilacap untuk menjelaskan paket kredit tersebut. Solichin menawarkan empat macam kredit, yaitu untuk para pemilik pukat harimau untuk kelompok ABK yang bekerjasama dengan seorang pemilik kapal untuk kelompok ABK yang menyewa kapal dari pemilik dan untuk kelompok ABK yang membeli kapal pukat harimau. Untuk keempat macam kredit itu masing-masing tersedia Rp 3 juta (untuk mengubah trawler menjadi kapal biasa) Rp 2 juta untuk modal kerja Rp 9 juta (kalau jaring diganti dengan purse seine) dan Rp 3 juta (kalau jaring diganti gill net). Di Cilacap, para pemilik kapal bingung menghadapi tawaran Solichin. "Kalau alat yang diterima tak bisa dipakai, kan hanya menumpuk utang saja," kata salah seorang pemilik pukat. Menurut dia, jaring non-trawl seperti purse seine atau gill net tidak cocok di perairan Cilacap. "Di sini ombaknya besar, arusnya kuat. Jaring seperti itu bisa rantas," tambahnya. Terkatung-katung Akibatnya banyak pemilik kapal di Cilacap berdiam diri. Sampai minggu lalu banyak kapal nongkrong di pelabuhan, ada yang mesinnya dilepas buat disimpan atau dijual. Di Surabaya sebagian besar dari seluruh ABK yang jumlahnya 171 orang juga mudik pula ke kampung asal mereka di Probolinggo, Madura dan Bawean. Celakanya, di Ja-Tim tidak ada dana simpanan nelayan. Tapi ABK yang masih tinggal di Surabaya kini gigih minta kredit. Mereka membentuk 4 kelompok, masing-masing terdiri 3 orang. Tapi untuk memperoleh kredit modal kerja yang Rp 2 juta itu masih sulit. Belakangan baru diketahui bahwa cara mendapatkannya diubah, sedang kreditnya pun lebih besar. Yaitu, "tiap kelompok harus terdiri 9 orang dan kreditnya Rp 9 juta untuk membeli purse seine," kata A. Moe'id Muthohar, sekretaris HNSI Ja-Tim. Di Ja Tim terdapat 68 pukat harimau, tersebar di Surabaya, Gresik dan Pacitan. ABKnya meliputi 571 orang. Sementara menunggu kredit turun, nasib para ABK terkatung-katung. Ada yang menjadi penjual rokok eceran, atau menjadi buruh kasar sekitar pelabuhan. Anehnya tak ada wakil rakyat atau orang HNSI yang membela mereka. Di Cirebon misalnya, seorang anggota DPRD hanya berkata: "Sampai sekarang belum ada pemberitahuan dari pihak eksekutif tentang pelaksanaan Keppres 39/1980." Ketua DPC HNSI Cirebon, Soebardja, malah menyerahkan penyelesaiannya kepada pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus