TAK tahan berpangku tangan di darat, akhir bulan lalu lebih
dari 200 anak buah kapal (ABK) pukat harimau berdemonstrasi
untuk menemui Walikota Cirebon, Aboeng Koesman. Mereka
menyampaikan keluhan karena selama kapal pukat harimau tidak
melaut, mereka tidak menerima uang tunggu dari pemilik kapal.
"Padahal belum ada pemutusan hubungan kerja," kata Martopo,
salah seorang ABK yang ikut jalan kaki dari pelabuhan Cirebon ke
kantor walikota.
Tapi para pemilik pukat umumnya enggan membayar uang tunggu
itu. "Bagaimana saya bisa membayar uang tunggu kalau kapal tidak
beroperasi." ujar Bakri, pemilik 29 trawler. Selain itu, 200 ABK
yang mewakili rekan-rekan mereka yang seluruhnya berjumlah 1.200
orang itu juga menanyakan dana simpanan nelayan. Selama ini
pemda memang mengutip retribusi 5% dari tiap hasil lelang ikan
di tempat pelelangan ikan (TPI).
Dari jumlah retribusi itu, 1/2% di antaranya untuk dana
simpanan nelayan. Dipungut sejak 1977, dana simpanan nelayan
Cirebon itu diperkirakan kini berjumlah Rp 28,8 juta. Tapi
menurut Sekwilda Kodya Cirebon uang itu kini sudah dipergunakan
untuk membantu nelayan tradisional lewat APBD Kotarnadya
Cirebon. "Soalnya penghasilan para ABK kan jauh lebih besar,"
kata Sekretaris Kotamadya Cirebon, Drs. Haji Moh. Djufri
Pringadi.
Di Cilacap (Ja-Teng), sebagian besar dari 700 ABK pulang ke
kampung asal mereka di pantai utara Jawa atau di daerah
Banyumas. Sisanya kembali menjadi nelayan tradisional dengan
perahu compreng atau jukung bermotor dan jaring nilon. Mereka
beruntung, karena pelarangan pukat harimau bersamaan dengan masa
panen ikan. Sehingga meski dengan peralatan tradisional,
penghasilan mereka tetap lumayan. Di sini tak timbul tuntutan
uang tunggu, karena sebelum pelarangan pukat harimau setiap
tahun mereka telah menerima dana simpanan nelayan lewat KUD Mino
Saroyo. Pertengahan bulan lalu misalnya dana simpanan yang
diterimakan kepada ABK meliputi Rp 27 juta lebih--setiap orang
rata-rata menerima Rp 35.000.
Sebagai tindak lanjut dari Keppres 39/1980 mengenai
pelarangan pukat harimau, kini untuk Jawa dan Bali tersedia
kredit Rp 30 milyar. Sekretaris Pengendalian Operasional
Pembangunan (Sesdalopbang) Solichin GP akhir bulan laluberada di
Cirebon-Semarang-Cilacap untuk menjelaskan paket kredit
tersebut.
Solichin menawarkan empat macam kredit, yaitu untuk para
pemilik pukat harimau untuk kelompok ABK yang bekerjasama
dengan seorang pemilik kapal untuk kelompok ABK yang menyewa
kapal dari pemilik dan untuk kelompok ABK yang membeli kapal
pukat harimau.
Untuk keempat macam kredit itu masing-masing tersedia Rp 3
juta (untuk mengubah trawler menjadi kapal biasa) Rp 2 juta
untuk modal kerja Rp 9 juta (kalau jaring diganti dengan purse
seine) dan Rp 3 juta (kalau jaring diganti gill net).
Di Cilacap, para pemilik kapal bingung menghadapi tawaran
Solichin. "Kalau alat yang diterima tak bisa dipakai, kan hanya
menumpuk utang saja," kata salah seorang pemilik pukat. Menurut
dia, jaring non-trawl seperti purse seine atau gill net tidak
cocok di perairan Cilacap. "Di sini ombaknya besar, arusnya
kuat. Jaring seperti itu bisa rantas," tambahnya.
Terkatung-katung
Akibatnya banyak pemilik kapal di Cilacap berdiam diri.
Sampai minggu lalu banyak kapal nongkrong di pelabuhan, ada yang
mesinnya dilepas buat disimpan atau dijual.
Di Surabaya sebagian besar dari seluruh ABK yang jumlahnya
171 orang juga mudik pula ke kampung asal mereka di Probolinggo,
Madura dan Bawean. Celakanya, di Ja-Tim tidak ada dana simpanan
nelayan. Tapi ABK yang masih tinggal di Surabaya kini gigih
minta kredit. Mereka membentuk 4 kelompok, masing-masing terdiri
3 orang.
Tapi untuk memperoleh kredit modal kerja yang Rp 2 juta itu
masih sulit. Belakangan baru diketahui bahwa cara mendapatkannya
diubah, sedang kreditnya pun lebih besar. Yaitu, "tiap kelompok
harus terdiri 9 orang dan kreditnya Rp 9 juta untuk membeli
purse seine," kata A. Moe'id Muthohar, sekretaris HNSI Ja-Tim.
Di Ja Tim terdapat 68 pukat harimau, tersebar di Surabaya,
Gresik dan Pacitan. ABKnya meliputi 571 orang. Sementara
menunggu kredit turun, nasib para ABK terkatung-katung. Ada yang
menjadi penjual rokok eceran, atau menjadi buruh kasar sekitar
pelabuhan.
Anehnya tak ada wakil rakyat atau orang HNSI yang membela
mereka. Di Cirebon misalnya, seorang anggota DPRD hanya berkata:
"Sampai sekarang belum ada pemberitahuan dari pihak eksekutif
tentang pelaksanaan Keppres 39/1980." Ketua DPC HNSI Cirebon,
Soebardja, malah menyerahkan penyelesaiannya kepada pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini