Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA pemerintah mengembangkan kompleks tambak udang vaname modern di sejumlah daerah memantik kekhawatiran para pegiat pelindungan lingkungan hidup. Dalam dua dekade terakhir, ekspansi budi daya perikanan terus menggerus hutan mangrove. Pembangunan tambak intensif—sebutan untuk tambak modern berskala luas dengan kepadatan tabur benih yang tinggi—juga dianggap sebagai biang pencemaran di laut dan pesisir pantai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai proyek pembangunan kompleks tambak udang modern (shrimp estate) ini tak ubahnya program lumbung pangan. Digeber pemerintah tiga tahun lalu, proyek food estate berupa ekstensifikasi dan intensifikasi lahan pertanian dinilai berantakan. Sedangkan pembukaan lahan kadung merusak ekosistem hutan, gambut, dan pertanian tanaman lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ditemui Irsyan Hasyim dari Tempo di kantornya, Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Tb. Haeru Rahayu, menampik tudingan para pemerhati lingkungan hidup itu. Dia memastikan KKP telah menyiapkan langkah-langkah agar program shrimp estate ramah lingkungan, berbeda dengan buruknya pengelolaan pada pembangunan tambak modern di masa lalu.
Haeru juga menjelaskan alasan pemerintah merancang proyek ini. Menurut dia, rencana itu untuk memenuhi target produksi udang 2 juta ton pada 2024 yang harus diwujudkan oleh KKP. “Bukan kami yang menetapkan target produksi udang nasional. Namun pemerintah melalui Kelompok Kerja Udang Nasional di bawah komando Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi,” kata Haeru pada Rabu, 31 Januari 2024.
Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Tb. Haeru Rahayu. ANTARA/HO-KKP
Bagaimana awalnya KKP terlibat dalam kebijakan ketahanan pangan seperti melalui proyek shrimp estate ini?
Saya harus mengawali dari kebijakan dasar Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. Beliau punya lima kebijakan dasar. Pertama, memperluas wilayah konservasi laut. Kenapa? Karena isu yang mau diangkat adalah melindungi laut dan sumber dayanya. Kedua, mengurangi tekanan dari aktivitas perikanan yang tidak ramah lingkungan, baik di perikanan tangkap maupun budi daya.
Perikanan tangkap ini yang diusung Pak Menteri. Kalau konservasi sudah bagus, sumber daya sudah oke, sudah banyak, maka harus dikendalikan. Bagaimana cara mengendalikannya? Pertama, yakni dengan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT). Jadi, untuk rilis pertama pakai kuota. Nanti yang kedua dan ketiga akan lebih spesifik. Pengaturan sudah sampai ikan yang bisa ditangkap hari ini jenis A, besok jenis B, dan seterusnya. Bahkan nanti penangkapan ikan harus pakai size dan pengaturan waktu.
Kalau penangkapan dikendalikan, produksinya pasti bakal stagnan. Maka harus ada yang didorong (produktivitasnya) karena masyarakat butuh makan. Jumlah penduduk dunia pada 2030 akan mendekati angka 8,5 miliar jiwa. Maka perlu adanya perikanan budi daya.
Tapi perikanan budi daya seperti apa?
Budi daya yang berkelanjutan. Supaya anak cucu kita ke depan bisa menikmati juga.
Saya selesaikan dulu gambaran kebijakan Pak Menteri. Isu ketiga adalah menjaga kelestarian wilayah laut. Kalau tadi upaya meningkatkan konservasi supaya bagus, dan kemudian pertumbuhan produksi perikanan didorong melalui perikanan budi daya, maka selanjutnya harus dijaga. Kita memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Paling tidak kita punya 111 pulau-pulau kecil terluar.
Kebijakan selanjutnya adalah penanganan sampah plastik. Sampah ini sangat luar biasa. Konon katanya, berdasarkan data, nomor satu produsen sampah plastik terbesar itu Cina. Dan kita itu produsen sampah plastik terbesar kedua. Kemarin, saya ke Cina. Sepertinya mereka bukan lagi produsen sampah plastik terbesar karena bersih banget. Jangan-jangan kita sudah naik ke urutan pertama.
Jadi, Ini kebijakan dasarnya. Kami mencoba memperluas perlindungan dan mengurangi tekanan atau dampak negatif kegiatan manusia. Serta melestarikan dan menjaga kualitas ekosistem laut dan layanan ekosistem. Ini yang kami jadikan nomenklatur disebut blue economy.
Sejumlah pekerja memanen udang vaname di lokasi Budi Daya Udang Berbasis Kawasan (BUBK), Kebumen, Jawa Tengah, 26 Juni 2023. ANTARA/Idhad Zaakaria
Lalu bagaimana arah kebijakan perikanan budi daya KKP dalam konsep tersebut?
Kami diminta mengembangkan perikanan budi daya yang berkelanjutan. Baik budi daya air tawar, payau, maupun laut. Strategi dan pendekatan yang kami ambil itu ada dua jenis. Pertama, perikanan budi daya yang orientasinya ekspor dengan komoditas unggulan, yaitu udang, rumput laut, lobster, kepiting, dan ikan nila. Kenapa hanya lima komoditas ini, padahal komoditas kita banyak? Kami ingin semua, tapi kami punya keterbatasan. Anggaran di KKP ini hanya Rp 6 triliun. Selain itu, dasarnya adalah market need. Ternyata lima komoditas itu luar biasa. Contoh ikan tilapia atau ikan nila, yang pada tahun lalu saja pasar globalnya mencapai US$ 13,9 miliar per tahun. Tahun ini diprediksi menjadi US$ 24,7 miliar untuk sepuluh tahun kemudian.
Di sisi lain, teknologi untuk budi daya lima komoditas itu juga sudah kita kuasai.
Kembali ke shrimp estate. Bagaimana konsepnya?
Untuk shrimp estate, khususnya di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pendekatannya ada di wilayah perikanan budi daya yang orientasi ekspornya lima komoditas unggulan tadi. Salah satunya itu udang. Budi daya udang ini ada dua strategi. Pertama itu modelling. Kedua, revitalisasi.
Apakah strategi itu untuk memenuhi target produksi udang nasional?
Bukan kami yang menetapkan target produksi udang nasional, melainkan pemerintah melalui Kelompok Kerja Udang Nasional di bawah komando Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Waktu itu yang menetapkan Deputi II. Kementerian terkait lainnya itu ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk infrastruktur, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga ada Kementerian Dalam Negeri untuk urusan dengan pemerintah daerah. Ada juga Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Pokja Udang Nasional ini meminta KKP memenuhi target produksi nasional sebanyak 2 juta ton atau nilai ekspor setara dengan peningkatan setara 200 persen pada 2024.
Lalu apakah disusun program-program untuk memenuhi target tersebut?
Kami coba elaborasi dengan melihat kondisi existing data. Kalau bicara udang, pasti bakal cerita soal tambak. Ternyata data kami sudah sounding sana-sini. Luas tambak di Indonesia itu 804.018 hektare. Kalau ditanya apakah data itu masih seperti yang dipunyai KKP? Jawabannya tidak, karena proses alam seperti abrasi, kemudian sudah alih fungsi seperti menjadi properti, dan terjadinya reklamasi yang luar biasa. Jadi, patokannya data ini saja dulu.
Kami coba petakan jumlah luasan itu, mana tambak budi daya udang dan selain udang. Dari 804.018 hektare tambak, budi daya udang hanya 37,4 persen atau 300.051 hektare.
Dalam tambak budi daya udang ini juga ada tiga pengklasifikasian secara teknis operasionalnya. Pertama, tambak udang intensif, seperti di Pantura yang ada kincir itu. Tambak jenis ini hanya 3 persen dari 300 ribu hektare. Selanjutnya ada semi-intensif yang menggunakan teknologi sedikit di bawah intensif, ada 15 persen atau 43.643 hektare. Yang paling banyak adalah tambak tradisional, 82 persen. Luasnya 274.804 hektare. Tambak ini masih mengandalkan alam. Pakannya juga seadanya.
Apakah tambak-tambak itu yang akan dimodernisasi dan direvitalisasi?
Kebijakannya adalah revitalisasi untuk tambak tradisional. Modelling pada tambak semi-intensif ke atas untuk menjadi perikanan budi daya modern terintegrasi. Dua pendekatan ini yang kami ambil. Kalau hanya berfokus ke modelling, pasti ada anggapan bahwa wong cilik tidak diperhatikan. Kalau hanya berfokus ke revitalisasi, kapan sampainya untuk mencapai target 2 juta ton.
Bagaimana perhitungan untuk membagi dua program peningkatan produktivitas tersebut?
Kalau kita lihat data, tambak udang intensif itu kurang-lebih 9.055 hektare, semi-intensif 43.643 hektare, dan tambak tradisional 274.804 hektare. Produktivitas tambak intensif hanya 30 ton per hektare per tahun. Kalau panen dua kali setahun, berarti sekali panen cuma menghasilkan 15 ton. Tambak semi-intensif ini lebih sedikit lagi, hanya 20 ton per hektare setiap tahun. Kalau dia panen setiap tahun sebanyak 2 atau 3 kali, berarti setiap panen hanya dapat 3 ton. Sedikit sekali. Lebih menyedihkan lagi tambak udang tradisional yang hanya 0,6 ton per hektare setiap tahun.
Sementara itu, kami ini punya target. Dan target ini sudah mendapat apresiasi dari Sekretaris Jenderal FAO. Ketika kami akan mengimplementasikan, malah mendapat banyak kritik.
Balik ke kalkulasi, bagaimana kemudian pembagian programnya? Terutama soal pelibatan swasta...
Pemerintah tidak bisa merevitalisasi semua tambak tradisional. Anggaran kami tidak mencukupi, hanya Rp 6 triliun sekian.
Yang intensif itu, dari tradisional kemudian dikembangkan menjadi modern oleh pemerintah. Luas awalnya sekitar 1.500 hektare, kemudian menjadi 2.000 hektare. Sisanya, yang dari tradisional, menjadi modern, harus melibatkan pihak swasta dan ini ada seluas 9.000 hektare.
Sejumlah pekerja menjaring udang vaname (Litopenaeus vannamei) saat panen di tambak Desa Suak Geudubang, Aceh Barat, Aceh,14 Juni 2023. ANTARA/Syifa Yulinnas
Mengapa pemerintah harus ikut membangun proyek?
Persoalannya teman-teman swasta itu, kalau pemerintah belum melakukan, mereka belum mau mencoba karena takut dengan risiko kegagalan. Makanya pemerintah harus hadir, bagian riset, bagian uji coba. Ini kami harapkan jadi role model supaya bisa diikuti masyarakat dan mendapat dukungan dari pemerintah daerah.
Kalau dengan tambak modern seluas 1.500 hektare dengan produktivitas 40 ton per hektare setiap panen, dikali dua kali panen dalam setahun, maka 80 ton per hektare setiap tahun. Sehingga swasta akan ikut. Jadi, kalau ditotal, produksi dari tradisional, semi-intensif, dan intensif nanti ada kurang-lebih 2.011.002 ton.
Persoalan akan selalu ada secara teknis. Tapi intinya kenapa swasta takut mencoba? Karena permodalannya cukup tinggi. Kalau tambak udang tidak cukup Rp 2 juta, tidak juga bisa Rp 10 juta. Sepetak itu paling sedikit Rp 70-100 juta. Ini sebenarnya yang menjadi alasan kami membuat konsep modelling. Bisa dikatakan sebagai pilot project.
Ini yang sebelumnya dimulai di Kebumen, Jawa Tengah?
Konsep modelling itu dibuat tahun lalu di Kebumen. Kalau bahasa kami pemanasan, karena dananya masih menggunakan APBN.
Kemudian setelah kami evaluasi, kami naikkan ke skala lebih besar. Yang di Kebumen itu hanya 100 hektare, tapi efektifnya hanya 60 hektare. Saat ini sudah memasuki siklus ketiga. Kami perbaiki terus sistemnya dengan harapan mencapai best practice sekitar 40 ton per hektare setiap kali panen.
Jadi, kemudian tambak modern modelling akan dibangun di Sumba Timur?
Penentuan lokasi ini ada kendala awalnya. Karena ini luasnya hampir 2.000 hektare. Kendalanya untuk bisa mencari lahan dalam suatu kawasan atau satu hamparan. Untuk mendapatkan hamparan seperti itu, dengan konsep cara budi daya ikan yang baik (CBIB), tidak boleh sembarangan pilih tempat. Kalau di pantai utara Jawa bisa celaka kita.
Hambatan kedua soal tata ruang. Pemda belum tentu punya atau mau menyediakan. Pada saat survei awal, kami minta ke pemerintah daerah lahan dengan luasan sekian, dalam satu hamparan, dan sesuai dengan tata ruang. Kalau itu tidak terpenuhi, kita pindah. Ini perjalanannya tidak langsung ke Sumba Timur. Kami sudah ke Aceh Timur, ke Konawe, ke Sumbawa, ke Pandeglang. Kami juga sudah survei di Biak, Kepulauan Riau, dan Belitung. Kami ingin ini clean and clear. Akhirnya dapat di sana (Sumba Timur).
Akhirnya kami mendapatkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Sumba Timur, Desa Palakahembi. Ini sedang kami perjuangkan. Untuk membangun itu karena duitnya besar, perlu kontraktor yang benar karena jumlahnya besar.
Pekerja menyiapkan pakan udang di kolam tambak budi daya udang vaname di Dowora, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, 27 November 2023. ANTARA/Andri Saputra
Berapa kebutuhan anggaran untuk membangun proyek di Sumba Timur itu?
Total angkanya US$ 500 juta. Kalau dengan kurs Rp 15 ribu itu mencapai Rp 7,5 triliun.
Kapan ditargetkan rampung?
Sekarang prosesnya ada di Kementerian Keuangan. Kalau kontraktor sudah ada pemenang, sedang diproses kredit swasta asing (KSA). Kalau sudah ada itu, butuh lelang dengan waktu 2,5 bulan. Kemudian ada negosiasi sekitar 2 bulan. Jadi, dalam 5 bulan ke depan, kita sudah bisa groundbreaking, sebelum Oktober. Pembangunan tidak bisa dua bulan. Yang di Kebumen saja, dengan luas hanya 100 hektare, butuh setahun pembangunan.
Apakah analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan perizinannya sudah beres?
Ada perizinan di pusat untuk tempat kami. Contohnya ada Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) di Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut. Itu sedang berjalan. Kemudian dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, namanya Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Ini juga sedang berproses. Amdal dengan KLHK juga sedang diproses.
Jadi, walaupun kami pemerintah, tidak mentang-mentang, lalu asal bangun. Tidak seperti itu. Kami ikuti semua model perizinan.
Bagaimana dengan penyediaan dan pengelolaan airnya untuk shrimp estate ini?
Satu itu dari air laut. Kedua adalah sumber air tawar. Air laut itu sudah jelas. Teknologi yang kita gunakan betul-betul efisien. Kalau kita menggunakan pompa, sistem dan hitungan sudah harus benar untuk tambak. Air tawar tetap dibutuhkan walaupun kecil karena ada perkantoran, mes karyawan, dan seterusnya. Di sana itu bawahnya karst. Kami sudah cek dengan kerja sama dengan tim geologi dari Institut Teknologi Bandung.
Lokasi di Waingapu itu padang savana tandus. Lahan tidur ini dulunya. Tidak ada pohon. Kalau ada yang bilang merusak mangrove itu tidak ada. Lahan ini berada di ketinggian 50-100 meter. Semoga ini jadi model tambak yang berada di ketinggian.
Anggota petugas gabungan dari Satreskrim Polres Trenggalek, Gakkum KLHK, kejaksaan, Perhutani, dan tim ahli IPB melakukan identifikasi area tambak udang vaname yang diduga mencemari lingkungan di Pantai Cengkrong, Trenggalek, Jawa Timur, 2020. ANTARA/Destyan Sujarwoko
Dalam program revitalisasi tambak tradisional juga akan ada intervensi pemerintah dan melibatkan swasta. Di mana saja rencana proyeknya?
Kami punya 11 kabupaten/kota, bahkan telah bertambah menjadi dua lagi sehingga total 13 kabupaten/kota. Titik itu ada di Aceh, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Bali. Kenapa di situ? Karena di situlah kantong dan sentra budi daya di 5 provinsi, di 13 kabupaten/kota.
Untuk revitalisasi ini, yang awalnya produksi 0,6 ton per hektare setiap tahun, kami coba naikkan paling tidak menjadi 3 ton per hektare per ton. Untuk setiap kabupaten/kota, karena duit terbatas, maksimal hanya 5.000 hektare. Kemudian ada 11 kluster percontohan tambak udang di setiap kabupaten.
Program peningkatan produktivitas ini yang dikhawatirkan bakal berdampak buruk terhadap ekosistem setempat...
Tentu kami perbaiki dengan melakukan tata kelola yang baik dan benar. Ada tandonnya, kemudian ada instalasi pengelolaan air limbah (IPAL). Pengelolaan limbah ini yang biasanya menjadi masalah. Dulu ada namanya Dipasena, luar biasa di Lampung. Luas lahannya 13.500 hektare. Apa yang terjadi? Hanya short time karena desainnya tidak komprehensif, tidak tuntas. Tidak ada IPAL, dan sebagainya. Kalau konsep shrimp estate kami ini akan dibuat IPAL. Harapannya nanti modelling ini dicontoh yang lain, utamanya swasta.
Contoh di Kebumen itu, kami dapat CSR dari PT Pertamina (Persero), kami tanam cemara laut. Untuk yang di Waingapu itu juga lahan tandus. Untuk lahan kosong bakal kami tanam pohon. Kami bukan seperti membuka tambak yang jadi persepsi zaman dulu, bahwa membuka tambak itu menambang. Kami bikin tambak itu menanam. Rencananya seperti itu. Jadi kebalikan dari cara dahulu.
Bagaimana memastikan swasta nanti bakal mengikuti?
Kalau KKP itu produknya regulasi. Kami sebagai pembina menyiapkan namanya norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK). Kami melakukan sosialisasi, pembinaan, sekaligus juga sebagai katalisator. Kalau ada yang menyimpang sana-sini, kami punya pengawas perikanan. Siapa yang kami dorong? Kalau levelnya di kabupaten/kota, kami akan dorong pemda karena lokasinya di sana. Juga pemerintah provinsi sebagai yang punya wilayah laut. Selain itu, kami akan mendorong asosiasi, sekaligus investor, untuk taat. Bagaimana caranya? Ada beberapa. Yang paling gampang ada namanya instrumen sertifikasi CBIB.
Jadi, akan ada sanksi bagi pengusaha tambak yang tak taat?
Kami punya Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Rujukannya Undang-Undang Perikanan yang banyak turunannya untuk pengawasan di laut dan di darat, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selama ini ada yang kena sanksi administrasi dan non-administrasi. Bahkan ada yang kami limpahkan ke aparat penegak hukum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo