Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Padang - Sejumlah akademisi dan praktisi meminta pemerintah meneruskan upaya pemindahan pemukiman atau relokasi masyarakat di sepanjang jalur lahar dingin Gunung Marapi. Pandangan itu muncul dalam forum diskusi bertema Konsep Resettlement Pemukiman Rawan Banjir Lahar yang diinisiasi oleh Patahan Sumatra Institute, pada 2 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Patahan Sumatra Institute, Ade Edward, mengatakan Gunung Marapi di Sumatera Barat masih berstatus Siaga. Artinya, ancaman erupsi dan lahar dingin masih menghantui 23 alur sungai yang berhulu di puncak gunung api tersebut. Dia mengusulan relokasi warga dari area yang rawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Perlu dilakukan dengan segera karena bencana bisa kapan saja terjadi," ucapnya dalam acara yang diadakan di Hotel Truntum Padang tersebut.
Dari pemetaan dan simulasi pemodelan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pada Januari 2024, kata Ade, masih banyak permukiman masyarakat di daerah yang rawan terdampak banjir lahar tersebut. “Perlu pemindahan ke daerah yang lebih aman.”
Dalam forum diskusi yang dihadiri 20 orang akademisi, praktisi, aktivis, dan penggiat kebencanaan tersebut, Guru Besar Hukum Agraria Universitas Andalas, Kurnia Warman, mengingatkan bahwa kebijakan relokasi harus beralaskan hukum yang jelas. “Dalam konteks adat dan agraria,” tutur dia.
Guru Besar Universitas Gunadarma, Isril Berd, menyebut sabo dam cocok untuk mengantisipasi dampak lahar dingin Marapi. Namun, upaya pengendalian aliran puing (debris flow) tersebut harus terencana dengan.
“Sehingga dapat berfungsi maksimal untuk mengendalikan aliran banjir lahar,” tuturnya.
Muncul juga pendapat dari seorang doktor lulusan perguruan tinggi di Jepang, Fadli Irsyad, mengenai relokasi yang hanya bersifat insidentil bagi korban galodo—sebutan untuk banjir bandang di kalangan masyarakat Sumatera Barat. Menurut dia, proses adaptasi untuk menghadapi banjir lahar dingin lebih penting.
"Galodo bisa berulang setiap 50 atau 100 tahun dan tidak bisa diprediksi kapan akan dimulai," ujar Fadli.
Dia juga mencatat adanya jeda waktu evakuasi, sekitar 20-30 menit, ketika galodo terjadi. "Jika ada peringatan dini, minimal bisa mengurangi korban jiwa.”