PUKUL sembilan lewat sepuluh menit, Senin malam pekan lalu. Telepon di rumah Hakim Agung Sunu Wahadi di bilangan Kayuputih, Jakarta Timur, berdering. Anak Sunu bergegas mengangkat. Di seberang sana, terdengar suara pria, "Sampaikan pada bapakmu, sebentar lagi ia menyusul Pak Syafiuddin ke kuburan." Klik. Hubungan telepon terputus.
Mendengar ancaman yang disampaikan anaknya, Sunu langsung mengontak polisi. Petugas pun kemudian menjaga keamanan hakim agung yang memvonis bebas Joko Tjandra, terdakwa kasus Bank Bali itu.
Sunu mengaku kini merasa waswas dengan ancaman semacam itu. Dulu, ia menganggap itu cuma ulah orang yang main-main. Koleganya, almarhum Syafiuddin, juga sering menerima ancaman begitu dan cuma berkata, "Ya, biar cepat ke surga." Tapi, setelah peristiwa tragis yang menimpa Syafiuddin, persoalannya jadi serius.
Alhasil, kini rumah Sunu dikawal polisi. Sunu juga tak lagi membawa kendaraannya sendiri ke kantor. "Agak tenanglah sekarang. Kalau nggak dikawal, suka waswas di jalan. Kadang-kadang ada motor lewat, saya langsung deg-degan," tutur Sunu.
Sesungguhnya, bukan hakim Sunu saja yang mengkhawatirkan keamanannya sejak kasus pembunuhan Syafiuddin. Tak mengherankan bila Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Panto Alboin Sianipar, misalnya, mengusulkan agar hakim dibekali senjata api lagi, seperti tahun 1970-an. Ketika itu, Sianipar bertugas di Pengadilan Negeri Sumatra Barat. Setiap pengadilan negeri diberi lima pistol. Namun, begitu operasi Sapu Jagat berlangsung, tahun 1978, semua pistol ditarik.
Menurut Sianipar, dengan berbekal pistol tentu orang yang mau berbuat macam-macam terhadap hakim akan berpikir dua kali. Selain itu, "Hakim juga jadi lebih pede (percaya diri)," ujarnya.
Kalangan hakim di Pengadilan Negeri Tangerang juga setuju dengan ide pistol. Maklum, di Tangerang acap berlangsung persidangan kasus narkotik kelas besar, bahkan sudah banyak terdakwanya yang divonis mati. Namun, setelah dikritik oleh beberapa kalangan, harapan berpistol itu surut kembali.
Bagi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Subardi, masalah keamanan para hakim lebih baik diatasi dengan pengawalan polisi. "Jaminan keamanan hakim kian mendesak. Namun, dipersenjatai bukanlah jalan keluar,’’ katanya.
Itu sebabnya, Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, pekan lalu meminta polisi agar segera mengawal para hakim yang menangani kasus penting. Polisi pun sudah dikirimi daftar nama dan alamat para hakim dimaksud.
Toh, tak semua hakim merasa perlu dikawal polisi. Hakim Agung Artidjo Alkautsar, contohnya. "Mungkin ada hakim agung yang perlu dikawal. Kalau saya malah nggak perlu dikawal. Buat apa?’’ kata Artidjo.
Boleh jadi Artidjo merasa pengawalan polisi membuatnya tak bebas. Sebaliknya, polisi yang mengawal pun bisa pusing dengan gaya Artidjo. Betapa tidak, bila Artidjo acap menggunakan bajaj atau ojek sepeda motor ke kantor.
Buat Hakim Subardi, pilihan Artidjo sah-sah saja. Namun, perlu diingat, gaya Artidjo tak bisa disamakan dengan hakim lain. "Kalau Artidjo mau ke kantor dengan cara begitu, silakan saja. Kalau sudah mau jadi hakim, berarti harus berani menanggung risiko, termasuk keamanan diri sendiri," kata Subardi.
Mungkin benar, seperti dikatakan Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga, tak semua hakim perlu dikawal, apalagi dipersenjatai pistol. "Kalau hakim yang baik-baik tentu tak sampai diteror," ucap Benjamin.
Tentu itu bukan pula berarti keamanan warga sipil, apalagi hakim, yang menjadi tanggung jawab polisi lantas mengendur. Terlebih lagi selama persidangan di pengadilan, yang belakangan ini pun kian sering dilanda amuk massa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini