KOTA Jakarta kini bagai pasien yang sedang menjalani bedah jantung koroner. Jalan-jalan untuk menembus jantung kota yang sering menimbulkan kemacetan mulai diterobos dari segala arah dengan sistem jalan tol. Tiang-tiang pancang bermunculan di delapan penjuru. Sekitar 3.600 batang pohon pun dibinasakan. Terik matahari terasa lebih membakar. Serbuan jalan tol memang telah mengubah wajah Jakarta. Sejak diresmikannya pemakaian jalan tol Jagorawi -- Jakarta, Bogor, Ciawi -- sembilan tahun silam, ternyata sistem itu dipandang banyak memberikan manfaat. Selain dapat mengatasi masalah lalu lintas, juga memberikan pendapatan yang tak sedikit. "Sekitar Rp 100 juta per hari," kata Yuwono Kolopaking, Direktur Utama PT Jasa Marga. Pada tahun 1985 lalu saja, pendapatan yang terkumpul dari jalan tol Jagorawi itu mencapai Rp 35,2 milyar. Akhirnya pemerintah memutuskan: sistem jalan tol merupakan pilihan terbaik untuk memperlancar lalu lintas Jakarta. Tapi terbentur masalah dana. Sebab, jalan ini mahal. Pembuatan jalan Jagorawi, misalnya, tiap kilometer menelan sekitar Rp 575 juta. Kini ongkosnya makin membengkak. Biaya untuk membangun jalan layang antara Cawang dan Tanjungpriok per kilometernya menurut rencana memakan sekitar Rp 27 milyar," ujar Suryatin Sastromijoyo, Dirjen Bina Marga, pada TEMPO dua pekan lalu. PT Jasa Marga, sebagai badan usaha milik negara, akhirnya ditunjuk oleh pemerintah sebagai pengelola. Dalam mencari dana, perusahaan ini menggunakan cara menjual obligasi kepada masyarakat. Pihak swasta juga diberi kesempatan untuk menjadi pendamping. Pembangunan sistem ini membuat wajah Jakarta berubah. Sekitar tahun 1990 nanti Ibu Kota akan terlingkari oleh sistem jaring-jaring jalan tol. Dari jalur selatan, dari arah Bogor, ada jaringan jalan tol Jagorawi. Dari arah timur terdapat jaringan jalan tol Jakarta-Cikampek. Sedangkan dari arah barat ditembus oleh jaringan jalan tol Jakarta-Tangerang dan Akses Cengkareng. Memasuki Jakarta dari keempat jalur itu, sebelum menembus jantung kota, kita akan masuk dalam jaringan tol outer ring road. Jaringan ini merupakan proyek jalan tol yang melingkari pinggir kota Jakarta. "Jaringan ini menurut rencana selesai tahun 1990. Sekarang masih dalam tahap studi kelayakan," tutur Kolopaking. Makin masuk ke dalam, kendaraan akan tertangkap dengan jaringan inner ring road. Lingkaran jalan bebas hambatan di dalam kota Jakarta ini dibagi dalam tiga seksi: north-south link, harbour road, dan southwest arc. North-south link atau lingkar utara-selatan, dimulai dari Cililitan menyusur ke utara sampai ke pelabuhan Tanjungpriok. Panjang ruas jalan ini sekitar 12,5 kilometer, berfungsi untuk melancarkan lalu lintas dari dan ke arah Tanjungpriok yang mempunyai volume arus sekitar 75.000 kendaraan per hari. Sedangkan harbour road akan menyusuri pantai utara Jakarta. Dimulai dari Cengkareng, menyusur ke bagian selatan Tanjungpriok hingga ke Jalan Cakung-Cilincing. Panjang ruas jalan ini sekitar 22 kilometer diperkirakan volume kendaraan yang lewat per hari sekitar 400.000 buah. South-west arc atau busur selatan-barat merupakan jalan tol dalam kota yang menyusur dari perpotongan jalan Cengkareng dan Pluit hingga sampai Cawang. Dengan adanya jalan intraurban ini diharapkan lalu lintas dari Jagorawi atau Tanjungpriok yang hendak menuju Tangerang atau Bandar Udara Soekarno-Hatta tidak terhalang lalu lintas lokal. Maka, jalur ini dilengkapi dengan beberapa jalan layang. Jalan layang Tomang misalnya. Jalan layang ini dibangun untuk menghindari kemacetan lalu lintas pada persilang antara Jalan S. Parman dan Jalan Tomang Raya. Jalan layang sepanjang 12 kilometer inti sebagian telah selesai dibang Rencananya, jalan ini akan bertingkat tiga, sehingga pada persimpangan jalan ini tak perlu ada lampu merah lagi. Menyusur sepanjang jalan urban ini kita akan melewati proyek jalan layang Semanggi. Wajah jembatan Semanggi karya Ir. Sutami ini pada 1989 nanti akan banyak berubah. Poros jalan yang sekarang hanya ada satu, nanti akan menjadi tiga buah. Jalur tengah akan menjadi jalan tol. Pengendara mobil yang segan membayar tol bisa menggunakan jalur kiri dan kanan yang tetap sebagai jalur biasa. "Lingkarannya juga akan semakin lebar," kata Dirjen Bina Marga. Dari Semanggi menuju Cawang, melewati Jalan Jakarta Interchange, kita mungkin akan berdecak. Soalnya, jalan layang ini bersusun tiga -- ini yang pertama di Jakarta -- jalan paling atas mempunyai ketinggian 27 meter dari permukaan tanah dan mempertemukan 13 jalur. Jalan ini menurut rencana akan rampung tiga tahun lagi. Jalan bertingkat tiga ini bisa membingungkan. Jika seorang pengendara mobil masuk dari Jalan Gatot Subroto, misalnya, dia akan dihadapkan pada 8 jalur pilihan, yang mempunyai lebar total 33 meter. "Jika salah mengambil jalur, dia harus berputar jauh," ujar Suryatin. Ia mengharapkan, jalan yang dibuat dengan sistem patungan antara pihak Jasa Marga dan pihak swasta ini akan mampu mengatasi kemacetan lalu lintas. Baik dari arah Tanjungpriok, Bogor, Tangerang, mau pun dari Cikampek, yang hendak masuk jantung kota. Jalan layang susun tiga ini disebut juga direct change atau jalur langsung, karena pada sistem jalan layang ini tak ada lampu lalu lintas. "Begitu ruwetnya, hingga jalan layang ini seperti bakmi jadi, dapat disebut simpang susun bakmi," ujar Suryatin berseloroh. Proyek jalan layang ini akan mencapai puncaknya jika jalan layang Cawang-Tanjungpriok rampung. Jalan sepanjang 13 km -- yang menurut rencana akan selesai berbarengan dengan Jakarta Interchange ini menurut Suryatin, akan merupakan jalan layang terpanjang di Asia Tenggara. Pembangunan sistem jalan tol inl sudah memakan korban. Jakarta kini kehilangan paru-parunya. Ribuan pohon yang selama bertahun-tahun ini dibanggakan sebagai "paru-paru kota" telah dipangkas. Warna abu-abu mulai mendominasi Jakarta. Soalnya, konstruksi jalan tol ini tak menggunakan aspal lagi. Semen kini menjadi bahan utamanya. "Semen lebih menguntungkan, dalam perawatan maupun daya tahannya," kata Kolopaking. Biaya pembuatan jalan dengan semen memang lebih tinggi 10%. "Tapi perawatannya lebih rendah 20%," kata Dirjen Suryatin. Selain lebih awet, sistem pembuatan jalan dari semen ini mungkin memberi manfaat lain. Kini para produsen semen Indonesia boleh tersenyum: kelebihan produksi semen dalam negeri sekarang bisa ditampung proyek ini. Walau mungkin banyak pengendara mobil yang mengomel, sebab jalan semen ini memang kurang nyaman dilewati. Selain itu cukai tol yang cukup tinggi, Rp 500 di Jalan Gatot Subroto misalnya, menyebabkan banyak pengendara mobil memilih jalan biasa yang tanpa bayar, meski macet. Namun, Yuwono Kolopaking membantah. Menurut pemantauannya, hampir 60% kendaraan yang lewat di Jalan Gatot Subroto masuk jalan tol. "Kalau kelihatan jarang, itu karena mereka 'kan melaju dengan kecepatan tinggi," ujar doktor ekonomi jalan raya lulusan Kennedy Western University AS ini. Buktinya, jalan ini mampu menghimpun pendapatan sekitar Rp 40 juta per hari. Dana itu pastilah terkumpul dari para pemakai jalan yang "terpaksa" melewati jalan tol untuk menghindari kemacetan lalu lintas. Makin banyaknya jalan tol di Jakarta nanti pastilah menimbulkan kebiasaan baru: orang harus menyiapkan duit yang cukup untuk "raun-raun" di Ibu Kota bila ia tidak ingin terjebak kemacetan. Bisa jadi ini akan memaksa orang mengurangi pemakaian kendaraan pribadi, hingga kemacetan lalu lintas akan berkurang. Bukan cuma sistem jalan tol yang akan mengubah wajah Jakarta. Kereta api juga akan menderu di atas kepala kita, sebab pada 1993 nanti jalan kereta api layang akan terentang dari Manggarai sampai Gambir. Pembangunan sistem ini sudah dimulai akhir tahun lalu. Sistem kereta layang ini akan lebih banyak beroperasi di jantung kota. Jalur Manggarai-Cut Mutiah, misalnya, akan dilayani dengan angkutan darat ini. Menurut perkiraan, jumlah penduduk Jakarta pada tahun 2000 nanti akan menggelembung hingga 20 juta. Sekitar 8 juta atau 40% dari mereka akan memerlukan jasa angkutan umum. Bila sedikitnya mereka melakukan dua kali perjalanan, minimal harus diangkut 16 juta manusia per hari. Pembangunan sistem kereta layang diharapkan akan mengurangi beban angkutan umum, yang menurut data tahun lalu 61,5% masih tergantung kepada bis kota. Sedangkan mereka yang mengandalkan mobil pribadi tercatat 24,3% dan sepeda motor 12,8%. Wajah Kota Jakarta tahun 1990 nanti, dengan begitu, akan makin centang perenang. Makin tidak cantik, memang, tapi mobilitas orang serta kendaraan setidaknya diharapkan akan terjamin. Namun, bila jumlah kendaraan bermotor di Jakarta, yang kini sekitar 1,2 juta (separuh beroda empat), terus bertambah, mampukah sistem jalan layang bercukai ini menampungnya? Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini