Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Melawan fasisme dan pandangan...

Pengarang : soebadio sastrosatomo jakarta : pustaka sinar harapan, 1987 resensi oleh : t.b. simatupang.

22 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERJUANGAN REVOLUSI Oleh: Soebadio Sastrosatomo Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, 256 halaman BUKU ini dimaksudkan penulisnya sebagai kombinasi antara otobiografi dan sejarah, dalam masa tahun 1940 sampai 1950. Sekaligus ini juga diharapkan akan mencerminkan pengalaman dari orang-orang yang sebaya dengan penulis buku itu selama perjuangan mereka melawan fasisme, menegakkan demokrasi dan kemerdekaan. Kombinasi antara otobiografi dan sejarah dapat menjadikan penulisan sejarah itu lebih hidup. Tetapi kombinasi itu juga mengandung kecenderungan untuk menyoroti sejarah dari sudut pandangan tertentu saja. Penulisan sejarah, yang harus obyektif dalam arti mencatat kejadian-kejadian dan perkembangan sebagaimana adanya, memang tidak harus otomatis berarti bahwa penulisan sejarah itu bersifat netral. Secara sadar atau tidak sadar, penulisan sejarah selalu mewakili pandangan tertentu. Yang menjadi garis merah dalam buku ini ialah, pandangan yang melihat Perang Dunia II sebagai pertarungan antara demokrasi dan fasisme. Perjuangan bangsa Indonesia setelah Perang Dunia II berakhir dilihat sebagai kelanjutan perjuangan selama Perang Dunia II itu untuk melawan fasisme serta untuk menegakkan demokrasi dan kemerdekaan. Bagian yang paling menarik dalam buku ini lalah uraian mengenal pengalaman penulisnya sekitar Proklamasi Kemerdekaan dan selama perkembangan sesudahnya (Bab I), dan pengalamannya sekitar Kabinet Sjahrir yang pertama dan kedua, termasuk pandangannya mengenai Persatuan Perjuangan (bagian akhir Bab IV dan Bab V). Kejadian-kejadian sekitar Proklamasi Kemerdekaan masih tetap merupakan cerita yang penuh pandangan-pandangan yang berbeda, bahkan bertentangan. Berhubung dengan adanya perbedaan pandangan, misalnya antara Adam Malik dan Bung Hatta, seorang Jepang yang terlibat dalam kejadian-kejadian itu, Nishijima Shigetada, telah menulis versinya sendiri dengan judul "Kebenaran Ketiga". Di samping versi-versi Indonesia dan versi-versi Jepang, ada lagi tulisan-tulisan Barat sekitar Proklamasi Kemerdekaan yang umumnya didasarkan kepada keterangan para bekas panglima Jepang di Indonesia, di hadapan mahkamah militer Sekutu. Apakah generasi muda sejarawan Indonesia tidak dapat memanfaatkan semua laporan itu secara kritis-kreatif untuk menulis sejarah Proklamasi Kemerdekaan yang agak tuntas? Soebadio tidak menambah kebenaran keempat atau kesekian sekitar Proklamasi Kemerdekaan. Dia memang tak langsung terlibat dalam penculikan Soekarno-Hatta, dalam merumuskan teks Proklamasi Kemerdekaan di kediaman Laksamana Maeda. Dan dia juga tidak hadir waktu Proklamasi Kemerdekaan dibacakan Bung Karno pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Buku Soebadio memberikan pandangan dari "kubu Sjahrir" -- yang tak mau melibatkan diri dalam ketiga peristiwa tadi -- setelah Sjahrirpada 15 Agustus 1945 gagal meyakinkan Bung Karno dan Bung Hatta agar Kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan lepas sama sekali dari badan-badan yang "berbau" Jepang, termasuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada hari itu Sjahrir, yang tidak bekerja sama dengan Jepang selama zaman pendudukan, mengunjungi Bung Hatta. Kemudian mereka pergi ke Bung Karno untuk memberitahukan bahwa menurut informasi yang diperoleh Sjahrir dari radio luar negeri, Jepang telah menyerah kalah. Dalil Sjahrir, yang merupakan dalil pokok dalam buku Soebadio: kemerdekaan yang diproklamasikan tak boleh bersifat kelanjutan dari kerja sama dengan Jepang, sebagai kekuatan fasis yang telah kalah. Kemerdekaan itu harus merupakan ungkapan perjuangan antifasisme, untuk menegakkan demokrasi dan kemerdekaan yang, menurut Sjahrir, merupakan Jiwa perjuangan rakyat Indonesia sejak sebelum pendudukan Jepang, dan yang dilanjutkannya selama zaman pendudukan Jepang dalam bentuk perjuangan bawah tanah. Pandangan Sjahrir itu kemudian disiarkan dalam buku Perjuangan Kita. Sama dengan pemuda-pemuda militan, yang juga menuntut agar kemerdekaan segera diproklamasikan di luar badan-badan bikinan Jepang, Sjahrir menyadari bahwa tak ada orang yang dapat memprolamasikan kemerdekaan itu, kecuali Soekarno-Hatta. Inti buku Perjuangan Revolusi ialah uraian mengenai perjuangan Soebadio dan kawan-kawannya untuk mengisi kemerdekaan yang telah diproklamasikan dengan cara yang tak mereka setujui itu dari bawah, khusus dari Crebon, Yogyakarta, dan Surabaya, tempat Syahrir mengembangkan janngan organisasi d bawah tanahnya, selama pendudukan Jepang. Selanjutnya, perjuangan Soebadio dan kawan-kawannya untuk mendudukkan Sjahrir sebagai perdana menteri, dengan menghormati sepenuhnya kepemimpinan Soekarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Dengan demikian, menurut Soebadio, Republik Indonesia telah dibersihkan dari noda-noda Jepang dan ditempatka di bawah pimpinan Soekarno-Hatta-Sjahrir. Perjuangan Soebadio dan kawan-kawannya itu dijalankan mula-mula dengan mendudukkan Sjahrir dan Amir Syarifuddin -- yang berada dalam penjara selama pendudukan Jepang -- sebagai ketua dan wakil ketua pada Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Tingkat berikut: Sjahrir sebagai perdana menteri dan Amir Syarifuddin sebagai menteri pertahanan dalam suatu kabinet parlementer. Dalam perjangan itu, Soebadio dan kawan-kawannya memperoleh dukungan penuh dari Sukarni, Adam Malik, dan kawan-kawannya. Tetapi Sukarni-Adam Malik dan kawan-kawannya mempunyai tujuan yang lebih jauh. Yaitu mendudukkan Tan Malaka sebagai pimpinan revolusi. Menurut pandangan Soebadio, tujuan inilah yang berada di belakang pembentukan Persatuan Perjuangan, yang menentang perundingan yang dijalankan Kabinet Sjahrir dengan dukungan Soekarno-Hata. Buku Soebadio berakhir dengan menggambarkan perpecahan antara Sjahrir dan Amir Syarifuddin, yang kemudian akan melahirkan pertarungan antara PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia), jatuhnya Kabinet Sjahrir pertama, pembentukan Kabinet Sjahrir kedua, dan pertemuan-pertemuan awal menuju perundingan dengan Belanda. Soebadio tidak membicarakan apakah yang diceritakannya itu masih mempunyai manfaat bagi kita sekarang ini dan di masa depan. Dia agaknya menyerahkan jawaban atas pertanyaan itu kepada pembaca sendiri. T.B. Simatupang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus