1. SEUSAI PETANG (Aan het einde van de middag) 2. PEMBERONTAKAN, BUKAN PERANG (De Opstand) Oleh: M. Jacob (pseudonim) Terjemahan: Gadis Rasid Penerbit: Djambatan, Jakarta, 1986 M. JACOB adalah nama samaran. Ia seorang Belanda yang menulis dua novel -- mengangkat latar dan konflik Indonesia-Belanda. Keadaan itu pada situasi pertengahan kedua dari tahun 1940-an dan 1950-an. Dua novel ini tentu menarik bagi seorang sejarawan, terutama karena ia mengalami zaman tersebut. Biarpun ada beberapa pengarang Belanda menulis novel dengan latar pengalaman di koloninya, sedikit yang menulis mengena zaman setelah Perang Dunia II (1945). Padahal, novel dapat mengungkapkan apa yang terjadi dalam masyarakat yang berlainan sejarah politik atau militernya. Seusai Petang mengisahkan suasana perkebunan karet dan kopi di Sumatera Utara, ketika masih dipimpin orang Belanda menjelang 1957, hingga saat nasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Di sini jelas ada perbedaan perasaan dan pandangan, terutama di kalangan pengusaha Belanda sendiri. Suatu ketika saya pernah bercakap-cakap dengan istri seorang pengusaha Amerika yang kini menetap dekat New York. Wanita itu pernah di Indonesia, tinggal di satu perkebunan di Jawa Timur, sampai 1957. Ia berkata pada saya: "... ketika Indonesia merdeka pada tahun 1957 ...." Saya agak terkejut dan mencoba mengoreksi. Apa yang dimaksudkan nyonya itu tentu bukan 1950 (penyerahan kedaulatan sebenarnya akhir Desember 1949). Wanita asal Belanda yang sudah warga negara AS itu mungkin tak mengakui bahwa 1945 sebagai tahun kemerdekaan Indonesia. Dan dalam pemikiran saya: banyak orang Belanda jika mengakui penyerahan kedaulatan itu berarti mengesahkan adanya Republik. "Tidak, tidak," jawab wanita itu. Sesudah penyerahan kedaulatan, katanya, tak ada sesuatu yang berubah bagi masyarakat pengusaha perkebunan. "Perubahan itu baru dialami ketika milik-milik kami diambil alih oleh Indonesia. Dan pimpinan perkebunan, juga kami, harus meninggalkan Indonesia," ujarnya. Dalam novel Seusai Petang jelas ada perubahan itu. Setelah Indonesia merdeka, ada pemogokan, ada masalah buruh, ada masalah korupsi -- yang menyebabkan ketegangan antara pimpinan perkebunan dan buruh. Timbul pergeseran pimpinan nonformal dari seorang haji yang ahli silat ke tangan pemimpin serikat buruh baru -- yang datang dari luar dan tak memiliki hubungan dan perasaan akrab apa pun dengan perusahaan. Ada tantangan dari kekuatan Indonesia (baru), yang menuduh pihak perkebunan masih kolonialis. Pemakaian bahasa Indonesia juga jadi masalah. Sebab, beberapa pemimpin perkebunan Belanda yang sudah bertahun-tahun di Indonesia belum mampu berbahasa Indonesia. Akhirnya, terjadilah nasionalisasi, dan Belanda diusir dari Sumatera Utara, Sum-Ut. Novel kedua, Pemberontakan, Bukan Perang, mengisahkan pengalaman seorang prajurit Belanda di Indonesia, pada 1945-1950. Ia bertugas untuk menindas revolusi dan "republik buatan Jepang". Serdadu Belanda ini ditawan oleh Indonesia, tetapi ia mendapat perlakuan yang baik dari musuhnya. Gara-gara itu, ia meragukan kebenaran dan sikap politik Belanda. Memang, di antara serdadu-serdadu Belanda yang didatangkan ke Indonesia ada beberapa yang pro-republik dan berjuang di sampingnya, antara lain, Haji Princen yang mungkin paling terkenal di antara mereka itu. Tetapi ada beberapa orang Inggris, Ghurka, Jepang, dan bahkan di antara pimpinan tertinggi Inggris dan Sekutu ada yang memihak republik. Timbulnya keraguan Gerrit, prajurit itu, adalah karena mempertanyakan kebenaran dari kebijaksanaan Nederland untuk menindas republik. Ini saja sudah membuat dia "kalah" dan mengakui republik. Setelah dibebaskan, melalui tukar-menukar tawanan, para jenderal Belanda menuduh Gerrit itu orang yang "lemah" dan "ragu" terhadap politik Belanda. Tetapi, oleh Gerrit tuduhan itu dijawabnya, "... pengalaman seorang serdadu berlainan dengan pengalaman seorang jenderal ...." Perasaan dan keraguan seorang prajurit Belanda yang bertugas menindas revolusi Indonesia tentu tak dapat dijadikan dasar untuk mengukur berhasil tidaknya tugas tersebut. Namun, mungkin bukan pengalaman seorang prajurit yang harus dilihat di sini. Tetapi konsepsi realitas dari para politisi Belanda, seperti Jenderal Van Mook, Menteri Jajahan dan Menteri Luar Negeri Nederland, pejabat tinggi yang harus menjadi ukuran, dan bukan para millter. Pimpinan sipil dan politik tertinggi Nederland, pada akhirnya, harus melaksanakan politik negerinya baik terhadap Indonesia maupun terhadap dunia luar (Amerika, Inggris). Pengalaman dan konsepsi mereka juga beda dengan kaum militernya, karena di pihak Belanda ada masalah-masalah "antara diplomasi dan perang". Novel ini, saya kira, diangkat dari pengalaman nyata orang lain, tetapi pelakunya beda dengan novel pertama, Seusai Petang, yang didasarkan pada pengalaman M. Jacob sendiri. Namun, dalam hubungan dengan sejarah, kita mengetahui bahwa dorongan para sukarelawan di Nederland yang mau berwajib militer ke Indonesia, besar sekali. Ada dua unsur, saya kira, yang mendorong para pemuda Belanda untuk jadi sukarelawan ke Indonesia. Yaitu, di sana sedang dalam keadaan miskin dan tertekan, setelah PD II dan dibebaskannya Negeri Belanda dari pendudukan Jerman. Kedua karena "atraksi" untuk hidup bertualang sebagai prajurit, di Timur. Kedua novel M. Jacob ini termasuk kategori Indische Belleteri atau kesusastraan Hindia. Terakhir, mengenai penerjemahnya, Gadis Rasid. Gadis dan saya termasuk generasi yang biasa berbahasa Belanda. Terjemahan Gadis bagi saya biasa dan mudah diikuti, biarpun di sana-sini dia menyebut satpam, atau camat. Agak aneh, memang. Karena sebutan itu belum dikenal pada masa itu. Onghokham
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini