Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bila jatuh dari langit

Penyusunan hukum antariksa (angkasa) nasional sebaiknya selaras dengan hukum antariksa internasional (masih dalam proses). puing roket jatuh di gorontalo, sulawesi utara.

19 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENDA bulat yang mirip tangki air terbuat dari aluminium pekan lalu diperagakan di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jakarta. Diduga selongsong bahan bakar roket, bekas meluncurkan sebuah satelit bumi, benda itu akhir Maret lalu menimpa kebun milik seorang petani di Desa Biauw, Kabupate Gorontalo, Sulawesi Utara. Desa di Kecamatan Sumalatta itu berpenduduk jarang, terpencil dan agak sukar dicapai. Itu sebabnya cukup lama waktu berlalu hingga berita jatuhnya benda setinggi 1,55 m itu sampai di telinga LAPAN, baru awal Juni. Beratnya hanya 50 kg--dapat diangkat dua orang dengan mudah. Tapi garis tengahnya lebih 1 m, tak bisa masuk pintu pesawat terbang biasa. "Untuk mengangkutnya dari Sulawesi kami terpaksa minta bantuan pesawat angkutan AURI," ujar Soesetyo, staf LAPAN yang mengurus benda itu sampai di Jakarta. Peristiwa itu agaknya menyorot lagi betapa pentingnya segera terwujud suatu prosedur nasional: Bagaimana menanggulangi kejadian semacam itu? Ketika Skylab bakal jatuh dua tahun lalu, semua data sudah diumumkan. "Sudah diketahui ia bakal jatuh di mana," ujar dr. R. Sunaryo, Marsda (Purn) TNI AU, Ketua LAPAN. Perjalanan Skylab konon setiap saat diikuti LAPAN. "Tanpa ada prosedur sudah ada alert nasional, suatu kesiagaan berbagai instansi, termasuk Hankam," ujar Sunaryo. Namun hal yang ditakutkan waktu itu hanya tampak jatuhnya saja, karena diketahui benda itu tidak mengandung zat radioaktif atau racun lainnya. "Prosedur yang kita butuhkan itu ialah untuk menghadapi kejadian sewaktu-waktu, tanpa diketahui di mana, " ujar Sunaryo lagi. Dan Panitia Sementara Nasional ke-Antariksaan (Patarnas Antariksa) kini sedang merumuskannya. Patarnas yang diketuai R. Sunaryo sendiri, dibentuk akhir 1978 sebagai perwujudan suatu gagasan LAPAN. Di situ hadir 22 instansi pemerintah, termasuk Hankam. Yang lebih mendasar, tentunya, penyusunan Hukum Antariksa Nasional. "Kami merumuskan masalahnya dan mengadakan pengkajian pendahuluan," ujar Sunaryo, menjelaskan peranan Patarnas. "Kalau sudah menyangkut pembentukan hukumnya, itu harus melalui BPHN (Badan Perencana Hukum Nasional)." Berlau buat Indonesia, Hukum Antariksa Nasional itu seyogyanya selaras dengan Hukum Antariksa Internasional. Persoalan lagi ialah hukum internasional itu masih dalam proses pembentukan. Sejak satelit buatan pertama, Sputnik, diluncurkan Uni Soviet (4 Oktober 1957), manusia mulai menyadari kebutuhan akan landasan hukum yang mengatur penggunaan antariksa sebagai bidang kegiatan internasional yang baru. Kesadaran ini punya analogi dalam proses yembentukan hukum laut dan udara.Tahun 1958, sudah ada suatu komitad hoc PBB yang mengkaji berbagai problem legal dan teknis serta menjajaki kemungkinan terwujud suatu persetujuan internasional mengenai antariksa. Desember 1959, forum ad hoc ini menjadi permanen dengan nama Komite tentang Penggunaan Antariksa Secara Damai (Komite Antariksa). dengan 24 negara anggotanya. Langkah penting tercapai Januari 1967, ketika 63 negara, menandatangani Persetujuan Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara dalam Mengeksploitasi dan Memanfaatkan Antariksa, Termasuk Bulan dan Benda Langit Lainnya. Persetujuan Antariksa ini dalam 17 pasal menegaskan kembali semua kesepakatan yang pernah dicapai sebelumnya. Saat ini hampir semua negara di dunia turut menandatangani persetujuan itu, termasuk Indonesia. Persetujuan ini mencakup prinsip bahwa tidak ada satu negara pun berhak menyatakan pemilikan atas sebagian antariksa atau benda langit. Antariksa itu tetap terbuka bagi siapa saja dan eksplorasi serta pemanfaatannya harus memenuhi kepentingan semua negara demi kesejahteraan seluruh umat manusia. Amerika Serikat maupun Uni Soviet, misalnya, tak diperkenankan membuat batas atau memiliki sebagian bulan. "Tak diperkenankan mengklaim pemilikan di atas sana," ujar Prof. Henri Wassenbergh, ahli hukum antariksa dan udara di Universitas Leiden, Negeri Belanda. Tapi kebebasan antariksa itu justru akan menguntungkan negara yang memiliki teknologi untuk mengarunginya. "Memang demikian," ujar Wassenbergh. Mencoba menjamin kepentingan bersama dalam suatu persetujuan sangat sedikit punya makna legal menurut profesor itu. Kecuali terwujud kerjasama antara negara, tak akan mungkin tercegah negara itu mengejar kekuasaan atau memaksanya membagi kekayaannya. Kerjasama ini pun bukan suatu kewajiban legal. Menurut Wassenbergh, bukan lagi saatnya, seorang astronot bisa dianggap duta umat manusia. Bahkan prinsip antariksa yang bebas dan tak dapat dimiliki sudah mulai usang. "Semakin besar kepentingan manusia menjangkau antariksa, ia akan--seperti halnya di perairan internasional dan dasar samudra--membela kepentingan nasionalnya," ujar Wassenbergh. Ia pun yakin bahwa konsepsi tenung anuriksa itu akan ditinjau kembali dan kebebasan kawasan itu hanya di luar batas, tempat kepentingan nasional belum ada manfaat konkrit. Kolonisasi antariksa oleh negara besar hanya bisa dicegah tampaknya hanya melalui persetujuan negara sedunia tentang prinsip legal yang mengatur koperasi internasional. Betapa peliknya masalah hukum anuriksa itu terungkap dalam suatu aspek yang sangat mendasar, ialah penentuan batas antara kawasan antariksa dan kawasan udara nasional. Batas itu, "justru sumber kontroversi," komenur Wassenbergh. Secara longgar kini batas itu dianggap berada di antara ketinggian 110 dan 160 km di atas permukaan bumi. Ini bersumber dari kaidah bahwa pada ketinggian ini sebuah benda tak bertenaga dapat mengitari bumi dalam suatu orbit bebas. Namun dengan meningkatnya teknologi dan bermunculan satelit telekomunikasi dan cuaca yang berada dalam posisi tetap di atas ekuator, berbagai negara mulai merasa risih. Terutama negara sepanjang ekuator itu. Tahun 1976, sejumlah negara, termasuk Indonesia mengajukan usul menaikkan kawasan kedaulatan nasional sampai ketinggian 36.000 km. Ketinggian ini memang merupakan orbit lintasan satelit geostasioner, hingga posisinya tidak berubah relatif terhadap bumi karena kecepatannya sama dengan perputaran bumi. Bila wilayah kedaulatan nasional naik sampai ketinggian itu, negara pemilik satelit itu paling tidak harus minta izin pada negara yang bakal "ditempati." Siapa Pemilik Puing Soal itu serta-merta ditolak dunia internasional. Sejak itu posisi Indonesia lebih moderat, mungkin juga didorong kenyauan bahwa satelit nasional Indonesia, Palapa, bermukim di atas perairan internasional, sebelah selatan Sri Lanka. Kini Indonesia tidak secara eksplisit menentukan suatu ketinggian, tapi batas itu.hendaknya bisa menjamin perkembangan ilmu dalam memanfaatkan antariksa. Tapi Indonesia juga tidak melupakan masalah satelit geosusioner, apalagi saat ini di atas wilayah Irian Jaya sebuah satelit pengamat cuaca Jepang bercokol. "Hendaknya tentang masalah itu diadakan suatu pengaturan khusus, yang juga bisa menjamin kepentingn negara yang ada di bawahnya," ujar Ketua LAPAN. Ini diakuinya sebagai aspek hukum antariksa yang paling mendesak bagi Indonesia. "Kita ingin ini segera terwujud hukumnya," ujarnya. "Justru karena semakin jenuh." Kejenuhan agaknya tidak hanya di kawasan orbit geostasioner. Saat ini ribuan benda buatan manusia mengitari bumi pada berbagai ketinggian. Sebagian terbesar habis terbakar dalam atmosfir bumi bila jatuh kembali. Namun ada saja kemungkinan benda itu tidak habis terbakar, hingga menimpa wilayah suatu negara berdaulat. Ini yang menjadi kenyataan Maret lalu di Gorontalo. Juga ketika satelit Soviet Cosmos 954 menimpa Kanada 1978 dan ketika Skylab menyebar sebagian puingnya di wilayah Australia (1979. Menghadapi kenyataan demikian banyak negara saat ini berpegang pada Konvensi PBB tentang Tanggungjawab Internasioal atas Kerusakan Akibat Benda Antariksa. Konvensi itu --disahkan tahun 1972--lebih disempurnakan tahun 1975 dengan Konvensi PBB tentang Kewajiban Mendaftar Benda yang Diluncurkan ke Antariksa. Dalam kasus kejatuhan puing roket di Goronulo itu mungkin Indonesia tidak akan mengajukan klaim. "Masalahnya tidak begitu berat, dan tidak menimbulkan kerugian," ujar Sunaryo. Siapa pemilik puing itu? LAPAN masih menunggu reaksi dari kedubes negara yang bersangkutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus