PERGOLAKAN PEMIKIRAN ISLAM
Catatan Harian Ahmad Wahib
Penyunting: Djohan Effendi dan Ismed Natsir. Dengan kata
pengantar Prof. Dr. A. MuktiAli.
LP3ES, Jakarta, 1981, 351 hal., tanpa indeks
BAGI pembaca yang tidak mengenalnya secara pribadi, sulit
mendapatkan kesan utuh tentang diri Ahmad Wahib hanya dari
bukunya ini. Pemikir muda muslim yang mati muda ini (1943-1973),
menyajikan dalam catatan harian yang diwariskannya, beberapa
kepingan yang mungkin dapat menyajikan gambaran lengkap tentang
kepribadian yang bulat, hanya setelah pengenalan pribadi yang
cukup lama.
Ketulusan untuk memperoleh kebenaran dengan pertaruhan
tertinggi. Keberanian menghadapkan diri sendiri kepada
masalah-masalah keimanan terdalam --yang berarti pengakuan penuh
atas keraguan mendasar dalam hati sendiri. Dan kemampuan untuk
memetik pelajaran dari pihak mana pun. Semua itu adalah hal-hal
yang saling bertentangan tetapi berkembang dalam hidup Ahmad
Wahib.
Mengejar kebenaran secara tuntas mengandaikan kepastian sikap
yang penuh -- katakanlah semacam lan vitalnya seorang filosof.
Sedangkan introspeksi ke dalam, justru menampakkan wajah yang
berkebalikan. Lalu bagaimana pula keduanya harus dipertalikan
dengan kelemahan hati seorang yang mampu belajar dari siapa pun?
Sulit diketahui 'bagaimananya' pergolakan pemikiran Ahmad Wahib.
Terlebih-lebih kalau diteropong dari sisi lain watak hidupnya
sendiri: kebimbangan (atau justru rasa rendah dirinya?) untuk
mewujudkan tindak lanjut bagi ikatan kasih yang dijalinnya
dengan seorang gadis, umpamanya. Atau sifat pemalunya yang
demikian besar.
Kesan tiadanya keutuhan gambaran itulah yang muncul dari membaca
buku ini. Padahal pribadi yang digambirkan justru sangat kuat
proyeksinya kepada pembaca sebagai sesuatu yang utuh! Hanya
orang tidak tahu keseluruhan wajah keutuhan itu sendiri.
Di sinilah harus disayangkan kegagalan kata pengantar Prof. Dr.
A. Mukti Ali dan pendahuluan Djohan Effendi. Sebagai bekas
pembimbing intelektual-keagamaan dan kawan terdekat Ahmad Wahib,
seharusnya kedua orang tersebut menjelaskan secara terperinci
aspekaspek pergulatannya yang tidak tertangkap oleh orang lain.
Manakah gambaran jelas tentang bermulanya proses itu? Dera
apakah yang harus dijalani Ahmad A'ahib dalam hidupnya, yang
membentuk kepribadiannya? Sejauh manakah pemikir muda ini
disengsarakan kejujurannya yang demikian mutlak itu?
Kita tahu ia harus bergulat, tetapi apa lingkup pergulatannya,
kesakitannya sewaktu menjalani proses tersebut, harapan yang
dirumuskannya sebagai uung pergulatan?
Tetapi yang luar biasa dari buku ini adalah kenyataan akan
tingginya intenitas pergulatan pemikiran dalam diri Ahmad Wahib.
Tanpa ada kejelasan situasinya sekalipun, kita tetap merasakan
betapa besar arti pergulatan itu bagi diri Ahmad Wahib sendiri
dan bagi temanteman sejawatnya. Bahkan mungkin bagi perkembangan
Islam sendiri, di sini !
Begitu kuat keterlibatan Ahmad Wahib kepada penentuan masa depan
agama yang dicintainya itu, terasa bagi kita. adahal, tetap
saja tidak jelas apa visinya akan masa lampau agama tersebut.
Kalau ia dapati kekurangan sedemikian mendasar di dalamnya,
mengapakah Ahmad Wahib tidak menolaknya? Bahkan, sebaliknya, ia
lebih dalam mencintainya --bagaikan orang mencintai pelacur
walaupun tahu apa yang dilakukan pelacur itu sehari-hari.
Berpikir Nisbi
Dalam pernyataannya bahwa ia harus meragukan adanya Tuhan untuk
dapat lebih merasakan makna kehadiran-Nya (hal. 23, 30 dan 47,
umpamanya), jelas menunjukkan kebutuhannya sendiri kepada Tuhan
yang itu-itu juga--bukannya Tuhan yang lain hasil 'buatannya'
sendiri. Inilah yang merupakan inti kehadiran Ahmad Wahib dalam
kehidupan kaum muslimin kita di permulaan tahun tujuhpuluhan
ketundukannya yang penuh kepada Yang Mutlak, dengan menggunakan
cara-cara berpikir nisbi.
Selebihnya menarik Jterutama sebagai kesaksian historis akan
potensinya yang besar di bidang pemikiran keagamaan seandainya
ia tidak mati begitu muda. Betapa ia mengerti hakikat
'kebidatan'nya NU, sambil tetap tidak mampu melepaskan diri dari
belenggu kecintaan kepada HMI. Betapa pandainya ia memaki kawan
seiring, karena kepengecutan mereka dalam menanggung konsekuensi
logis pemikiran mereka. Tetapi sambil merasa ketakutan, bahwa ia
akan menganiaya mereka dengan tuntutan-tuntutan terlalu berat.
Dan betapa Ahmao Wahib mampu mengajukan begitu banyak pertanyaan
fundamental kepada teman-teman seagamanya, padahal ia sendiri
sangat kekurangan pengetahuan dasar tentang pemikiran keagamaan
itu sendiri !
Ia menyadari bahwa keterlibatannya kepada 'pembaharuan Islam'
justru muncul dari kenyataan begitu besarnya kemelut kehidupan
kaum muslimin sendiri. Dengan kata lain, Ahmad Wahib
sedalam-dalamnya menyadari bahwa hanya satu-dua orang saja yang
akan mampu mengikutinya. Sisanya, tetap saja berada dalam
kemelut mereka.
Toh ia tak juga mau meninggalkan upaya 'meningkatkan keimanan'
mereka, meskipun ia tahu akan gagal total. Dilakukannya itu
tidak lain karena kecintaannya kepada Islam yang 'apa adanya
saja', sebagaimana tampak di pelupuk matanya. Upayanya
memberonak tidak lain karena ketakutan akan irelevansi 'Islam
apa adanya' itu bagi orang lain di kemudian hari, bukan bagi
dirinya.
Ternyata, kalau dilihat dari sudut ini, Ahmad Wahib merupakan
sisi lain dari mata uang yang sama: ketakutan akan erosi
keimanan kaum muslimin di kemudian hari. Wajah satunya lagi,
adalah kuatnya kecenderungan sementara lulusan dan jebolan
disiplin ilmiah eksakta untuk mengajukan 'kebenaran' Islam
secara formal.
Ahmad Wahib sendiri adalah dari kelompok 'jebolan eksakta', yang
kemudian lari ke filsafat. Tetapi ia mellolak formalisme seperti
itu. Namun tetap saja ia melakukan kerja mengukuhkan kehadiran
Islam, seperti 'kaum formalis' itu.
Mengukuhkan Agama
Memang, sedalam-dalamnya Ahmad Wahib adalah seorang muslim
dengan keimanan penuh. Pemberontakan yang dilakukannya justru
bertujuan mengukuhkan agama yang diyakininya itu. Bak tukang
batu yang menghantamkan palunya ke tembok, untuk menguji
kekuatan dan daya tahan tembok tersebut. Siapa dapat mengatakan
menjadi 'muslim bergolak dan pemberontak' seperti Ahmad Wahib
ini lebih rendah kadarnya dari 'kemusliman' mereka yang tidak
pernah mempertanyakan kebenaran agama mereka sekali pun?
Kutipan berikut dari catatan harian Ahmad Wahib dengan tepat
menggambarkan kesimpulan itu. "Aku bukan nasionalis, bukan
katolik. Aku bukan budha, bukan protestan, bukan westernis. Aku
bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya.
Mudahmudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orang
memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute
entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya
termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia
sebagai manusia". (hal. 46).
Alangkah mulianya pribadi Ahmad Wahib, dan alangkah sempurna
kemuslimannya.
Abdurrahman Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini