SEORANG Indonesia berkunjung ke Tunisia sekitar dua tahun yang
lalu. Di kota kecil Sidi Youssef ia berbincang dengan tuan
rumahnya. Si orang Tunis bertanya: 'Apakah beda demokrasi negeri
anda dan demokrasi di sini? Jawabnya: di Tunis yang memerintah
adalah hanya sebuah partai, tetapi dengan tiga buah harian yang
saling berlawanan. Sedang di Indonesia, ada tiga organisasi
politik, tetapi hanya suara koran satu. Komentar si orang Tunis:
'Wah, sama-sama tidak benar, sama-sama seperti yang berkaki
empat. Cuma yang satu kakinya ke atas yang satu lagi berkaki ke
bawah!'
Anekdot tersebut kembali terbetik di benak penulis, ketika pers
kita mulai meributkan sebuah gagasan untuk menciptakan partai
tunggal di Indonesia. Padahal gagasan itu sendiri belum tentu
dilemparkan secara serius--mungkin hanya sebagai sindiran, untuk
menunjuk kepada kenyataan yang berbeda dari apa yang terlihat di
luar. Ironinya ia ditanggapi secara serius! Yang jelas, orang
salah menembaknya: seolah-lah itulah gagasan PNI dulu. Padahal
dahulu ia berasal dari orang-orang Murba, yang memelopori
Barisan Pendukung Soekarno-isme. Sedangkan PNI waktu itu
menolaknya keras-keras.
Sebagai hasil ramai-ramai pendapat orang tentang gagasan
tersebut, ada yang mengatakan tak ada partai tunggal. Yang ada
hanyalah mayoritas tunggal: yakni mayoritas Golkar di DPR, MPR
dan DPRD-PRD.
Apa artinya? Bisakah jika demikian PDI dan PPP menjadi mayoritas
dalam kehidupan bernegara kita? Jika tidak, bukankah sama
peranan sang pemegang 'mayoritas tunggal dengan peranan sebuah
partai tunggal?
Kalau memang demikian pengertiannya bukankah lalu sama 'sistem
tiga orpol' kita dengan sistem partai tunggal Neo-Dustur-nya
Habib Bourquiba di Tunis? Bukankah inti dari sebuah sistem
partai tunggal adalah pencegahan kekuasaan berpindah kepada
pihak lain, dengan cara apa pun, pantas atau tidak dan
konstitutional atau tidak?
Oleh Siapa?
Baru-baru ini Menteri Ali Murtopo mengatakan bahwa semua pihak
memiliki koran masing-masing. PPP punya harian Pelita, Golkar
juga punya medianya sendiri. PDI juga akan. Diizinkan terbit
begitu sajakah koran baru itu? Diaturkah ia agar berada di
tangan PDI? Kalau benar demikian lalu oleh siapa? Mungkinkah PDI
mengembangkan 'kultur politik'nya sendiri dengan koran baru itu,
ataukah ia hanya akan menambah saja deretan koran dengan suara
dan seringkali pemberitaan) berwajah tunggal yang menjadi inti
dari sistem kepartaian tunggal? Dan pemilu pun jadi sebuah
'pesta demokrasi tunggal'?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini