Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Samudra, amerika serikat & negeri...

Negara-negara maju berpendapat kekayaan dasar samudra bebas bagi siapa saja. menurut negara-negara berkembang mengambil kekayaan itu harus seizin yang lain, karena harta karun kepunyaan seluruh manusia.

19 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMUDRA, Amerika Serikat Dan Negeri Berkembang Kita harus hati-hati untuk menghindarkan perlombaan menguras dan menguasai tanah di bawah laut lepas. Kita harus meyakinkan bahwa samudra dalam dan dasarnya adalah, dan tetap warisan semua manusia. Presiden Johnson, 13 Juli 1966. KINI, bagi orang Amerika, amanat itu terasa bagaikan percikan air di dulang - yang kena muka sendiri. Sebab wawasan demikianlah yang dipakai oleh negara-negara berkembang untuk mengharamkan liberalisasi pemanfaatan kekayaan alam yang terdapat di dasar samudra dalam (deep seabed), di luar kedaulatan dan yurisdiksi suatu negara. Sedangkan AS sendiri, seperti yang dipertegas lagi dalam sidang X Konperensi Hukum Laut PBB ke-3 dua pekan lalu, matimatian memperjuangkan adanya persaingan bebas semacam itu. Sekurang-kurangnya sudah sejak 1974 para perunding dari hampir 150 negara berembuk mengenai bagaimana kita, manusia zaman ini, secara bersama-sama mendapat manfaat dari samudra. Soal penambangan kekayaan dasar lautan adalah satu dari sekian topik mutakhir, terutama setelah teknologi penambangan, seperti dimiliki Deepsea Ventures Inc. kini mampu menggali sampai kedalaman lebih 5 km. Persoalan penambangan dasar samudra dalam menjadi amat gawat karena dicanteli dua pemikiran yang bertolak belakang. Negara-negara maju berpandangan bahwa karena dasar samudra ini terletak di bawah laut lepas, yang tak tunduk pada yurisdiksi suatu negara, apalagi kedaulatan. Maka siapa saja bebas mengambil manfaatnya. Artinya, siapa duluan dia mendapat--begitu kira-kira mudahnya. Karena itu Deepsea Ventures, perusahaan multi nasional AS-Belgia itupun disiagakan. Kelompok negara berkembang, atau grup 77, sebaliknya menilai bahwa justru karena kawasan itu tidak bertuan, maka harta karun di dalamnya adalah kepunyaan seluruh manusia. Kalau ada satu dua kelompok umat yang ingin mengambilnya, izin dari kelompok umat yang lain harus didapatkan. Posisi negara-negara berkembang ini tak dapat diceraikan dari semangat menata kembali tata ekonomi internasional. Artinya apabila untuk pengusahaan bagian bumi yang mengandung kobalt, nikel, petroleum, gas dan batuan berharga ini tak dibikin aturan main yang wajar, timbangan Utara-Selatan akan terus saja timpang. Perjuangan kelompok 77 jelas bersenyawa pula dengan yang tak putus-putusnya untuk terus memasukkan elemen baru ke dalam hukum internasional. Diharapkan agar hukum ini tanggap terhadap kebutuhan negara-negara yang lahir setelah PD II. Tanpa sikap kritis, maka hukum penambangan dasar samudra dalam, sebagai satu segi hukum internasional, hanya akan memuat tata tingkah negara yang mampu saja. Karena mayoritas peserta Konperensi adalah grup 77 (yang berjumlah lebih 100 itu), maka tak heran, isi Rancangan Konvensi yang sudah disiapkan sejak tahun lalu dalam banyak bagian adalah usul mereka, termasuk yang berkenaan dengan penambangan dasar samudra dalam. Dicanangkan di situ bahwa kawasan yang disebut Area itu, beserta kawasan alamnya adalah warisan bersama umat manusia. Dengan demikian pengusahaan sumber-sumbernya harus diatur, dikelola dan diawasi oleh suatu badan yang bernama international Seabed Authority. Lembaga ini punya kekuasaan untuk menentukan, antara lain, lokasi penambangan, perizinan, kuota produksi, royalti, pencegahan pencemaran dan perlindungan produksi mineral negara berkembang. Tapi bangsa-bangsa dalam Kelompok 77 tak mau hanya tinggal terima bagian saja. Authority, dengan paspor umat manusia, juga ingin bergiat sendiri melalui badan usahanya: Enterprise. Mirip sistem pengusahaan perminyakan di Indonesia: di smping ada operator asing dalam kerjasama dengan negara via Pertamina, perusahaan negara ini juga melakukan penamhansan sendiri. Tentu syarat-syarat usaha bagi Enterprise jauh lebih ringan ketimbang untuk peserta atau badan hukum yang disponsorinya. Misalnya pemohon yang bukan Enterprise harus terlebih dulu menyampaikan rencana kerja untuk disetujui Authority, memuat peta hamparan kapling yang cukup luas bagi dua operasi penambangan. Kedua porsi kapling itu harus memiliki nilai komersial yang sama pula. Pemohon pun harus menyampaikan semua data dan informasi mengenai kedua porsi tersebut. Dan Authority-lah yang menentukan, mana untuk pemohon, mana untuk Enterprise. Namun mekanisme seperti itu tentu saja belum cukup. Baik Authority yang kuasa, ataupun Enterprise yang ditimang, bisa apa? Juga teknologi, mau dijolok dari mana? Maka seperti dalam kontrak bagi hasil (KBH) pertambangan di negara berkembang, alih teknologi adalah amanat penting dalam Rancangan. Dalam KBH, pemohon atau operator harus menjamin, antara lain:  tersedianya bagi Enterprise teknologi yang dipakai operator dalam operasi berdasarkan syarat-syarat bisnis yang wajar, dan  selain untuk teknologi di atas, didapatkannya jaminan tertulis dari pemilik yang teknologinya dipakai operator bahwa teknologi tersebut dapat dialihkan pada Enterprise dengan syarat komersial yang sama, ditambah ancaman bahwa teknologi itu tak boleh dipakai apabila jaminan tak berhasil didapatkan.  tersedianya semua langkah bagi terlaksananya semua bentuk alih teknologi di atas bagi kepentingan negara berkembang. Aturan main di atas lahir setelah melalui revisi dan debat berkepanjangan. Dalam sidang X itu, rupanya tinggal AS, disokong Belgia dan Italia, yang tetap alergi terhadap klausa-klausa tersebut. AS menyatakan khawatir Authority akan bisa bertindak semena-mena. Soalnya, seperti yang dikeluhkan seorang penasihat hukum Deepsea Ventures dalam penerbitan Juris Do tor: "Kontraktor yang menyediakan dana, keahlian dan ketrampilan serta peralatan. Tapi dia pula yang menanggung risiko akibat menurutkan instruksi Authority yang punya hak kontrol mutlak terhadap dirinya." Keberatan seperti itu bisa dimengerti, meskipun belum tentu bisa disetujui. Tapi mengapa terlalu memikirkan AS? Kalau tidak ikutnya AS dalam Konvensi hanya sejauh menyangkut ketentuan yang langsung merugikannya, maka kemungkinan itu masih positif bagi negara berkembang. Artinya ketentuan-ketentuan lain, seperti prinsip negara nusantara dan laut teritorial 12 mil, praktis dapat diterima AS pula. Yang gawat tinggal masalah harta karun umat manusia nun di bawah laut lepas itu. Armada penambang AS-Belgia mungkin tak begitu saja mudah dihalau dari situ. Tampaknya kompromi dan konsesi mungkin masih diperlukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus