SAMUDRA, Amerika Serikat Dan Negeri Berkembang Kita harus
hati-hati untuk menghindarkan perlombaan menguras dan menguasai
tanah di bawah laut lepas. Kita harus meyakinkan bahwa samudra
dalam dan dasarnya adalah, dan tetap warisan semua manusia.
Presiden Johnson, 13 Juli 1966. KINI, bagi orang Amerika, amanat
itu terasa bagaikan percikan air di dulang - yang kena muka
sendiri. Sebab wawasan demikianlah yang dipakai oleh
negara-negara berkembang untuk mengharamkan liberalisasi
pemanfaatan kekayaan alam yang terdapat di dasar samudra dalam
(deep seabed), di luar kedaulatan dan yurisdiksi suatu negara.
Sedangkan AS sendiri, seperti yang dipertegas lagi dalam sidang
X Konperensi Hukum Laut PBB ke-3 dua pekan lalu, matimatian
memperjuangkan adanya persaingan bebas semacam itu.
Sekurang-kurangnya sudah sejak 1974 para perunding dari hampir
150 negara berembuk mengenai bagaimana kita, manusia zaman ini,
secara bersama-sama mendapat manfaat dari samudra. Soal
penambangan kekayaan dasar lautan adalah satu dari sekian topik
mutakhir, terutama setelah teknologi penambangan, seperti
dimiliki Deepsea Ventures Inc. kini mampu menggali sampai
kedalaman lebih 5 km.
Persoalan penambangan dasar samudra dalam menjadi amat gawat
karena dicanteli dua pemikiran yang bertolak belakang.
Negara-negara maju berpandangan bahwa karena dasar samudra ini
terletak di bawah laut lepas, yang tak tunduk pada yurisdiksi
suatu negara, apalagi kedaulatan. Maka siapa saja bebas
mengambil manfaatnya. Artinya, siapa duluan dia mendapat--begitu
kira-kira mudahnya. Karena itu Deepsea Ventures, perusahaan
multi nasional AS-Belgia itupun disiagakan.
Kelompok negara berkembang, atau grup 77, sebaliknya menilai
bahwa justru karena kawasan itu tidak bertuan, maka harta karun
di dalamnya adalah kepunyaan seluruh manusia. Kalau ada satu dua
kelompok umat yang ingin mengambilnya, izin dari kelompok umat
yang lain harus didapatkan.
Posisi negara-negara berkembang ini tak dapat diceraikan dari
semangat menata kembali tata ekonomi internasional. Artinya
apabila untuk pengusahaan bagian bumi yang mengandung kobalt,
nikel, petroleum, gas dan batuan berharga ini tak dibikin aturan
main yang wajar, timbangan Utara-Selatan akan terus saja
timpang.
Perjuangan kelompok 77 jelas bersenyawa pula dengan yang tak
putus-putusnya untuk terus memasukkan elemen baru ke dalam hukum
internasional. Diharapkan agar hukum ini tanggap terhadap
kebutuhan negara-negara yang lahir setelah PD II. Tanpa sikap
kritis, maka hukum penambangan dasar samudra dalam, sebagai satu
segi hukum internasional, hanya akan memuat tata tingkah negara
yang mampu saja.
Karena mayoritas peserta Konperensi adalah grup 77 (yang
berjumlah lebih 100 itu), maka tak heran, isi Rancangan Konvensi
yang sudah disiapkan sejak tahun lalu dalam banyak bagian adalah
usul mereka, termasuk yang berkenaan dengan penambangan dasar
samudra dalam. Dicanangkan di situ bahwa kawasan yang disebut
Area itu, beserta kawasan alamnya adalah warisan bersama umat
manusia.
Dengan demikian pengusahaan sumber-sumbernya harus diatur,
dikelola dan diawasi oleh suatu badan yang bernama international
Seabed Authority. Lembaga ini punya kekuasaan untuk menentukan,
antara lain, lokasi penambangan, perizinan, kuota produksi,
royalti, pencegahan pencemaran dan perlindungan produksi mineral
negara berkembang.
Tapi bangsa-bangsa dalam Kelompok 77 tak mau hanya tinggal
terima bagian saja. Authority, dengan paspor umat manusia, juga
ingin bergiat sendiri melalui badan usahanya: Enterprise. Mirip
sistem pengusahaan perminyakan di Indonesia: di smping ada
operator asing dalam kerjasama dengan negara via Pertamina,
perusahaan negara ini juga melakukan penamhansan sendiri.
Tentu syarat-syarat usaha bagi Enterprise jauh lebih ringan
ketimbang untuk peserta atau badan hukum yang disponsorinya.
Misalnya pemohon yang bukan Enterprise harus terlebih dulu
menyampaikan rencana kerja untuk disetujui Authority, memuat
peta hamparan kapling yang cukup luas bagi dua operasi
penambangan. Kedua porsi kapling itu harus memiliki nilai
komersial yang sama pula. Pemohon pun harus menyampaikan semua
data dan informasi mengenai kedua porsi tersebut. Dan
Authority-lah yang menentukan, mana untuk pemohon, mana untuk
Enterprise.
Namun mekanisme seperti itu tentu saja belum cukup. Baik
Authority yang kuasa, ataupun Enterprise yang ditimang, bisa
apa? Juga teknologi, mau dijolok dari mana?
Maka seperti dalam kontrak bagi hasil (KBH) pertambangan di
negara berkembang, alih teknologi adalah amanat penting dalam
Rancangan. Dalam KBH, pemohon atau operator harus menjamin,
antara lain:
tersedianya bagi Enterprise teknologi yang dipakai operator
dalam operasi berdasarkan syarat-syarat bisnis yang wajar, dan
selain untuk teknologi di atas, didapatkannya jaminan tertulis
dari pemilik yang teknologinya dipakai operator bahwa teknologi
tersebut dapat dialihkan pada Enterprise dengan syarat komersial
yang sama, ditambah ancaman bahwa teknologi itu tak boleh
dipakai apabila jaminan tak berhasil didapatkan.
tersedianya semua langkah bagi terlaksananya semua bentuk alih
teknologi di atas bagi kepentingan negara berkembang.
Aturan main di atas lahir setelah melalui revisi dan debat
berkepanjangan.
Dalam sidang X itu, rupanya tinggal AS, disokong Belgia dan
Italia, yang tetap alergi terhadap klausa-klausa tersebut. AS
menyatakan khawatir Authority akan bisa bertindak semena-mena.
Soalnya, seperti yang dikeluhkan seorang penasihat hukum Deepsea
Ventures dalam penerbitan Juris Do tor: "Kontraktor yang
menyediakan dana, keahlian dan ketrampilan serta peralatan. Tapi
dia pula yang menanggung risiko akibat menurutkan instruksi
Authority yang punya hak kontrol mutlak terhadap dirinya."
Keberatan seperti itu bisa dimengerti, meskipun belum tentu bisa
disetujui. Tapi mengapa terlalu memikirkan AS? Kalau tidak
ikutnya AS dalam Konvensi hanya sejauh menyangkut ketentuan yang
langsung merugikannya, maka kemungkinan itu masih positif bagi
negara berkembang. Artinya ketentuan-ketentuan lain, seperti
prinsip negara nusantara dan laut teritorial 12 mil, praktis
dapat diterima AS pula.
Yang gawat tinggal masalah harta karun umat manusia nun di bawah
laut lepas itu. Armada penambang AS-Belgia mungkin tak begitu
saja mudah dihalau dari situ.
Tampaknya kompromi dan konsesi mungkin masih diperlukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini