PARA petani di Kecamatan Tomo, Sumedang (Jawa Barat) tahun ini
rugi besar. Tanaman tembakau mereka membusuk. Sebab jenis
tanaman ini, hanya bisa tumbuh subur di tanah yang cukup kering.
"Dan memang, ketika hujan tidak juga reda selama bulan Mei-Juni
saya mulai was-was," ujar Sebar, petani tembakau di Desa
Darmawangi, Tomo.
Kekhawatiran petani itu memang terbukti: tanaman tembakau seluas
100 ha di desa itu tergenang air sebatas lutut. Setelah air
surut, pohon tembakau tumbang, batang dan daunnya busuk. Kalau
ada yang masih tegak, daunnya leumeuh alias menggeluntung dan
terkulai layu. Di permukaan daun itu pun nampak bercak-bercak
hitam.
Para petani umumnya menduga hujan yang turun lebih banyak dari
biasanya itu adalah sebagian dari hujan buatan yang dimaksudkan
menambah air waduk Jatiluhur--80 km dari Darmawangi -- beberapa
waktu lalu. Bahkan tak kurang dari Ketua HKTI (Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia) Ja-Bar, R.T. Subarta, yakin benar akan
hal itu. "Saya mendapat laporan dari camat," ujarnya.
Sebab hujan buatan untuk waduk tadi diduga sebagian dibawa
angin, hingga mengguyur kebun-kebun tembakau itu.
Akibat sampingan hujan buatan serupa itu nampaknya disadari
Pemda Ja-Bar. Sebab itu, di Bandung akhir Agustus lalu Pemda
Ja-Bar bersama BP PT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi)
dan POJ (Perum Otorita Jatiluhur) mengadakan seminar tentang
akibat-akibat hujan buatan.
Tak kurang dari 60 peserta hadir. Beberapa pembicara
mengungkapkan segisegi yang merugikan dari hujan buatan,
termasuk R.T. Subarta dari HKTI Ja-Bar. Ia berharap, pemerintah
tidak hanya memperhatikan peningkatan produksi padi, tapi juga
tembakau, kedelai atau kacang hijau yang justru membutuhkan
masa-masa kering dalam proses pematangannya.
Kata Subarta: "Kalau hujan buatan dijatuhkan di sebelah selatan
DAS (daerah aliran sungai) Citarum yang banyak ditanami tanaman
nonpadi, seperti tembakau atau kacang kedelai, petani akan rugi
besar, sebab tanaman akan membusuk. Selain itu kalau hujan
buatan hendak dijatuhkan di musim kemarau untuk memperpanjang
musim penghujan -- hendaklah petani diberitahukan, agar
sebelumnya mereka dapat menyesuaikan jenis tanaman."
Supriyo Ambar, staf ahli Lembaga Ekologi Unpad mengemukakan
akibat negatif dari hujan buatan yang agaknya tidak diduga
sebelumnya. "Kalau musim hujan diperpanjang, masa istirahat
tumbuh-tumbuhan dan jenis-jenis insekta, termasuk hama padi,
akan tertunda. Dengan begitu akan terjadi reproduksi insekta
yang menimbulkan hama," katanya.
Itu tidak berarti para peserta seminar mnolak hujan buatan.
Yang penting, menurut Supriyo, dapatkah intensitas hujan buaun
itu diatur ditentukan di mana dan kapan hujan itu diturunkan.
Walhasil seminar itu berkesimpulan hujan buatan dapat dikuasai,
teknologinya perlu disempurnakan dan jangan sampai melanggar
proses alamiah yang telah ada.
Sebaliknya menurut Ir. Soebagio, Kepala Proyek Hujan Buatan dari
BPPT, hujan buatan tidak membawa pengaruh negatif. Misalnya
dalam hal pemakaian es kering yang sebenarnya adalah C02 yang
dipadatkan kemudian menguap kalau terkena panas. "Bukankah
tumbuh-tumbuhan juga memerlukan C02?" tanyanya berteori. Tapi
Soebagio tidak membantah kemungkinan timbul hal-hal yang
merugikan.
Misalnya kalau hujan buatan itu menyasar ke kawasan lain karena
tiba-tiba arus angin menjadi lebih cepat. Karenanya, menurut
sarjana pertambangan ITB itu, lebih mudah menjatuhkan hujan
buatan di areal yang lebih luas. Tapi Soebagio belum dapat
memastikan, apakah musnahnya tanaman tembakau di Tomo, akibat
hujan buatan yang kesasar.
Berimbangkah
Percobaan hujan buatan pertama kali pada 1977 di Banten Selatan
dan Pelabuhan Ratu (Ja-Bar). Menyusul di Sala (Ja-Teng), Bogor,
Jatiluhur (Ja-Bar), Lombok (NTB) dari Gunung Kidul.
Pengalaman para petani di Gunung Sewu --kawasan sebelah selatan
Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta --hampir sama
dengan pengalaman petani di sekitar DAS Citarum. Di beberapa
tempat, banyak petani mengeluh karena tanaman kacang tanah
mereka pada busuk--gara-gara hujan yang masih juga turun di awal
musim kemarau. Tapi hal itu juga masih disangslkan apakah
gara-gara hujan buatan pula.
Hujan buatan yang turun bulan Mei berselang di Gunung Kidul,
menurut Bupati Darmakum Darmokusumo, makan biaya cukup mahal: Rp
131 juta. "Tapi hasilnya akan berlipat ganda. Bukan hanya untuk
minum penduduk di kawasan yang selalu kekeringan itu, tapi juga
berpengaruh terhadap pola tanam," katanya. Tapi Wakil Ketua
Bappeda DIY, Pramono Hadi, masih menyangsikan apakah antara
biaya dan hasil yang diperoleh dari hujan buatan tersebut cukup
berimbang--karena belum pernah ada penelitian soal itu.
Secara teori, hujan buatan yang dijatuhkan dua kali dalam
setahun (Oktober dan Juni) bisa rnmpertinggi crop intensity
(intensitas penanaman). Dengan bibit unggul yang ditanam awal
Oktober, petani dapat panen pada awal Februari. Empat bulan
berikutnya bertanam padi lagi--kali ini dengan air hujan
alam-dapat dipanen Mei atau Juni. Masa tanam berikutnya, juga
selama empat bulan, petani menanam palawija, diairi dengan hujan
buatan.
Direktur Pusat Penelitian Ekonomi dan Sumber Daya Manusia Unpad,
Drs. Hidayat MSc, mengakui, dalam keadaan serupa itu produksi
bahan makanan yang dihasilkan petani, meningkat. Tapi, katanya,
bila Bulog tidak meningkatkan floor price, petani akan
dihadapkan pada produksi bahan makanan yang berlebih. "Artinya,
tidak akan menguntungkan petani," tlambah Hidayat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini