Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA tahun terakhir ini Rasyid merasa ada yang tidak beres dengan badannya. Warga Dusun V Desa Buyat, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, ini mengeluh tubuhnya sering terasa nyeri, penglihatannya makin berkurang, dan kepalanya pusing. Lalu di tengkuk pria 39 tahun ini juga muncul benjolan sebesar telur ayam.
Ternyata tak hanya Rasyid yang mengalami penderitaan itu. Sekitar 100 orang saudara sekampungnya mengalami penderitaan serupa. Mereka diduga keracunan logam berat jenis merkuri (Hg = hydrargyrum) yang mencemari Teluk Buyat. Ada dugaan, pencemaran itu berasal dari buangan limbah PT Newmont Minahasa Raya. Dengan alasan inilah, Selasa pekan silam, mereka mengadukan PT Newmont ke Markas Besar Kepolisian RI.
Merkuri adalah mineral yang sudah lama digunakan dalam proses penambangan emas. Di kalangan perusahaan tambang, logam ini favorit karena murah, mudah digunakan, dan juga efisien. Tapi semua keunggulan merkuri itu harus ditebus dengan dampaknya bagi kesehatan yang sangat mahal dan serius.
Merkuri, atau orang awam mengenalnya sebagai air raksa, dapat masuk ke tubuh lewat tiga cara: melalui kulit, uap yang dihirup lewat hidung, dan lewat makanan. Bila masuk melalui kulit, merkuri akan menyebabkan reaksi alergi berupa iritasi kulit. Dan reaksi ini tak perlu menunggu lama. Biasanya, setelah seseorang beberapa kali mandi atau berenang di sungai atau laut yang tercemar merkuri, kulitnya akan segera tergerus.
Pekerja yang biasa menggunakan merkuri, seperti penambang emas liar yang memakainya untuk memisahkan emas dan pasir, berisiko tinggi menghirup uap merkuri lewat hidungnya. Uap yang terhirup ini dapat menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan, seperti bronkitis dan pneumonitis. Saraf pun bisa rusak.
Pada tahap keracunan yang ringan, seseorang bisa kehilangan ingatan, tremor (menggigil), emosi tak stabil (gelisah dan mudah marah), sulit berkonsentrasi, mudah gugup, menderita insomnia, kehilangan nafsu makan, mengalami depresi, kesulitan bernapas karena kelumpuhan otot-otot pernapasan, dan jantung berdenyut lebih cepat. Dalam tahapan sedang, seseorang akan menderita kerusakan mental, gangguan gerak, dan juga kerusakan ginjal. Dan dalam tahapan tinggi, merkuri dapat menyebabkan kerusakan paru-paru, bahkan kematian.
Cara lain merkuri masuk tubuh manusia adalah lewat makanan. Industri yang menggunakan merkuri acap membuang limbahnya ke dalam sungai atau laut. Hasil buangan inilah yang kemudian mengkontaminasi habitat ikan santapan manusia. Pada gilirannya, manusia yang menyantap ikan yang tercemar ikut menimbun merkuri di dalam tubuhnya.
Dampak masuknya merkuri lewat jalur makanan ini biasanya lebih lama. "Bisa beberapa minggu, bulan, atau bahkan tahunan, tergantung kadar merkuri yang masuk ke dalam tubuh," kata Budi Haryanto, Kepala Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Gejala yang muncul biasanya mual, muntah-muntah, kejang pada perut, tinja bercampur darah, dan sulit buang air kecil.
Merkuri juga menyerang sistem saraf. Bila saraf terkena, seluruh tubuh bergetar, bahkan sampai ke bibir dan lidah. Pada kasus keracunan ringan, gejala yang muncul adalah mudah lelah, mata kabur, kesemutan, dan nyeri di sekujur tubuh. Dalam kasus yang lebih berat, penglihatan berkurang, sudut pandang menyempit, pendengaran menghilang, ada gangguan berbicara, dan pergerakan tidak stabil. Pada kasus yang paling berat, gangguan mental dan koma, kadang disertai kematian, bisa muncul.
Gejala-gejala keracunan itulah yang dialami Rasyid dan teman-teman kampungnya. Tapi, menurut Agustin Kusumayati, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, warga Buyat tak bisa begitu saja disebut tercemar merkuri. "Tidak ada gejala khas seseorang yang tercemar merkuri," katanya. Menurut Agustin, gejala seperti sesak napas, batuk, sakit dada, dan muntah darah juga ditemukan pada pengidap tuberkulosis. Selain itu, gejala seperti sulit buang air kecil juga bisa ditemukan pada pasien gagal ginjal. "Jadi, untuk menentukan apakah penyebabnya itu merkuri atau bukan, harus ada uji laboratorium," ujar Agustin. Kita lihat saja nanti.
Rian Suryalibrata, Muhamad Fasabeni (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo