DUA hari. Hanya dua hari keputusan itu bertahan di tangan Yasser Arafat. Presiden Palestina itu tadinya menetapkan Kolonel Moussa Arafat, saudara sepupunya, sebagai Kepala Keamanan Nasional Palestina, menggantikan Brigadir Jenderal Abdel Razzek al-Majeida. Posisi kepala keamanan adalah pos kunci yang hampir selalu melahirkan stori besar antara Arafat dan para pembantunya. Begitu pula kali ini. Cuma dalam hitungan jam, 2.000 lebih penduduk berjejal di jalan-jalan Kota Gaza. Mereka meneriakkan nama si Moussa Arafat sebagai "anjing baru" yang korup dan beramai-ramai membakar kantor Presiden.
Menyaksikan amarah yang mengepul di jalanan kota pada pekan lalu itu, Arafat cepat saja menjangkau telepon. Dia mengontak Al-Majeida agar segera check in kembali. Dan Moussa dilorotkan ke posisi kedua. Beres? Sama sekali belum. Di sudut lain, Perdana Menteri Ahmed Qurei melambai-lambaikan sehelai surat. Isinya, dia ingin pamit mundur dari jabatannya. Qurei menuliskan tiga hal sebagai alasan: kegagalan menghidupkan kembali proses perdamaian dengan Israel, meningkatnya kemiskinan, dan kondisi kacau-balau tanpa hukum di seantero Palestina.
Nah, tapi ada lagi isi hati yang tak dituliskan Qurei dalam surat itu, yakni urusan korupsi yang menurut dia kian meliliti Arafat dan para pembantunya. Tindakan Arafat mencopot dan mengganti Kepala Keamanan Palestina di mata Qurei juga amat berbau nepotisme. Qurei belum genap setahun menjabat perdana menteri. Dia naik pada September 2003. Pendahulunya, Mahmud Abbas, hanya betah empat bulan memangku jabatan tersebut. Alasannya?
Apa lagi kalau bukan soal keamanan. Kepada Abbas telah dijanjikan wewenang untuk ikut mengontrol keamanan Palestina. Apa lacur, Pak Tua Arafat rupanya ogah menepati janji itu. Maka Abbas pun melenggang pergi. Kali ini rupanya Arafat tak mau kecolongan lagi. Dia mati-matian membujuk Qurei agar tetap bertahan, lagi-lagi, diiringi "paket janji": Qurei dipersilakan mereformasi kabinet serta diberi wewenang mengatur pasukan keamanan. Presiden Palestina itu juga tak lupa berikrar akan meleburkan 12 angkatan di bawah Otoritas Palestina menjadi tiga saja.
Tapi kubu Qurei tenang saja menghadapi rayuan hangat itu. Arafat lagi menembang lagu lama?begitu mereka berbalik menyindir. Sejauh ini, Qurei memang tak sudi kembali sepenuhnya. Dia mengaku hanya bersedia menjadi pemangku sementara alias caretaker hingga jabatan itu diisi oleh orang baru. Dewan Legislatif Palestina menambahkan lagi kartu mati buat Arafat pada Rabu pekan silam. Lewat voting 43 suara setuju dan 4 menentang, parlemen mengukuhkan rekomendasi pembubaran pemerintahan Qurei dan penunjukan kabinet baru.
Resolusi yang mereka sodorkan kepada Arafat antara lain berbunyi, "Pemerintah ini gagal mengemban tanggung jawabnya mengendalikan situasi domestik dan memperbaiki keamanan rakyat." Jadi, penempatan Moussa yang memicu amarah di Gaza itu sejatinya cuma salah satu pemicu. Sepupu tercinta Arafat ini dianggap bagian dari elite pemerintahan Arafat yang korup dan doyan menerapkan nepotisme. Gelagat kerusuhan besar di Gaza itu sejatinya sudah muncul pada dua pekan silam.
Ketika itu, Brigade Martir Jenin menculik dan menahan beberapa jam Ghazi Jabali, Kepala Kepolisian Jalur Gaza. Kelompok ini disebut-sebut sebagai barisan sakit hati dari kelompok-kelompok militan lain yang lebih besar, termasuk Brigade Martir Al-Aqsa, sayap bersenjata Fatah. Mengarak Jabali ke gang-gang kamp pengungsi, mereka memaklumatkan dia sebagai pencuri uang rakyat sebesar US$ 22 juta atau sekitar Rp 198 miliar.
Kelompok lain, Batalion Martir Ahmed Abu al-Rish, dari Khan Younis, menculik dan membebaskan sejumlah sukarelawan Prancis serta perwira polisi Khaled Abu Ala. Kedua kelompok itu beranggotakan orang-orang Fatah, faksi pimpinan Arafat yang kini terpecah-pecah. Maka Arafat tak punya pilihan selain memperkuat konsolidasi ke dalam. Dia mengganti Jabali dengan Moussa, sekaligus menggeser Al-Majeida. Moussa naik menjadi orang nomor satu untuk urusan keamanan, tidak hanya di Jalur Gaza, tapi juga di Tepi Barat. Hasilnya?
Seperti yang sudah diuraikan di atas, massa penentang Arafat mengamuk di markas intelijen militer Khan Younis, Jalur Gaza. Brigade Martir Al-Aqsa terlibat tembak-menembak dengan pasukan keamanan Palestina di Rafah. Singkat cerita, para penentang korupsi pemerintah dan kelompok yang mendukung para pejabat yang dituduh korup baku hantam dengan seru. Di tengah-tengah pertarungan itulah Qurei lantas menohok Arafat dengan permintaan pengunduran diri.
Tekanan ini terbukti efektif. Bahkan parlemen yang didominasi Fatah?faksi pimpinan Arafat ini menguasai 61 dari 88 kursi?tak kuasa menepis alasan Qurei bahwa pemerintahannya memang tidak efektif. Dari luar, Uni Eropa segera memagari Qurei dengan rapat. Uni Eropa mengancam, kalau dia sampai terpental, Uni Eropa bakal meninjau hubungan mereka dengan Arafat.
Itu berarti keran bantuan finansial akan macet. Apalagi pers Eropa kini ramai meributkan aliran dana 10 juta euro atau sekitar Rp 110 miliar per bulan dari 2000 sampai 2003. Penggunaan uang itu?yang dikucurkan dari Uni Eropa ke Otoritas Palestina?dianggap tanpa kontrol memadai. Televisi pemerintah Jerman, ARD, misalnya, menguraikan sejumlah dokumen yang menunjukkan Arafat mengalirkan US$ 5,1 juta pada 2001 ke rekening pribadinya di Bank Arab di Kairo.
Abu Mohammad, juru bicara Brigade Martir Al-Aqsa, mengakui kelompoknya gamang mengangkat senjata melawan organisasi induknya?walau mereka frustrasi dengan kegagalan Arafat. Mereka pun menerbitkan manifesto 10 halaman berisi seruan Otoritas Palestina dan mendesak Arafat menyerahkan sebagian kekuasaannya. "Kami tidak ingin membeli korupsi pendudukan Israel dengan korupsi orang Palestina saat mereka pergi dari Jalur Gaza," kata Abu Mohammad.
Satu pertanyaan: bagaimana operasi-operasi untuk "mengempaskan Arafat" berjalan rapi dan efektif? Mohammad Dahlan disebut sebagai dalang berbagai gerakan menentang Presiden. Setahun lalu, Dahlan dicopot dari posisi Menteri Dalam Negeri Palestina setelah mundurnya Perdana Menteri Mahmud Abbas. Sejak saat itu, dia tak menempati satu pun posisi senior di Otoritas Palestina.
Secara terbuka, Dahlan mulai berbicara soal korupsi pejabat Palestina, terutama Jabali. Dahlan, yang dikenal dekat dengan beberapa pejabat senior di Mesir dan Amerika Serikat, punya basis dukungan yang cukup mantap di Fatah dan di Brigade Martir Al-Aqsa. Meski Dahlan getol menyuarakan reformasi dan pembersihan korupsi, rumor miring tentang dirinya tak kalah santer. Semasa menjadi menteri dalam kabinet Abbas, dia diisukan menumpuk kekayaan pribadi dengan memanfaatkan posisinya.
Alhasil, sengketa dan pertarungan kekuasaan di Jalur Gaza ini hanya berbuntut pada keresahan warga. "Saya tak ingin menyaksikan orang-orang kita saling perang," kata Ibriham Shaban, 52 tahun, pemilik toko sepatu di Kota Gaza, "Perang sesama saudara jauh lebih berbahaya ketimbang berperang dengan Israel." Apalagi, kata Ahmed Helis, Sekretaris Jenderal Fatah di Jalur Gaza, kedua kubu sebetulnya sama-sama korup. "Ini bencana," ujar Helis, "Tak ada pihak baik dan pihak buruk. Dan Fatah belum sadar apa yang sesungguhnya terjadi."
Mustafa Barghouti, dokter yang merangkap sebagai analis politik di Palestina, menilai perebutan kekuasaan di lingkaran elite Palestina kini sudah menginjak tahap yang "jauh lebih parah dari masa sebelumnya." Dalam satu kalimat, Mustafa menggambar situasi yang melanda segenap anak negeri Palestina sekarang: "Mereka marah dan menginginkan reformasi."
Yanto Mustofa (Guardian, Arab News, Ha'aretz, WPost)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini