Sosok Yuli sama sekali tak mirip Erin Brockovich, janda pengangguran yang seksi, juga jenaka, yang mampu memaksa perusahaan listrik di Amerika Serikat, Pacific Gas & Electric, membayar ganti rugi karena mencemari air sumur dengan logam berat. Yuli hanya wanita biasa yang iba melihat warga Desa Buyat, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, dihinggapi penyakit aneh. Tubuh mereka gatal, kulit bersisik, bahkan muncul benjolan sebesar telur ayam. Kejadian yang muncul lima tahun belakangan itulah?setelah PT Newmont Minahasa Raya membuka tambang emas dan membuang limbahnya ke Teluk Buyat?yang membangkitkan semangatnya untuk membela warga di sana.
?Ini mirip kasus pencemaran logam berat di Teluk Minamata, Jepang, setengah abad lalu,? pikirnya. Trauma Minamata itu pula yang membuat aktivis Yayasan Suara Nurani Manado itu terbang ke Jakarta, mendampingi warga Buyat menggugat perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
Namun, Yuli memang tak seperkasa Erin Brockovich yang kisah ketangguhannya membongkar pencemaran itu difilmkan dengan judul sama dengan nama sang janda oleh Steven Soderbergh dan dibintangi Julia Roberts. Yuli tak kuasa meyakinkan pejabat pemerintah dan Newmont bahwa tragedi seperti Minamata mulai terjadi di Teluk Buyat. Dalam acara debat di sebuah TV swasta, dia malah dibombardir serentetan data penelitian oleh Kadar Wiryanto, Manajer Lingkungan PT Newmont Minahasa Raya. Wanita itu tercekat, tak berkutik. ?Lihat,? kata Kadar, ?data-data pengujian air dan biota laut tak ada yang melebihi ambang batas WHO. Jadi, tak ada pencemaran.? Yuli hanya bisa terisak. ?Semua itu bohong besar,? ujarnya sesenggukan, ?Sudah banyak jatuh korban.?
Syahdan, setelah Newmont Minahasa Raya resmi beroperasi di sana Maret 1996, kehidupan nelayan di Buyat pun berubah. ?Dulu kami sehari bisa menangkap 10 ribu nener (anak bandeng),? kata Ny. Malyah Muhammad. ?Sekarang, mana bisa.? Bahkan Malyah pun harus meninggalkan pekerjaannya itu karena tak ada lagi nener di teluk.
Setelah nener menghilang, ikan tangkapan di jaring pun makin berkurang. Jafar Paparo menuturkan, dulu ikan bisa didapat di dekat-dekat teluk. ?Kini, kami harus mendayung 5-8 kilometer, baru ketemu ikan,? ujar nelayan berumur 36 tahun itu.
Menghilangnya nener dan ikan ini bukan kejadian aneh. Sejak Newmont membuang limbah lumpurnya (tailing) di kedalaman 82 meter di Teluk Buyat, tumpukan lumpur memenuhi dasar laut di sana. Bayangkan, tiap hari 2.000 ton lumpur limbah digelontor ke teluk ini. Video rekaman bawah laut menunjukkan terumbu karang di sana berbalut lumpur. Ikan pun mengungsi ke tempat lain.
Longgena Ginting, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menuturkan kerusakan lingkungan itu terjadi sejak September 1996. Dan bukan cuma lumpur yang jadi bencana. Empat tahun sesudah Newmont menambang, keluhan penyakit aneh-aneh pun muncul. Banyak warga yang terserang kudis menahun, dan benjolan di kulit pun tumbuh di mana-mana.
Itulah yang dialami keluarga Jafar. Empat anaknya semua ditumbuhi luka seperti kudis. Salah satu anak Jafar, Mira, 9 tahun, malah sempat lumpuh setelah kakinya dihiasi benjolan sejak dua tahun lalu. Akibatnya, dia putus sekolah, cuma mengecap bangku kelas satu SD, karena tak sanggup berjalan ke sekolahnya yang berjarak satu kilometer.
Kenestapaan Mira dan keluarga itu juga menimpa banyak warga Buyat yang sehari-hari mengkonsumsi ikan di sana. Dalam sebuah pemeriksaan kesehatan oleh Jane Pangemanan, staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado, ternyata 80 dari 100 orang yang diperiksa menderita penyakit aneh seperti Mira dan adik-adiknya. Bahkan Rasyid, tetangganya yang berumur 39 tahun, punya benjolan segede telur ayam.
Namun, Newmont, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) setempat, dokter kulit, bahkan profesor ahli kulit di Minahasa menganggap itu penyakit kulit biasa akibat kudisan dan kekurangan gizi. Sampai akhirnya kasus ini mencapai puncaknya ketika seorang bayi, Andini, meninggal mengenaskan. Kulitnya bersisik dan mengelupas seperti terkena luka bakar saat dia berumur tiga hari. ?Anak saya meninggal tersiksa,? kata Andi Lensu, 46 tahun, lesu.
Kini istri Andi, Masnah Stirman, berada di Jakarta untuk melaporkan kasus yang diderita warga Buyat ini. Darah dan DNA-nya juga telah diperiksa di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. ?Hasilnya pekan ini keluar,? kata Iskandar Sitorus, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan.
Newmont sampai kini tetap yakin perusahaannya tak terkait dengan pencemaran. Dari sejumlah penelitian, menurut Kadar Wiryanto, kandungan sianida limbah tambang itu pada air laut hanya 0,5 miligram per liter, arsen 0,5 miligram per liter, dan merkuri pun hanya 0,08 miligram per liter. Jumlah ini masih di bawah ambang batas minimum. Mereka tak punya data polusi di lapisan lumpur limbah.
Kalaupun ada kandungan merkuri di teluk itu, kata Kadar, itu adalah ulah penambang liar di sana. Penambang liar itu, tuturnya, masih menggunakan merkuri untuk memisahkan emas dari batuan. ?Sedangkan Newmont sudah beralih ke penggunaan sianida, yang dinilai lebih aman,? kata Kadar lagi.
Alasan itu ditampik Walhi. ?Newmont memang tidak menggunakan merkuri, tapi pengolahannya menghasilkan merkuri,? kata Raja, menimpali. Lagi pula pengolahan emas membuat logam berat seperti arsen, merkuri, tembaga, perak, yang semula terperangkap dalam batuan, kini lepas ke alam. Limbah inilah yang sebagian terbuang lewat pipa tailing sepanjang 800 meter dari bibir pantai. Ada juga yang masuk ke laut lewat Sungai Buyat akibat tumpukan limbah di darat tergerus air hujan.
Tudingan bahwa penambang rakyat mencemari Teluk Buyat dinilai Rignolda Djamaludin, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, tak logis. Alasannya, penambangan rakyat ada di kawasan Sungai Totok yang mengalir ke Teluk Totok. Sedangkan Newmont ada di tepi Sungai Buyat dan mengalir ke Teluk Buyat. Kedua teluk itu dipisahkan oleh sebuah pulau. ?Tak mungkin bercampur,? katanya.
Betulkah masih aman? Penelitian Kementerian Lingkungan Hidup yang digelar September-Oktober 2003 dan hasilnya dipublikasikan pada 2004 menunjukkan bahwa kadar logam berat pada air laut dan ikan memang masih terkendali. Namun, lembaga ini tetap menyarankan warga agar mengurangi konsumsi ikan karena takut logam berat akan terakumulasi di tubuh manusia.
Dan, jangan salah, pencemaran di tingkat endapan lumpur dasar laut (sedimen) sudah mengkhawatirkan. Kadar merkuri dan arsennya di atas 3,5 part per million (ppm) dan 1.831 ppm. Padahal, menurut ketentuan ASEAN, lumpur disebut terpolusi bila mengandung 0,4-350 ppm merkuri dan 50-300 ppm arsen. ?Arsen di Teluk Buyat itu amat terpolusi karena kadarnya enam kali lipat kadar yang diterapkan ASEAN,? ujar P. Raja Siregar, aktivis Walhi yang menyelami kasus Buyat itu selama tiga tahun ini.
Walhi pada 2000 pernah mengirimkan contoh darah dari 20 warga Buyat ke Santa Monica, AS. Ternyata 65 persen warga yang diperiksa memiliki kandungan merkuri di atas ambang aman, dan 95 persen warga tercemar arsen di atas batas aman.
Penelitian itu dikuatkan oleh Markus T. Lasut, peneliti yang kini sedang mengejar gelar doktor di Lembaga Institut Penyakit Minamata, Jepang. Dari pengujian rambut warga pada Februari 2004 lalu, ternyata kandungan merkurinya sekitar 4,14 ppm. Batas amannya adalah di bawah 5 ppm.
?Tapi, jangan terkecoh dengan ambang batas,? Rignolda menukas. Angka aman itu diukur dengan asumsi hanya ada satu jenis logam berat yang meracuni tubuh. Bagaimana bila ada dua atau lebih logam berat? ?Racunnya akan lebih mematikan. Jadi, meskipun masih batas aman, warga sudah benjol-benjol.?
Kini, Newmont berencana menutup tambangnya karena deposit emas sudah habis. Perusahaan yang menurut Bloomberg juga terkena masalah pencemaran di Peru ini sudah mengantongi 1,9 juta troy ounces (sekitar 59 ton) emas. ?Mereka jangan pulang membawa emasnya saja, tapi juga harus membawa lumpurnya juga,? kata Juhriyah, warga Buyat itu, sedih sambil mendekap bayinya yang terkena kudisan sejak enam bulan lalu.
Burhan Sholihin, Dara Meutia Uning, Retno Sulistiyaningsih, Muhamad Fasabeni (TNR), Bobby Gunawan (Bandung), Verrianto Madjowa (Buyat, Minahasa Selatan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini