Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Pak Tjokro, Mantle Hood, dan Cal-Arts

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sumarsam

  • Dosen & Ketua Departemen Musik Wesleyan University, Connecticut, USA

    KI TJOKROWASITO. Nama inilah yang lebih banyak dikenal sebagai empu gamelan dari Kota Yogyakarta itu ketimbang nama terbarunya, K.P.H. Notoprojo. Setelah 12 tahun pensiun, Juli tahun ini Pak Tjokro—panggilan akrabnya—menginjak usia seabad.

    Setelah nganglang jagad dengan grup-grup kesenian Indonesia, pada tahun 1971 beliau memutuskan menetap di Amerika: mengajar gamelan di California Institute of the Arts (Cal-Arts) bersama putri dan menantunya, sampai pensiun tahun 1992. Di Cal-Arts ini beliau bersahabat dengan intelektual musik, komponis, dan guru musik tenar dari segala penjuru dunia, termasuk empu musik Afrika, Kobla Ladzekpo, dari Ghana, komponis Amerika Lou Harrison (almarhum), dan etnomusikolog Nick England (almarhum).

    Awal pengenalan gamelan yang signifikan di Barat adalah tampilnya grup gamelan dan tari Sunda, dengan sisipan repertoar tari Jawa, di Paris Exposition Universelle 1889, kemudian Chicago 1893. Menampilkan gamelan di pameran-pameran dunia selanjutnya menjadi kelaziman. Dalam New York's World Fair 1964, Pak Tjokro tampil bersama penari-penari terkenal seperti Pak Rusman (almarhum)—sang penari Gatutkaca Sriwedari—Sardono W. Kusuma, dan pengrawit Prawata Saputra (almarhum).

    Menjamurnya gamelan di negara Barat, terutama di Amerika Serikat, terjadi karena pada tahun 1960-an di lingkungan akademik muncul gagasan mengenal budaya non-Barat untuk merayakan keanekaragaman budaya dunia. Salah satu pelopornya untuk musik adalah etnomusikolog Amerika yang tenar, Prof. Dr. Mantle Hood. Di institutnya di University of California Los Angeles (UCLA), beliau mengemas program praktek musik dalam konsep "dwi-musikalitas"—mahasiswa harus mengenal dan menghayati praktek musik non-Barat yang dipelajarinya, musik kedua setelah musiknya sendiri.

    Untuk ini, beliau mengadakan latihan-latihan gamelan dan musik non-Barat lainnya. Kegiatan ini dinamakan "performance study group". Lulusan dari program UCLA ini di hari-hari kemudian ia mendapat posisi pengajar etnomusikologi di beberapa universitas di Amerika. Dari situ, sejak awal tahun 1970-an, gamelan mulai menjamur di kawasan Amerika Utara dan negara-negara lainnya. Pada waktu Mantle Hood mengadakan riset di Yogyakarta pada tahun 1957, beliau banyak menimba pengetahuan gamelan dan belajar rebab dari Pak Tjokro.

    Tatkala Mantle menerjemahkan beberapa bagian Serat Pakem Wirama, manuskrip tentang gamelan Keraton Yogyakarta, ia menyerahkan pengecekan terakhir kepada Pak Tjokro. Akhirnya, pada tahun 1971, Pak Tjokro sendiri mulai terlibat langsung dalam pengajaran di kampus. Beliau mengajar gamelan di Cal-Arts, bekerja sama dengan Prof. Robert Brown, salah satu mahasiswa Mantle Hood.

    Biasanya, guru gamelan di kampus Amerika itu tidak terbatas mengajar grup saja, tetapi juga berjam-jam memberi les instrumen depan dan vokal. Sering seorang guru gamelan mengajar di beberapa tempat lain. Juga telah menjadi kelaziman bahwa setiap akhir semester sang guru dituntut mementaskan hasil ajarannya. Dengan mengundang guru gamelan dari tempat lain untuk membantu, sering pentas itu melibatkan tari-tarian, kadang-kadang wayang kulit.

    Di sinilah kadang-kadang guru gamelan merasa mendapat tekanan untuk menghasilkan sesuatu dalam waktu yang singkat, terutama kalau hanya mempunyai satu grup pemula. Apa yang bisa dihasilkan dalam waktu satu semester? Apakah ini bisa dikatakan pendangkalan suatu seni? Mungkin. Kondisi ini pula yang mungkin menyebabkan Pak Tjokro awalnya merasa kecewa memutuskan mengajar di Cal-Arts. Beliau ingin pulang supaya dapat bermain gamelan sewaktu-waktu dengan teman-teman pengrawit sebayanya.

    Tetapi, kalau tujuan pendidikan gamelan di kampus Amerika—seperti dikatakan Mantle Hood—adalah "performance study group", tetap pendidikan yang singkat di kampus itu terasa tinggi manfaatnya. Para mahasiswa yang menabuh gamelan dengan duduk bersila, misalnya, dilarang melangkahi alat musik itu, belajar toleransi di Jawa secara langsung.

    Di Amerika, menurut data terakhir, tercatat lebih dari 100 gamelan Bali, gamelan Jawa, dan Sunda menyebar di 33 negara bagian, dimiliki oleh universitas, institusi non-akademik, dan individual. Muncullah perkembangan-perkembangan baru, di antaranya lahirnya grup gamelan yang tidak berafiliasi dengan program universitas (grup seperti ini bisa menghasilkan suatu pertunjukan yang lebih berbobot, karena keajekan anggotanya). Selama 21 tahun Pak Tjokro mengajar di Cal-Arts, tentunya ribuan mahasiswa telah mengenyam asuhan beliau, dan banyak yang membawa ide-ide gamelan sebagai sangu hidup mereka.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus