Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat alias DPR telah menyetujui tambahan anggaran sebesar Rp 25 miliar untuk Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam APBN 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa dana tambahan ini akan digunakan untuk mendanai kegiatan modifikasi cuaca pada 2025. Rencananya, modifikasi cuaca tersebut akan dilakukan selama 40 hari dengan biaya sebesar Rp 22,09 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Modifikasi cuaca ini diperlukan untuk mencegah dampak bencana hidrometeorologi ekstrem pada tahun 2025," kata Dwikorita dalam rapat rencana kerja anggaran bersama Komisi V DPR, Selasa, 17 September 2024.
Sebagai langkah awal, BMKG akan melakukan pemetaan untuk menentukan wilayah yang membutuhkan modifikasi cuaca. Modifikasi ini nantinya akan melibatkan pesawat yang menebarkan garam di titik-titik tertentu, terutama di wilayah pertanian yang rentan terhadap cuaca ekstrem yang bisa memicu gagal panen.
Meskipun telah menerima tambahan anggaran, Dwikorita mengungkapkan bahwa jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan keseluruhan modifikasi cuaca nasional, yang diperkirakan mencapai Rp 700 miliar.
Bagaimana Sejarah Modifikasi Cuaca?
Dikutip dari sciencehistory.org, gagasan modifikasi cuaca muncul pertama kali pada akhir abad ke-19. Salah satu tokoh penting dalam sejarah awal modifikasi cuaca adalah seorang ilmuwan Amerika, James Pollard Espy seperti dilansir dari berbagai sumber.
Pada 1839, Espy mengajukan teori bahwa pembakaran besar-besaran kayu atau materi lainnya dapat memanaskan udara di atmosfer, sehingga menyebabkan hujan. Meskipun teori ini tidak terbukti efektif, ide tersebut menjadi langkah awal dalam upaya manusia untuk memanipulasi cuaca.
Pada 1891, muncul paten pertama terkait modifikasi cuaca oleh Louis Gathmann, yang mengusulkan penggunaan meriam besar untuk meledakkan bahan peledak di langit guna menciptakan hujan. Meskipun patennya diterima, metode ini juga tidak berhasil dan akhirnya ditinggalkan.
Perang Dunia II Jadi Pendorong Kemunculan Modifikasi Cuaca
Perang Dunia II mempercepat penelitian tentang atmosfer, karena militer menyadari pentingnya cuaca dalam operasi militer. Pada era ini, ilmuwan mulai bereksperimen lebih serius dengan metode untuk mengendalikan hujan dan kabut. Salah satu peristiwa penting adalah penelitian tentang modifikasi awan yang dilakukan oleh Vincent Schaefer dan Irving Langmuir di General Electric Laboratories pada 1946.
Schaefer dan Langmuir berhasil menemukan bahwa penyemaian awan dengan partikel perak iodida atau es kering dapat memicu pembentukan kristal es di dalam awan, yang akhirnya menyebabkan hujan. Penemuan ini dianggap sebagai terobosan besar dan menjadi dasar dari teknologi cloud seeding yang digunakan hingga saat ini.
Modifikasi Cuaca Akomodasi Perang
Modifikasi cuaca tidak hanya digunakan untuk tujuan ilmiah dan sipil, tetapi juga untuk kepentingan militer. Salah satu contoh penggunaan teknologi modifikasi cuaca dalam perang adalah Operation Popeye, yang dilakukan oleh militer Amerika Serikat selama Perang Vietnam pada 1967 hingga 1972.
Operasi ini bertujuan untuk memperpanjang musim hujan di jalur suplai musuh (Ho Chi Minh Trail), guna membuatnya lebih sulit diakses oleh pasukan Vietnam Utara.
Dalam operasi tersebut, pesawat militer menyemai awan di atas jalur dengan bahan kimia seperti perak iodida untuk memicu hujan deras. Meskipun beberapa pihak menganggap operasi ini berhasil memperlambat pasokan musuh, penggunaan teknologi modifikasi cuaca dalam perang memicu kontroversi internasional dan akhirnya dilarang oleh Konvensi PBB melalui Environmental Modification Convention (ENMOD) pada 1977. Konvensi ini melarang penggunaan teknologi modifikasi cuaca untuk tujuan militer atau tindakan permusuhan.
Masyarakat Kontemporer Adopsi Teknologi Modifikasi Cuaca
Setelah Perang Vietnam, teknologi modifikasi cuaca mulai lebih banyak digunakan untuk keperluan sipil, terutama untuk mitigasi bencana alam dan pengelolaan sumber daya air. Negara-negara dengan masalah kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan mulai mengadopsi teknologi ini sebagai bagian dari solusi mereka.
Dikutip dari journals.ametsoc.or, salah satu negara yang secara intensif menggunakan teknologi cloud seeding adalah Tiongkok. Pemerintah Tiongkok memulai program modifikasi cuaca pada akhir 1950-an, dan sejak itu telah berkembang menjadi salah satu program terbesar di dunia.
Pada 2008, menjelang Olimpiade Beijing, pemerintah Tiongkok menggunakan teknologi modifikasi cuaca untuk memastikan cuaca cerah selama acara pembukaan, dengan menyemai awan di sekitarnya agar hujan turun sebelum acara dimulai.
Di Amerika Serikat, modifikasi cuaca digunakan terutama di negara bagian yang sering mengalami kekeringan seperti Texas dan California. Selama beberapa dekade terakhir, teknologi ini juga telah diterapkan di berbagai negara seperti Rusia, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.
Pilihan Editor: Benarkah BMKG Mampu Modifikasi Cuaca, Bagaimana Caranya?