Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bopeng di Tanah Legenda

Keberadaan batuan purba di kawasan Cagar Alam Konservasi Kebumian Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah, terancam. Bergulat dengan penambangan batu dan penggalian batu akik demi kelangsungan ilmu pengetahuan.

6 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewa-dewa asyik membuat sebuah gunung. Tapi pekerjaan itu lantas ditinggalkan. Seseorang telah memergoki mereka. Gunung separuh jadi itu disebut Gunung Wurung (Legenda Gunung Wurung).

Gunung itu berdiri setinggi 100 meter di atas permukaan laut di Desa Karangsambung, Kecamatan Karangsambung, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Wurung atau urung berarti batal. Warga setempat menyematkan nama ini lantaran bentuk bukit itu mirip puncak gunung berapi yang tak utuh.

Memang bukit yang hanya berjarak 19 kilometer dari pusat Kota Kebumen ini seharusnya menjadi gunung berapi. Tapi proses pembentukannya gagal. Intrusi magma di bawah mantel bumi, yang hendak menerobos ke permukaan, keburu membeku karena pengaruh air laut. Proses ini terjadi 140 juta tahun lalu.

Kala itu, kata Defry Hastria, peneliti geologi dari Balai Informasi dan Konservasi Kebumian (BIKK) Karangsambung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Gunung Wurung masih menjadi lantai samudra purba. Naiknya permukaan, pergantian musim, serta pemisahan lempeng tektonik benua Asia-Australia dan Eurasia pada Zaman Kapur Akhir memunculkan Gunung Wurung, atau yang juga dikenal dengan nama Gunung Parang.

Bukan hanya itu, pembekuan intrusi magma juga membentuk banyak jenis batuan purba yang langka. Batu serpentinit, misalnya. Batuan berwarna hitam kehijauan ini terbentuk 60-170 juta tahun lalu. "Sayangnya, penambangan batu oleh warga mengancam keberadaan batuan purba langka tersebut," ujar Defry kepada Tempo saat mengunjungi lokasi, pertengahan Maret lalu.

Alih-alih menggali secara manual, para penambang batu meledakkan bukit untuk membuka lapisan tanah. Ledakan tersebut mampu melemparkan tanah sejauh 20 meter. Setelah tanah terbuka, barulah para penambang mengambil batu pasir dan breksi yang berserakan.

Cara itu memang lebih mudah. Tapi dampaknya sangat besar terhadap batuan purba di Gunung Wurung, yang sejak 2006 resmi masuk Cagar Alam Konservasi Kebumian Karangsambung. Dua lubang besar menganga—sisa-sisa ledakan awal tahun 2000—masih terlihat jelas. Cerukan tanah itu terlihat seperti bopeng di wajah sang gunung.

Menurut Defry, sudah setengah bukit dikepras sejak 1980-an demi membuka penambangan batu. Tujuannya beragam. Salah satunya: mengambil bahan fondasi dan ornamen bangunan. Padahal bukit yang banyak mengandung batuan diabas itu merupakan satu-satunya penambangan di kawasan konservasi ini.

Setelah ditambang, batuan purba itu kemudian diangkut ke pabrik pengolahan batu di Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Di pabrik, jenis batuan dipisahkan. Batu serpentinit dan marmer biasanya digunakan untuk ornamen dinding, batu pasir besar buat fondasi bangunan, batu belah kecil untuk urukan jalan, dan batu kerikil buat bahan campuran cairan aspal.

Pabrik pengolahan batu paling dekat ada di Dusun Tanuraksan, Desa Gemeksekti, Kecamatan Kebumen. "Pabrik ini belum lama didirikan di Kebumen," ucap seorang warga setempat yang enggan disebut namanya. Pria 56 tahun ini salah satu penambang batuan purba di Gunung Wurung.Ekonomi menjadi satu-satunya alasan warga melakukan penambangan. Satu rit truk batuan purba bisa dihargai sampai Rp 600 ribu. Belum lagi batuan jenis serpentinit, marmer, dan rijangan merah, yang cukup langka. Tentunya, menurut pria itu, harganya lebih mahal karena pasar di kota-kota besar cukup menjanjikan.

"Paling sedikit," pria itu berkata, "warga bisa menambang batuan pasir dan breksi sebanyak tiga rit." Jumlah tersebut akan naik seiring dengan permintaan pasar.

Tak hanya di Gunung Wurung, kegiatan penambangan batuan purba juga marak di Desa Totogan, Kecamatan Karangsambung, dan Desa Pucangan, Kecamatan Ambal, Kebumen. Tanah di dua desa ini mengandung batuan purba beragam jenis.

Di Desa Totogan, penambangan batu marmer yang terbentuk akibat tekanan tinggi panas bumi terjadi secara besar-besaran sejak 1990. Sedangkan batuan serpentinit dikeruk tanpa batasan di Desa Pucangan. Dari ketiga lokasi tambang liar ini, para penambang bisa mengangkut batuan purba sampai 10 ton per hari.

Meski Kepolisian Daerah Jawa Tengah sudah memasang garis polisi di tiga wilayah ini sejak tahun lalu, penambang masih main kucing-kucingan dengan aparat penegak hukum. Tiga orang yang sedang menambang batu langsung melarikan diri ketika Tempo dan Mochammad Aziz, pakar geologi dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, menghampiri.

Aziz mengeluh, "Jika begini terus, informasi sejarah kebumian akan hilang." Terlebih kawasan Karansambung juga menjadi laboratorium alam bagi peneliti geologi dari berbagai perguruan tinggi. Selain dari Unsoed, beberapa peneliti geologi dari perguruan tinggi lain sering melakukan studi di wilayah ini. Di antaranya, Institut Teknologi Bandung, Universitas Diponegoro, Semarang; Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; dan Universitas Trisakti, Jakarta.

* * * *

"DI sini yang terkenal, ya, batu akik ginggang dan badar besi," kata Parsono di Sungai Lok Ulo. Sungai ini masuk kawasan konservasi Karangsambung. Pria 35 tahun itu rela datang jauh dari Purwokerto, Jawa Tengah, demi mencari bahan batu akik di Lok Ulo. Harga bahan mentah dua batu tersebut, menurut dia, paling murah Rp 100 ribu.

Dia tidak sendiri. Ahad, 8 Maret lalu, sekitar 80 orang dengan palu di tangan siap mencari dua batu bahan batu akik khas Lok Ulo itu. Sejak batu akik kian ngetren, banyak orang mulai mencari batu di sungai yang membelah Karangsambung ini.

Meski begitu, setidaknya Kepala BIKK Karangsambung LIPI Edi Hidayat bisa sedikit tenang. Sebab, para pencari batu akik berjanji tidak akan mengusik wilayah selain pasir sungai dan tidak akan melakukan penggalian.

Edi makin lega saat LIPI pada Januari lalu mendapatkan tanah hibah berupa Bukit Jati Bungkus seluas 1,3 hektare dari Hilman Pudjowalujo, pakar geologi independen lulusan ITB. Ke depan Karangsambung akan dijadikan taman ilmu pengetahuan geologi.

Dari segi keamanan, Edi mempercayakan sepenuhnya wilayah Karangsambung kepada Polda Jawa Tengah. Di pinggir Kali Brengkok, Desa Sadang Kulon, setelah mengembuskan napas pertanda syukur, dia berujar, "Semoga ke depan Karangsambung tak hanya jadi legenda."

Amri Mahbub, Aris Andriyanto (Kebumen)


Melange Purba Karangsambung

PARA ahli geologi menyebut Cagar Alam Konservasi Kebumian Karangsambung sebagai kawasan mélange—deformasi campuran batuan akibat pergeseran dasar lempeng tektonik benua purba. Proses pertemuan dasar lempeng daratan Asia-Australia-Eurasia ini diperkirakan terjadi 70 juta tahun lalu, bahkan bisa lebih tua. Pertemuan ini menghasilkan pegunungan berbentuk tapal kuda yang disusun oleh batuan breksi hitam dan ragam batuan purba yang tersebar di seluruh kawasan Karangsambung.

1. Batuan Filit (63-138 Juta Tahun) Batuan ini terbentuk selama proses subduksi lempeng benua.
Lokasi: Bukit Sipako

2. Batuan Marmer (30-60 Juta Tahun)
Batuan hasil ubahan batu gamping akibat tekanan panas yang tinggi.
Lokasi: Desa Totogan

3. Batu Pasir dan Breksi (5-23 Juta Tahun)
Batuan hasil sedimentasi.
Lokasi: Perbukitan Melange Lok Ulo

4. Batu Serpentinit (60-170 Juta Tahun)
Terbentuk dari intrusi magma yang membeku.
Lokasi: Gunung Wurung

5. Batu Sekis Mika (117 Juta Tahun)
Batuan metamorf yang mengandung mineral mika.
Lokasi: Kali Brengkok, Desa Sadang Kulon

6. Batu Basal dan Rijang Merah
Basal terbentuk dari lava yang membeku. Rijang merupakan batuan sedimen laut dalam yang mengandung fosil renik Radiolaria.
Lokasi: Kali Muncar, Desa Seboro

7. Batu Akik Ginggang dan Badar Besi
Lokasi: Sungai Lok Ulo

'Kawah Candradimuka' Para Geolog

Cagar Alam Konservasi Kebumian Karangsambung ternyata dikenal para geolog sejak abad ke-19. Adalah R.D.M. Verbeek dan R. Fennema, geolog asal Belanda, yang pertama kali menemukan kawasan ini pada 1881. Seorang geolog Belanda bernama Ch.E.A. Harloff melakukan pemetaan Karangsambung untuk pertama kalinya pada 1933.

Sukendar Asikin, geolog pertama asal Indonesia lulusan Institut Teknologi Bandung, berhasil menguak misteri proses pergerakan lempeng tektonik wilayah ini. Mengutip Sukendar, Kepala Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Edi Hidayat mengatakan, "Karangsambung menjadi kompleks melange atau pertemuan tempat campur aduknya lempeng benua." Setelahnya, banyak penelitian geologi dilakukan di Karangsambung.

Bagi Mochammad Aziz, pakar geologi dari Departemen Geologi Universitas Jenderal Soedirman, Karangsambung sudah menjadi rumah kedua bagi dia dan para mahasiswanya. "Setahun sekali kami kuliah lapangan dan menetap di sini," ucapnya. Menurut dia, tak cukup sehari menghabiskan waktu di wilayah seluas 22 ribu hektare yang meliputi tiga kabupaten ini, yakni Kebumen, Banjarnegara, dan Wonosobo.

Emmy Suparka, pakar geologi dan pengajar di ITB, amat menyanjung Karangsambung. Musababnya, "Wilayah ini memiliki batuan purba paling lengkap se-Indonesia." Maklum jika banyak perguruan tinggi menjadikan Karangsambung sebagai "kawah candradimuka"-nya ilmu geologi karena memang batuan di wilayah ini—umumnya memiliki umur 40-170 juta tahun—disebut dapat mengungkap sejarah kebumian Nusantara bahkan dunia. l AMB, AAY

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus