Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir sepanjang tiga dekade setelah Perang Dunia II, seni rupa dibombardir oleh munculnya karya pop art. Jejak pop art, tak syak, juga menggema pada banyak perupa muda kita. Adalah menarik Museum Mumok di Wina, Austria, sejak 12 Februari sampai 13 September 2015, menyelenggarakan pameran retrospeksi pop art, yang diberi judul "Ludwig Goes Pop". Semua karya pop art yang dipamerkan di museum yang arsitekturnya mirip boks hitam dengan gradasi abu-abu ini merupakan koleksi Museum Ludwig milik Peter dan Irene Ludwig ketika pop art belum berbunyi di Eropa.
Pada masa setelah Perang Dunia II, publik seni di Eropa mungkin memiliki pandangan tersendiri tentang kehadiran pop art di Inggris (melalui gerakan The Independent Group, 1954) dan di Amerika Serikat, sebagai pihak yang memenangi perang. Gerakan seni rupa kontemporer di Eropa selalu berkaitan dengan reaksi terhadap Perang Dunia. Gerakan avant-garde, misalnya, berkaitan dengan masa Perang Dunia I. Di Wina sendiri (Gustav Klimt) dan Berlin (Max Liebermann) sudah dimulai gerakan pendobrakan kemapanan nilai-nilai seni melalui Secession pada akhir abad ke-19.
Pintu masuk pameran ditutup oleh jelujuran tirai plastik yang menggambarkan potongan-potongan kendaraan lapis baja, seolah-olah kita memang sedang memasuki sebuah medan perang dalam dunia pop art. Pameran ini dikuratori Susanne Neuburger. Karya Andy Warhol, Campbell's Soup Can I (1968), tetap merupakan ikon penting dalam pameran. Terutama karena karya ini paling jelas menyatakan muatan pop art: satu rasa untuk semua orang. Sebagaimana dengan bahasa representasi yang dibawa produk-produk konsumsi.
Cukup banyak karya Warhol yang dipamerkan, di antaranya Mick (1975), Flowers (1970), dan Portrait Peter Ludwig (1980), yang merupakan sosok kolektor terpentingnya dari Museum Ludwig. Karya itu dengan tegas menjalankan prinsip penggandaan ataupun repetisi dari dunia industri. Dilakukan dengan variasi warna-warna spotlight warna dasar. Kompleksitas karya yang umumnya terpusat pada satu bidang karya diperbanyak ke bidang lain yang berdiri sendiri-sendiri, tapi sebagai satu bagian karya. The Red Horseman (1974), karya Roy Lichtenstein (Amerika, 1929), masih memperlihatkan kompleksitas bentuk dengan teknik repetisi kubistik geometri dan gradasi titik yang berlapis pada bentuk joki menunggangi kuda. Gerak kuda dimunculkan melalui repetisi bentuknya, seperti animasi dalam super-eksposenya.
ABC Minors (1955) merupakan karya paling tua yang dipamerkan-hasil garapan seniman Inggris, Peter Blake (1932). Karyanya masih menggunakan teknik melukis dengan sosok dua lelaki mengenakan jas, dihiasi logo-logo pin, tapi mengenakan celana pendek dengan latar belahan hijau dan putih. Sedangkan koleksi paling baru adalah karya Le Menage Moderne (BNCA Promotional Loop), Stage Sculpture 1-Yacht Piano Hull. Karya ini merupakan instalasi kotak akrilik hitam dengan peti mati di atasnya dan tiga layar LCD. Instalasi ini menyerupai ruang tunggu (untuk mati). Karya ini menjadi bagian tema Villa Design Group di pameran.
Tema keluarga menjadi bagian tersendiri dari pop art, yang menggambarkan kehidupan dalam rumah. Tema ini muncul pada karya seniman Prancis, Marisol (1930), La Visita (1964); Great American Nude No. 54 (1964) karya Tom Wasselmann (Amerika, 1931); dan Self Portrait with Blue Guitar (1977) karya David Hockney (Inggris, 1937). Manusia telah menjadi hewan tersendiri yang hidup dalam rumah. Karya Marisol menggunakan patung untuk lukisan dua dimensi. Adapun karya Tom Wasselmann menghadirkan situasi dalam rumah dengan bentuk koper terbuka. Mencampur antara bidang dua dan tiga dimensi, seperti alat pemanas, meja, dan kursi, dari produk sungguhan yang dihadirkan ke dalam karya.
Representasi yang dihadirkan sebagai presentasi (realisme yang khas dibawa pop art) tampak pada karya-karya Duane Hanson (Amerika, 1925), Football Vignette (1969) dan Bowery Burms (1969), ataupun karya John de Andrea (Amerika, 1941), Woman on Bed (1974), yang menggunakan media patung. Kita sulit membedakan karya mereka sebagai karya seni atau sebagai kenyataan karena kemampuan pabrik dengan teknik cetak yang sempurna untuk "membekukan kenyataan".
Saya melihat pop art mengolah kembali realitas untuk melihat kembali realitas yang dibawa televisi, iklan, film, fotografi, komik, ataupun media massa cetak. Dalam pop art, seni selalu menggunakan produk-produk budaya yang dikenal luas dan mengkritiknya. Jejak seperti ini masih bisa diikuti pada karya Robert Rauschenberg (Amerika, 1925), Axle (1964). Ini karya kolase jurnalisme dengan wajah Kennedy di dalamnya. Atau pada karya-karya komik dari Roy Lichtenstein (Amerika, 1929) dalam bidang besar.
Karya Claes Oldenburg (Stockholm, 1929), Mouse Museum (1965-1977), memiliki dasar lebih kuat untuk memahami pop art ataupun produk-produk industri. Karya ini berbentuk bangunan geometri-Mickey Mouse dinding hitam bergelombang. Di dalamnya terdapat susunan rak berisi 385 obyek dari berbagai produk mainan anak ataupun suvenir yang dikumpulkannya lebih dari 10 tahun. Obyek-obyek ini disusun seperti arsip dalam museum, dibekukan dari waktu komoditasnya.
Sedangkan karya Jim Dine (Amerika, 1935), Six Big Saws (1962), menyajikan empat bidang yang memperlihatkan metamorfosis gergaji (lambang industri) sebagai pola, gergaji sungguhan, hingga gergaji sebagai representasi dalam bidang lukisan. Masih banyak karya lain dipamerkan, di antaranya karya James Rosenquist, Yayoi Kusama, Mimmo Rotelia, Bazon Brock, Robert Indiana, George Segal, dan Jasper Johns.
Konteks yang berbeda antara Eropa dan Amerika setelah Perang Dunia II membuat kehadiran pop art di Eropa memang tidak senyaring di Amerika. Menurut kurator pameran Susanne Neuburger, istilah pop art mulai berbunyi di Eropa melalui pameran Biennale (1964) dan Documenta 4 di Kassel (1968).
Pameran ini meninggalkan jejak bagaimana pop art bergerak sebagai refleksi dunia konsumsi ataupun pada cara-cara kita memahami kenyataan di sekitar kita. Pop art merupakan titik kritis pada cara-cara kita membaca sejarah dan dunia material yang membentuk realitas. Saya melihat pop art adalah renungan atas tragedi industri modern yang menampilkan "satu rasa untuk semua-aku". Dalam pop art, perang masih berlanjut, tak hanya berhenti di Perang Dunia II, tapi sekarang dalam konteks kapitalisme global.
Afrizal Malna, pengamat seni (Wina)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo