Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NIAT Taufiequrachman Ruki meninjau kewenangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang bukan polisi dan jaksa akan semakin melemahkan lembaga itu. Jika pelaksana tugas pemimpin komisi antirasuah itu mencopot kewenangan penyidik independen memeriksa tersangka, ia segera dicatat sebagai pemimpin pertama Komisi yang membukukan dua kekalahan telak dalam waktu singkat. Yang pertama terjadi setelah Ruki menyerahkan penyidikan korupsi Komisaris Jenderal Budi Gunawan kepada kejaksaan.
Langkah Ruki itu seolah-olah mengikuti "irama" Markas Besar Kepolisian RI yang terkesan sangat melindungi Budi Gunawan. Para pengacara Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian itu mempersoalkan status para penyidik mantan polisi dan penyidik yang terjaring lewat program Indonesia Memanggil pada 2013. Alasannya, Pasal 6 ayat 1-a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana membatasi penyidik hanya "pejabat polisi Negara Republik Indonesia".
Dalih seperti ini seolah-olah membenarkan alasan Ruki yang menganggap anak buahnya itu bermasalah secara hukum lantaran hanya dikukuhkan keputusan pimpinan KPK era Abraham Samad. Padahal pandangan Ruki bertolak belakang dengan pasal KUHAP yang lain, yakni pasal 6 ayat 1-b, yang menyebutkan penyidik bisa pula direkrut dari "pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang".
Undang-undang khusus yang dimaksudkan itu adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mandat dan kewenangan penyidik pun sudah terang-benderang disebutkan. Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 memperkuat kedudukan hukum penyidik yang bekerja di Komisi. Pasal 45 ayat 1 dan 2 mencantumkan, penyidik KPK diangkat dan diberhentikan oleh KPK dan melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.
Artinya, dari mana pun asal instansinya, undang-undang menjamin dan melindungi kewenangan penyidik Komisi memeriksa tersangka tindak pidana korupsi. Tak ada alasan yang dapat dipakai untuk mengatakan kedudukan hukum penyidik KPK, termasuk yang berasal dari luar organisasi kepolisian atau kejaksaan, tergolong lemah.
Penyidik KPK dari luar kepolisian dan kejaksaan hadir setelah komisi antikorupsi dibentuk pada 2002. Mereka melengkapi penyidik polisi dan jaksa yang mendapat penugasan dua instansi itu untuk membantu Komisi. Sekarang KPK diperkuat 90 penyidik. Sebelas merupakan bekas polisi yang memilih bertahan setelah masa penugasannya habis, 26 penyidik direkrut melalui program Indonesia Memanggil, sementara sisanya polisi dan jaksa aktif.
Jumlah penyidik KPK itu sungguh terlalu sedikit dibandingkan dengan begitu banyaknya kasus korupsi. Para pemimpin Komisi, terutama Ruki, seharusnya memprioritaskan rekrutmen penyidik ini. Bahkan, dengan tenaga yang memadai, KPK kelak bisa diharapkan "membantu" kepolisian dan kejaksaan membersihkan diri dari pandangan umum sebagai instansi korup.
Ketimbang mempersoalkan para penyidik yang menjadi tulang punggung Komisi, Ruki dan pemimpin KPK lainnya lebih baik memberi prioritas pada penanganan 36 kasus korupsi yang memasuki tahap penyidikan. Dengan masa tugas singkat—akan berakhir Desember—dan jumlah penyidik terbatas, sangat tak elok pemimpin sementara Komisi itu malah mempersoalkan status hukum penyidiknya, yang sesungguhnya sudah kuat karena dijamin undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo