HURUF bercat merah bertuliskan "Di bawah pengawasan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor" masih tergores di dinding vila-vila seharga sekitar Rp 200 juta itu. Suasana di situ, di Bukit Garden, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, sepi pada pertengahan minggu. Cuma ada penjaga yang menghardik setiap orang yang masuk di kawasan yang luasnya sekitar 44 hektar tersebut. Sekitar 30 pekerja terlihat tersebar di pekarangan menanam berbagai pohon. Kabarnya, ada 6 ribuan pohon alpukat, kayu manis, cemara, dan flamboyan sedang ditanam di situ: Di akhir minggu, beberapa pemilik vila yang disegel itu masih menikmati hari libur di kawasan yang beberapa pekan terakhir ini dihebohkan lagi itu. Konon, ada semacam kesepakatan bahwa 16 vila yang kena segel itu boleh dimanfaatkan, asal tidak menambah bangunan baru atau merampungkan pembangunan yang terhenti karena Operasi Wibawapraja. Tahun lalu, operasi penertiban kawasan Puncak ini telah unjuk gigi dengan menghancurkan dua vila yang hampir rampung, (TEMPO, 1 Juni 1985). Kedua vila yang digasak Wibawapraja itu pernah dicoba dibangun kembali, tapi tercium oleh tim penertiban. "Akibatnya, kami kena gusur lagi sampai 3 kali," ujar Oom Yap alias Hardja Samudera, 48, Manajer Lapangan PT Bukit Garden. Rencananya untuk membangun 120 vila berantakan ketika Keppres 48/1983 tentang penanganan khusus kawasan Puncak diperkuat dengan Keppres 79/1985 yang mempertegas RUTR (rencana umum tata ruang) daerah itu. Bukit Garden tertimpa musibah karena bukan saja vilanya tak mempunyai IMB (izin mendirikan bangunan), tapi juga tak mempunyai SITU (surat izin tempat usaha). Heboh kemudian timbul tatkala tersiar berita bahwa Bukit Garden, 19 Februari lalu, mendapat rekomendasi Wakil Gubernur Jawa Barat Suhud W.P. yang menyatakan tidak keberatan bagi kelanjutan pembangunannya. Ternyata, hal itu tidak benar. Rekomendasi tersebut, menurut Suhud W.P., yang juga Ketua TAT (tim asistensi teknik) Pengendalian Tata Ruang Kawasan Puncak, "bukan untuk Bukit Garden, tapi untuk Bupati Bogor." Menurut Suhud, rekomendasi ini justru merupakan penjabaran kedua Keppres, -- bab menurut RUTR, Bukit Garden termasuk kawasan budi daya pertanian. "Bagi saya selaku Ketua TAT provinsi kawasan itu boleh saja dibangun asal tidak mengubah fungsi kawasan itu." Dalam rekomendasi memang disebutkan luas kapling di kompleks Bukit Garden minimal 2.000 m2 dan KDB (koefisien dasar bangunan) tak boleh melebihi 10%. Setiap lahan yang terbuka harus ditanami pohon yang bersifat lindung dan hanya boleh dibangun 18 vila saja berikut sebuah kantor. "Tentu saja," ujar Suhud lagi, "Bupati pun punya persyaratan-persyaratan lain yang lebih mendetail." Izin usaha, lokasi, dan IMB adalah Bupati yang berwenang memberinya. Bupati Bogor Soedardjat Nataatmadja membenarkan, "Rekomendasi itu memang cuma petunjuk dalam memberi izin," Selintas, memang tampak ada perbedaan, tapi seperti yang dikatakan Soedardjat, Suhud berpijak pada RUTR yang ada dalam Keppres 79/1985, yang juga telah membuat peta tata ruang jalur Jakarta-Bogor-Puncak. Meskipun sudah ada rekomendasi 19 Februari, Bukit Garden tetap belum bisa dibangun. "Jangankan IMB, izin lokasi saja mereka tak punya," tutur Soedardjat. Tindakan tegas ini, menurut Suhud dan Soedardjat, sebetulnya bukan hanya pada PT Bukit Garden. Tapi tampaknya karena "kegigihan" si pemilik, yaitu 7 kali dipanggil Bupati tanpa menggubris, terpaksa Bukit Garden yang dihantam. "Ternyata, ada dampaknya," ujar Soedardjat. Dengan kesadaran sendiri, banyak yang menghentikan pembangunan bahkan membongkar sendiri bangunan yang tak memenuhi syarat perizinan. Apakah Operasi Wibawapraja akan berhenti? "Tidak," kata Soedardjat tegas. "Kesulitan utama adalah soal dana," ujarnya lagi. Selama ini, anggaran penertiban kawasan Puncak cuma dibebankan pada APBD. Untuk menggusur dua vila di Bukit Garden saja dihabiskan biaya Rp 2 juta. Belum lagi penempelan kartu-kartu. Hasil Operasi Wibawapraja: bangunan yang terkena kartu biru (yang masih dipermasalahkan lokasi dan perizinannya) tercatat 2.764 bangunan. Sedangkan yang mendapat kartu putih (lokasi bangunan tidak menyalahi tata ruang tapi prosedur perizinan belum beres) ada 1.133 buah. Pengecekan lewat kartu ini memakan biaya Rp 5 juta, dilakukan dalam waktu dua bulan dengan mengerahkan 32 personil. Padahal, Wibawapraja baru menangani satu desa, dari 200 desa yang ada di Kecamatan Cisarua. Soedardjat menganggap Cisarua kecamatan yang terparah dari 1 kecamatan yang nantinya juga harus ditertibkan. Cisarua, dengan penduduk 65 ribu jiwa, mempunyai 27 ribu bangunan, 5 persen di antaranya vila mewah. Kecamatan yang mempunyai ketinggian 500-1.200 meter di atas permukaan laut ini mempunyai 300 mata air yang antara lain mengalirkan air Sungai Cisadane dan Ciliwung. Jadi, kalau kawasan Puncak terganggu, akibatnya akan merembet ke Jakarta dan kota sekitarnya. Menteri Negara KLH Emil Salim, yang bertindak sebagai koordinator antar departemen masalah ini, pernah mengumpamakan: pada Jakarta-Puncak berlaku hukum bejana berhubungan. Kalau Puncak tak bisa menyimpan air, akan merembeslah air laut ke perut Kota Jakarta. "Karena itu, kami merancangkan RUTR untuk tahun 2004, seperti dalam peta," ujar Ir. Rachmat Wiradisuria, Asisten 11 Menteri Negara KLH. Apalagi alur Jakarta-Puncak kini menjadi proyek percontohan penanganan masalah lingkungan oleh UNEP/PBB, di samping Bostfana di Afrika Timur, Yordania, dan Peru. Kini, sedang ditunggu RDTR (rencana detail tata ruang), "sehingga bisa memperkuat Perda dalam menindak yang salah tertib," ujar Rachmat. Rencananya, RDTR ini rampung 17 April depan. TK Laporan Hasan Syukur (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini