KLINIK yang menghimpun para dokter spesialis tengah laris. Di Jakarta saja kini tercatat sedikitnya 20 klinik seperti itu. Dan Sabtu pekan lalu, jumlah itu bertambah satu lagi dengan dibukanya Klinik IDI Iskandarsyah, yang terletak di Jalan Iskandarsyah, Jakarta Selatan. Klinik ini boleh jadi lebih istimewa. Bukan saja karena ia bermarkas di sebuah gedung mentereng berlantai tiga, beberapa meter saja dari Pasaraya Sarinah Jaya yang terkenal itu. Tapi, terutama karena ini klinik pertama yang dikelola langsung oleh IDI (Ikatan Dokter Indonesia), organisasi resmi para dokter yang berdiri sejak 36 tahun lalu. IDI mulai terjun ke bisnis dan : hendak menyaingi klinik spesialis lain? Sepintas, tudingan seperti itu memang mau tak mau terarah kepada organisasi terhormat ini. Bisa dimaklumi. Sebab, bekerja sama dengan, lCCl, sebuah grup kontraktor yang dulu pernah mengerjakan sejumlah proyek sipil di Arab Saudi, klinik baru ini tampil meyakinkan: dengan peralatan serba baru dan dijaga oleh 24 dokter (12 di antaranya dokter spesialis) serta puluhan tenaga paramedis. Adalah ICCI, pemilik gedung, itu yang memberi mereka sebagian ruangan di lantai satu, lengkap dengan peralatan praktek. Antara lain alat-alat ronsen serta laboratorium, dan sebuah mobil ambulans yang semuanya bernilai sekitar Rp 100 juta. Seluruhnya ada 11 ruangan praktek di klinik itu, di antaranya satu unit gawat darurat yang buka 24 jam. Toh, ada kesan, memang, bahwa berobat di klinik ini, yang kalau sukses nanti akan dikembangkan di pelbagai daerah, tetap mahal, seperti klinik spesialis lainnya. Tapi, ini cepat dibantah oleh Dokter Baharoedin Ildren, 40, direktur klinik itu. "Kami tidak menekankan segi komersial, karena kami menyandang nama IDI," katanya. Ia menyatakan ancer-ancer biaya sekali berobat di klinik itu Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per orang. Tarif ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan tarif dokter spesialis yang bcrgerak sekitar Rp 7.500 sampai Rp 15.000. Selain katanya tak melulu komersial ada satu hal baru yang diemban klinik itu yang pemakaiannya diresmikan oleh Ketua Umum IDI Pusat, Dokter Kartono Mohamad. Yakni, mereka akan menjadi model atau contoh bagi klinik atau rumah sakit lain dalam memberikan waktu konsultasi yang lebih banyak kepada pasiennya. Prinsip ini sudah digariskan IDI, dan mutlak harus dijalankan oleh Klinik IDI Iskandarsyah. Sebab, seperti kata Dokter Kartono, belakangan ini ada kecenderungan sejumlah dokter, terutama yang banyak pasiennya, mengabaikan segi komunikasi dengan pasien itu. "Pasien dianggap sebagai nomor dan tidak diberi kesempatan yang cukup untuk mengutarakan semua keluhannya," kata Kartono. Kartono lalu mengutip sebuah penelitian di luar negeri, yang menyimpulkan bahwa sekitar 80% pasien yang datang ke praktek dokter sebenarnya tidak memerlukan obat. Nah, berpatokan hasil penelitian itu, dan melihat kecenderungan yang banyak terjadi di sini belakangan ini, IDI, katanya, ingin mengajak para dokter meningkatkan peran konsultasi tadi. Banyak dokter setuju. Malah Budhiarti Darodjatoen, dokter mata, yang ikut bergabung dengan Klinik IDI, bisa memperkirakan berdasarkan pengalamannya hanya 25% sebenarnya penyakit pasien yang diobati dengan obat, 75% lainnya dengan sugesti. Tapi, bukan rahasia lagi, hal itu terpaksa diabaikan terutama para dokter yang laris dan banyak pasiennya, karena, "Bagaimana saya bisa melayani satu-dua pasien lama-lama, kalau di luar puluhan pasien lain menunggu?" kata seorang dokter ternama yang punya banyak pasien di Jakarta. Ia mengakui apa yang direncanakan klinik IDI itu "sangat terpuji". Tapi, ia tetap ragu, jika Klinik IDI ramai nanti, apakah waktu konsultasi masih bisa banyak diberikan kepada pasien. Marah Sakti Laporan Yusroni Hendridewanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini