MADRASAH memang tak berbeda dengan sekolah umum. Di waktu istirahat murid-murid sekolah agama ini pun ramai, bercanda sebagaimana umumnya remaja. Bila ada yang lain dibandingkan dengan sekolah umum, adalah para siswinya yang berkerudung. Tapi bukan karena itu bila baru-baru ini Menteri Agama H. Munawir Sjadzali menilai lulusan madrasah kurang berbobot pengetahuan agamanya. Yakni, bila mereka diharapkan -- lewat institut agama Islam -- menjadi "ilmuwan agama Islam". Munawir, memang lulusan aliyah (madrasah setingkat SMA) di Solo, lalu menunjuk perubahan kurikulum madrasah pada 1975 sebagai musabab menurunnya bobot itu. Pada tahun yang ditunjuk oleh Menteri Agama, lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Agama, P & K, dan Dalam Negeri), ijazah madrasah disamakan dengan ijazah sekolah umum. Konsekuensinya, komposisi kurikulum pun diubah. Yaitu, dari 70% pelajaran agama dan 30% umum, dibalik: hanya 30% yang agama. "Waktu itu belum dirasakan dampak negatifnya," kata Munawir pula. "Dan dari satu segi, memang perubahan itu menguntungkan." Dahulu, menjelang diubahnya kurikulum madrasah, diskusi yang agak ramai berkisar pada: perlukah madrasah disamakan dengan sekolah umum. Akhirnya disimpulkan bahwa para ulama memang muncul dari madrasah, tapi tak perlu semua lulusan madrasah jadi ahli agama. Dan memang tak terdengar nada, keberatan yang serius dari pihak madrasah sendiri. Bahkan, pada umumnya, menyambutnya dengan senang. Alasannya, lulusan madrasah kemudian punya kesempatan yang sama dengan lulusan SMA untuk menjadi apa saja. Lebih dari itu semua, tampaknya ada sikap sosial yang bergeser dalam memandang madrasah. Dari angket kecil-kecilan yang disebarkan tahun lalu oleh Maski, Kepala SMP Islam Al-Hidayah yang menjadi guru di beberapa madrasah di Jakarta, diketahui para orangtualah yang berperan dalam memilih madrasah sebagai tempat menuntut ilmu. Dan itu bukan karena para orangtua tersebut mengharapkan anaknya jadi ulama. Tapi, dengan pelajaran agama yang memang lebih dibandingkan dengan sekolah umum, madrasah bisa menjadi semacam penangkal kenakalan anak-anak dan remaja. Dan 30% pelajaran agama sudah dianggap cukup. Bahkan para murid itu sendiri, tampaknya begitu. Sumiati, murid Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) Negeri Bekasi, Jawa Barat, misalnya. "Sewaktu di SD saya sering baca di koran murid SMP sering berkelahi, maka saya memilih masuk madrasah," tuturnya kepada Erlina Agus dari TEMPO. Tentang kesenangan berkelahi, Sumiati memang salah duga. Murid madrasah pun tak lebih alim, tapi "lebih bisa menahan diri, mungkin karena lebih banyak mendapatkan pelajaran agama." Benar atau salah alasan cewek Bekasi itu, yang jelas ia tak masuk madrasah dengan tujuan jadi ulama. Ia sudah merencanakan setelah lulus dari tsanawiyah akan masuk SMEA atau SPG. Dan agaknya, sikap sebagian besar sekitar 6.500 madrasah tingkat SMP dan SMA, negeri dan swasta, di seluruh Indonesia, tak jauh berbeda dengan sikap Sumiati. Bisa dimengerti bila perubahan kurikulum madrasah pada 1975 tak begitu dipersoalkan. A. Syadali, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, umpamanya, membenarkan bahwa keluaran madrasah model kurikulum 1975 "pengetahuan agamanya tak seperti yang diharapkan." Tapi, katanya, "tentu masih memenuhi syarat ketimbang lulusan sekolah umum," tambah rektor yang 70% mahasiswanya datang dari madrasah ini. Bagi Syadali, susahnya lahir ulama dari IAIN lebih karena kurikulum institut ini sendiri, dan kualitas dosen. Adapun Menteri Agama, tentulah punya alasannya sendiri. "Dengan bibit dari madrasah model sekarang, sulit dalam waktu 5 tahun dicetak ilmuwan agama Islam," katanya kepada Suhardjo dari TEMPO. Buktinya, pihak Departemen Agama merasa susah mencari hakim agama. Lulusan madrasah yang kurang pengetahuan agamanya itu, setelah lulus dari IAIN, ternyata juga segi agamanya kurang cukup, kata Munawir. Tapi Menteri Agama lalu tak bermaksud mengubah kurikulum madrasah, mengembalikannya ke masa sebelum SKB Tiga Menteri -- seperti dikabarkan sementara surat kabar. "Madrasah model sekarang jalan terus," kata Menteri. "Madrasah gaya baru dengan model lama hanya akan diadakan beberapa saja." Dan dari madrasah gaya lama inilah diharapkan IAIN memperoleh mahasiswa yang berbobot. Juga dari situ diharapkan lahir ulama-ulama. Dengan tetap tidak menutup kesempatan bagi lulusan madrasah dengan kurikulum SKB Tiga Menteri masuk IAIN. Yang belum jelas, apakah madrasah baru tapi lama itu berupa sekolah yang sama sekali baru, atau beberapa dari madrasah yang sudah ada, kurikulumnya diubah. Soalnya, menurut Ghafar Rahman, Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif Jawa Timur, di beberapa kota Jawa Timur -- Tuban dan Bondowoso, juga Kediri -- madrasah dengan porsi pelajaran agama lebih besar masih ada. Jawab Menteri, "Dalam waktu singkat akan diputuskan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini