PEMBUAT skripsi pesanan dan pemesan tak cuma bisa dikenai sanksi administratif. Tapi bisa juga diseret ke pengadilan, kata Lili Rasjidi, S.H. dalam diskusi sehari di Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Senin pekan ini. Untuk menjawab dan menanggulangi pembajakan skripsi dan skripsi aspal yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan -- Unpad membuka diskusi ini. Pertemuan yang dinyatakan tertutup ini agaknya punya dasar kuat Pertama, Unpadlah yang di tahun 1960-an menyoal perlunya calon sarjana membuat skripsi. Kedua, memang di Bandunglah rasanya skripsi aspal paling ramai dibincangkan (TEMPO, 22 Maret). Tampil lima pembicara dalam diskusi di lantai III gedung baru Unpad, yang dihadiri oleh sekitar 150 orang -- dosen, mahasiswa, dan beberapa pejabat tinggi di Unpad sendin. Ada pembicara yang menceritakan soal persepsi mahasiswa terhadap kewajiban menulis skripsi. Tentang cara penanggulangan skripsi asal jadi, dan juga tentang budaya jalan pintas di perguruan tinggi. Yang paling menarik, tampaknya, dua topik. Variabel akademis yang memberikan peluang penipuan isi skripsi, makalah Jalaluddin Rachmat. Dan aspek hukum pemalsuan skripsi dan skripsi aspal, yang dikemukakan oleh Lili Rasjidi. Jalaluddin ternyata lebih menyerang dosen daripada mahasiswa. Bila dosen hanya menganjurkan mahasiswa untuk merekam dan menghafal yang dikuliahkannya, dan pembeoan lebih dihargai daripada hasil pikiran mahasiswa sendiri, jangan menuntut yang bukan-bukan bila mahasiswa akhirnya memilih jalan pintas. Salah satunya, menjadi pembajak skripsi, atau memesan saja skripsi kepada orang lain dengan membayar. Pokoknya, Jalaluddin mengemukakan contoh di kampus yang memberikan tata nilai miring kepada mahasiswa. Antara lain bila ada dosen tanpa prestasi punya kedudukan menentukan, ini memberikan standar perilaku yang salah kepada mahasiswa. "Bisa saja kemudian mahasiswa menganggap yang penting bukan substansi tapi bentuk, bukan prestasi akademis tapi pangkat," katanya. Dan akhirnya yang penting gelar sarjana, tak peduli bagaimana pangkat itu diperoleh. Didi Atmadilaga, guru besar Fakultas Peternakan Unpad, mengkritik habis prosedur penyusunan skripsi. Dengan metode yang persis sama, bisa dilahirkan berbagai jenis skripsi dengan topik berbeda, kata Didi. "Cara ini ibarat orang menjahitkan baju, tinggal menyerahkan bahan, patronnya sudah ada," kata Didi. Ini akibat yang didiskusikan pertama kali oleh kandidat (calon sarjana) dan dosen pembimbingnya adalah pemilihan judul, tapi bukan masalahnya. Yang teramai kemudian memang aspek hukum pcmbajakan dan pemesanan skripsi. Lili Rasjidi menyatakan Undang-Undang Hak Cipta 1982 punya peran besar dalam hal ini. Sebab, begitu lahir, skripsi dan karya ilmiah yang lain sudah merupakan kesatuan nyata yang bisa diperbanyak, dalam bentuk buku atau lainnya. Maka, skripsi termasuk karya yang dilindungi hak cipta secara otomatis begitu karya ini ada -- tanpa harus didaftarkan ke Departemen Kehakiman. Itu sebabnya perlu dicantumkan nama penulis skripsi secara jelas. Itu sebabnya pembajakan skripsi bisa dianggap sebagai pelanggaran moral dan salah satu bentuk kejahatan yang bisa diperkarakan. Tapi, memang, sifat perkara ini delik aduan. Maksudnya, tanpa ada pengaduan dari pihak yang dirugikan -- entah penulisnya sendiri atau ahli warisnya -- tindakan hukum tak bisa dilakukan. Dan kepada siapa harus dilaporkan kejahatan moral ini? "Kepada polisi," kata Lili. Maka, sebenarnya pihak perguruan tinggi bisa mengadakan tindakan represif. Dengan dasar Undang-Undang Hak Cipta itu rektor, dirjen, terlebih lagi menteri bisa menurunkan surat keputusan. Umpamanya mengancam mahasiswa yang skripsinya palsu untuk dikeluarkan. Atau bila telanjur lulus, untuk dicabut gelarnya. Lalu bagaimana dengan skripsi pesanan? Dalam hal ini UU Hak Cipta memang tak bicara. Yang bisa dijadikan landasan hukum adalah KUHP, persisnya pasal 380 KUHP. Yakni tentang mereka yang memasang tanda atau nama palsu atau memalsukan tanda atau nama asli pada karya sastra dan seni, dan karya ilmiah. Mereka bisa dituntut hukuman kurungan maksimal dua tahun delapan bulan. Dan pasal itu tak cuma bisa dikenakan kepada yang membuatkan skripsi, tapi juga pemesannya. Dan tingkat kesalahan mereka sama. Jadi, harap awas, tak cuma tindakan administratif yang bisa dijatuhkan kepada mahasiswa yang memesan dan dosen yang membuatkan skripsi. Diakui oleh Lili, contoh perkara skripsi aspal sampai di pengadilan memang be lum ada. Sebab, bila terjadi, biasanya cukup dengan tindakan administratif itu. Jadi, siapa akan memulai? Bambang Bujono Laporan Safiq Basri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini