Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EVI Nurul Ihsan kecewa. Petugas pengawas dan pemantau dari World Wildlife Fund ini tengah mengamati kondisi terumbu karang di perairan Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Hanya, ia tak menemukan terumbu karang yang diharapkan, apalagi ikan. "Sepertinya di sini bekas dibom," kata Evi, 24 tahun, setelah kembali ke perahu selepas menyelam dua pekan lalu.
Menggunakan perahu motor tempel yang diberi nama Simba, Evi dan lima anggota timnya lantas berpindah ke lokasi lain. Dari tiga titik yang telah ia pantau, kondisinya sama saja. Yang ada hanyalah hamparan pasir luas tanpa terumbu karang. Begitu pula di lokasi berikutnya walau mereka sudah menyelam hingga kedalaman lima meter.
Risfandi, dosen di Universitas Haluoleo, Kendari, yang tergabung dalam tim, membenarkan kondisi memprihatinkan itu. Banyak terumbu karang yang hancur. Meski begitu, Risfandi merasa sedikit terhibur saat melihat adanya pemulihan koloni secara alami di beberapa lokasi. "Beberapa koloni terumbu karang jenis acropora berhasil membentuk gundukan," katanya.
Acropora biasanya tumbuh di perairan jernih dan di lokasi terjadinya pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya bercabang dan tergolong jenis karang yang cepat tumbuh. Hanya, jenis terumbu karang ini sangat rentan terhadap sedimentasi dan aktivitas penangkapan ikan. Akibatnya mudah rusak dan mati.
Sekitar 50 kilometer ke arah utara dari lokasi Evi dan timnya, Taufik Abdillah, 26 tahun, menemukan pemandangan tak jauh berbeda. Mereka banyak menemukan patahan karang. Bedanya, di lokasi pemantauan Taufik ini pemulihan alami sudah cukup masif. Ikan besar pun relatif lebih mudah dijumpai. "Ikan besarnya paling banyak di antara titik-titik yang sudah kami pantau," ucap Taufik.
Erlangga Diga dan Irwan Hermawan, dua anggota tim pimpinan Taufik, bahkan berhasil memanggil ikan dengan melakukan eksperimen kecil. Mereka menggesek-gesekkan botol plastik di dalam air. "Kami coba di kedalaman 15 meter dan ikan besar yang mendatangi kami cukup banyak," kata Erlangga.
Pemimpin ekspedisi dari Word WildÂlife Fund, Christian Novia, mengatakan ada tiga tujuan utama ekspedisi yang berlangsung pada 14-25 Oktober 2016 ini. Pertama adalah mengumpulkan data dasar kondisi ekologi. Kedua, mengetahui data awal sebaran spesies di Sulawesi Tenggara dan, ketiga, mengumpulkan data dasar profil perikanan.
Saat ini, menurut Novia, di Sulawesi Tenggara ada 12 kawasan konservasi perairan yang dikelola oleh stakeholder berbeda. Kegiatan ini dilakukan untuk menyamakan metode dalam pengambilan data. "Jadi info yang diperoleh dalam ekspedisi juga bisa dimiliki semua stakeholder," kata Novia.
Temuan awalnya, terumbu karang di perairan Sulawesi Tenggara masih cukup baik. Hanya, ikannya sangat jarang. Kondisi ini berlawanan dengan teori yang menyebutkan jika terumbu karang bagus, ikannya banyak. Apa penyebabnya, itu yang akan dipelajari lebih lanjut oleh tim ekspedisi ini.
Dugaan sementara, terus menurunnya jumlah ikan akibat eksploitasi berlebihan yang dilakukan nelayan. Dugaan lain, ikan-ikan merasa terancam tinggal di permukaan sehingga memilih tinggal di kedalaman 15 meter. "Terbukti dengan eksperimen kecil yang kami lakukan dan berhasil mendatangkan banyak ikan," kata Novia. "Asalkan rumahnya tak rusak, ikan akan kembali."
Selain memantau kondisi perairan, ekspedisi ini memiliki tim darat yang dibagi dalam dua tim, yakni tim spesies dan fisherÂies. Tim pertama bertugas mendata keberadaan spesies langka. Adapun tim Âfisheries mendata kegiatan perikanan masyarakat pesisir.
Sejauh ini mereka melihat bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem laut sudah cukup terbangun. Eksploitasi masih terjadi semata karena tuntutan ekonomi. "Mereka kan nelayan. Kalau tidak melaut, ya, tidak dapat uang," kata Sashy, anggota tim fisheries dari Universitas Haluoleo.
Pengetahuan tentang hewan langka pun sudah sangat baik. Sayangnya, pengetahuan itu tak disertai dengan kesadaran. Terbukti masih banyak yang mengkonsumsi hewan langka jika tak sengaja tertangkap. "Bahkan ada oknum aparat yang khusus memesan hewan langka kepada nelayan," kata Syarif Yulius Hadinata, 26 tahun, anggota tim spesies dari WWF.
Risfandi mengatakan semestinya regenerasi ikan dan terumbu karang di Sulawesi Tenggara dapat berlangsung cepat. Sebab, letaknya berada di perairan terbuka, yakni di dekat Laut Banda. Namun pemuÂlihan terumbu karang akan memakan waktu lebih lama. Dalam kondisi ideal, karang akan tumbuh 1-7 sentimeter dalam enam bulan.
Metode pemulihan karang bisa diintervensi manusia. Tapi karang yang tumbuh secara alami jauh lebih kuat. "Meski pertumbuhannya lebih cepat, daya tahan karang hasil intervensi lebih pendek," kata Rahmadani, dosen di Universitas Haluoleo yang juga anggota tim pemantauan laut.
Kondisi perairan Kepulauan Wakatobi berbeda jauh dengan kondisi di Pulau Wawonii, yang menjadi titik pemantauan. Putu Suastawa, anggota tim laut dari Taman Nasional Wakatobi, mengatakan sumber daya di sana sangat melimpah. Ekosistemnya terjaga dengan baik. Ekosistem yang ideal dimulai dengan adanya taÂnaman bakau di pesisir.
Selain memerlukan bakau, terumbu karang membutuhkan padang lamun untuk menyaring kotoran yang masuk ke laut. Bila tak ada tanaman bakau dan lamun, tak ada yang dapat menahan hantaman ombak ke terumbu karang. Begitu pula sebaliknya. Terumbu karang menjadi pagar bagi tanaman bakau dan lamun dari hantaman ombak.
Selama delapan hari menyelam di perairan Pulau Wawonii, Putu belum menemukan susunan utuh dari tanaman bakau, lamun, hingga terumbu karang. Untuk mewujudkan wilayah konservasi yang ideal, pemantauan harus dilakukan terus-menerus. "Sumber daya berlimpah akan percuma jika tak terdata dengan baik. Dengan data, pengelolaan bisa lebih terencana," katanya.
Putu melanjutkan, bukan hanya warga pesisir pantai yang perlu diberi edukasi, warga pegunungan juga perlu diberi penjelasan tentang besarnya pengaruh aktivitas di darat dengan ekosistem laut. Jika lahan di pegunungan gundul, tak akan ada yang menyerap air. Akibatnya, sungai bisa membawa lumpur dan tanah yang kemudian terbawa ke laut. Dengan begitu, perairan dekat pesisir bakal dipenuhi lumpur.
Saat ini daerah pesisir Sulawesi Tenggara banyak dibuka untuk tambang. Dampaknya, perairan dekat tambang mengalami sedimentasi cukup parah dan terlihat sangat keruh. Putu punya pengalaman ketika menyelam dekat daerah tambang. "Bayangkan, saya enggak bisa melihat rekan saya yang berjarak hanya 20 sentimeter," ujarnya.
La Ode Ridwan, Sekretaris DKP Sulawesi Tenggara, menyambut baik ekspedisi ini. Menurut Ridwan, salah satu sebab terjadinya eksploitasi ikan adalah belum adanya kebijakan yang mengatur lokasi penangkapan ikan. "Kami akan menganalisis hasil ekspedisi ini," katanya.
Dirhamsyah, Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mensinyalir eksploitasi tak terkendali di perairan Sulawesi Tenggara, khususnya di Pulau Wawonii, sudah berlangsung lama. " Semestinya disetop dulu," ujarnya.
Masalahnya, Dirhamsyah menjelaskan, di Indonesia tak mungkin menutup satu wilayah tertentu dan menunggu pemuÂlihan. Padahal, di Cina, ada sistem yang disebut konservasi buka-tutup. Pemerintah Cina dengan tegas menutup kawasan teluknya untuk menunggu pemulihan. Saat kawasan itu dibuka, nelayan panen besar-besaran. "Indonesia seharusnya bisa melakukan hal seperti itu," katanya.
Tri Artining Putri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo