Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIRUK-PIKUK bongkar-muat telah usai. Kapal motor (KM) Timber Trader pun bersiaga di ujung darmaga, menunggu bunyi peluit untuk segera bertolak dari pelabuhan Trisakti, Banjarmasin, menghilir menyusuri Sungai Barito, sepanjang 14,5 km, untuk mencapai bibir Laut Jawa. Kedalaman air di ambang (muara) tercatat 5,2 meter. Namun, jadwal pemberangkatan kapal secara mendadak berubah. Apa boleh buat, hari itu 20 Agustus lalu, kedalamam ambang tiba-tiba menyurut. Tak syak lagi, Timber Trader harus menunda keberangkatannya sampai datang air pasang berikutnya. "Kasus semacam ini sudah biasa kami hadapi dalam beberapa tahun terakhir," ujar H. Kifli Noor, Kepala Cabang Gesuri Lloyd di Banjarmasin, yang mengageni Timber Trader. Kasus serupa menimpa KM Kelimutu seminggu sebelumnya. Kapal Pelni itu harus melego jangkar enam jam lebih lama dari jadwal yang semestinya. Apa boleh buat, "Kami harus menunggu air penuh," kata Syahrun, pimpinan Pelni di Banjarmasin. Bila jadwal perjalanan begitu ketat, kapal-kapal barang itu terpaksa memindahkan sebagian muatannya ke kapal tunda, dan mengangkatnya lagi setelah sampai di laut bebas. Pendangkalan ambang Barito itu dirasakan menggerogoti para agen kapal yang beroperasi di Banjarmasin. "Minimal kami keluarkan ongkos ekstra Rp 3 juta seminggu," ujar Madjedi Filmansyah, pimpinan PT Labohu yang mengageni 12 buah kapal ukuran 1.000-an DWT. Tak mengherankan mengingat sebuah kapal sekelas dengan Timber Trader atau Kelimutu, yang berbobot sekitar 6.000 DWT, perlu ongkos "parkir" tambahan lebih dari Rp 10 juta/hari. Sungai Barito merupakan urat nadi bagi jalur transportasi di Kalimantan Selatan. Lalu lintas perekonomian Kal-Teng boleh dikatakan bertumpu pada ruas Sungai Barito. Hulunya ada di pedalaman Kal-Teng, sungai ini menyusur melewati kota-kota kecil di Kal-Sel seperti Marabahan, Belawang, Seigampa, Seipuntik, dan Anjir Muara. Lalu mengalir membelah Kodya Banjarmasin dan bermuara di Laut Jawa. Panjang Barito sekitar 650 km dan lebarnya 800-900 meter. Selama ini, alur pelayaran dari Banjarmasin ke arah hulu belum seberapa terganggu oleh pendangkalan -- boleh jadi lantaran hanya dilayari oleh kapal-kapal kecil. Tapi keluar dari pelabuhan Banjarmasin ke Muara, gangguan deposit lumpur itu mulai terasa. Sungai Barito bagian hilir yang lebarnya hampir 1 km itu ternyata hanya punya alur pelayaran selebar 40 meter. Kedalamannya rata-rata 3,5 meter -- diukur pada ketinggian air pasang 0 meter. Bila air pasang cikar (penuh), kedalamannya bisa mencapai 6,5 meter. Pada kondisi penuh itu, kapal-kapal 5.000 DWT ke bawah leluasa melaju ke pelabuhan Trisakti. Tapi itu hasil pengukuran tujuh tahun lalu. Celakanya, banjir lumpur setiap kali datang. Kabarnya, tak kurang dari 3.000.000 m3 lumpur setahunnya mengendap di lantai Barito, dan sebagian mangkal di kawasan muara. Bila kapal keruk agak terlambat beraksi, terjadilah "kemacetan" lalu lintas sungai seperti dialami oleh Timber Trader dan Kalimutu. Pihak Perum Pelabuhan Banjarmasin setahunnya harus mengeluarkan biaya Rp 3 milyar untuk mengoperasikan kapal-kapal keruk itu. Sumber TEMPO di Pemda Kal-Sel tak berani memastikan penyebab pendangkalan itu. Yang terang, dia menyebut bahwa DAS Barito beserta anak-anak sungainya kini bukannya hutan perawan lagi. Sebagian digunakan untuk hutan produksi dan ditebangi, sebagian lain disulap menjadi kawasan PIR (perkebunan inti rakyat), dan tak sedikit pula yang dipakai menjadi areal pertanian dan permukiman transmigran. "Dari sanalah lumpur-lumpur itu datang," ujarnya. Pendangkalan di daerah hilir ini melanda pula Sungai Musi yang mengalir di daerah Sumatera Selatan. Timbunan lumpur itu secara langsung mengganggu lalu lintas ke pelabuhan Bon Baru, Palembang, yang berada 100 km dari muara. Alhasil, kapal-kapal berukuran besar, yang lunasnya tenggelam di dalam air sampai 7 meter, tak berani menghulu menyambangi Bon Baru. Akibatnya, Bon Baru sedikit demi sedikit pudar pamornya. Betapa tidak. Di saat aktivitas ekonomi Sum-Sel meningkat cepat, justru volume bongkar-muat barang di Bon Baru menyusut. Pada 1987, misalnya, volume bongkar-muat mencapai 8,024 juta ton, pada 1988 menjadi 7,621 juta ton, dan turun lagi menjadi 7,592 juta ton pada 1989. "Sebab, bongkar-muat barang asal Sum-Sel justru dilakukan di pelabuhan Panjang, Lampung," tutur Ir. Bainun Bustam, Wakil Ketua Bappeda Sum-Sel. Lumpur yang diendapkan di lantai Sungai Musi, bersama enam buah anak sungainya, menurut data di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Unsri (Universitas Sriwijaya) Palembang, tak kurang dari 14,7 juta ton setahun. Pelumpuran itu membuat daya tampung air Sungai Musi menyusut. Alhasil, perbedaan pasang-surut air bisa mencapai 3,5 meter. Yang dikhawatirkan Dr. Fachrurrozie Syarkowi, Ketua PPLH Unsri, pendangkalan itu akan membuat permukaan air sungai sejajar dengan air lebak (rawa) yang banyak terdapat di kanan-kiri Musi. Kalau itu terjadi, "Air lebak tak bisa mengalir ke sungai," ujarnya. Akan lebih tragis jika musim hujan tiba, genangan akan meluas di sekitar rawa-rawa, memakan daerah pertanian atau permukiman. Seperti pada Barito, pendangkalan Musi terjadi lantaran kiriman lumpur dari kawasan hutan di daerah hulu. Penebangan hutan yang liar atau yang resmi, pembukaan daerah transmigrasi, lahan PIR, dan pencetakan hutan tanaman industri disebut-sebut sebagai daerah pemasok lumpur. Bahkan di dekat hutan yang digarap itu, "Sering terjadi longsor di tebing-tebing sungai," ujar Bainun Bustam. Kapal-kapal keruk pun dikerahkan untuk menangani pendangkalan Sungai Musi itu. Biayanya sekitar Rp 2,5 milyar setahun. Tapi itu terbukti tak cukup menyelesaikan masalah. "Problem di hulu pun harus ditangani serius," kata Fachrurrozie.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo