Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Akademi camat, satu atap

Apdn di beberapa tempat akan disatukan di kampus apdn jatinangor, ja-bar. bertujuan untuk menciptakan lulusan berwawasan nusantara, dan pemerataan mutu. sebagai penghargaan pangkat lulusan apdn adalah ii d.

1 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMBISI Departemen Dalam Negeri untuk menyatukan APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) menjadi satu atap terwujud. Ini ditandai dengan peresmian kampus APDN Jatinangor, Jawa Barat, Sabtu pekan lalu. Di kampus itulah, selanjutnya, semua APDN yang kini tersebar di belasan tempat disatukan. Pengintegrasian wadah penggodokan calon aparat pemerintah ini seakan mengulangi sejarah awal berdirinya APDN 1956. Pada mulanya, APDN memang didirikan dengan status "nasional". Artinya, akademi yang dipusatkan di Malang, Jawa Timur, itu adalah hanya satu-satunya lembaga pendidikan di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Mahasiswa didatangkan dari berbagai pelosok tanah air. Dengan direktur pertama Mr. Raspio Woeryaningrat, "akademi camat" -- karena sebagian lulusan APDN diproyeksikan menjadi camat -- itu telah melahirkan beberapa alumni yang kemudian menduduki jabatan penting di pemerintahan. Antara lain Mensesneg Moerdiono, Dirjen Hubungan Sosial Budaya dan Penerangan Luar Negeri Deplu Pieter Damanik, dan Gubernur Bengkulu H. Razie Yahya. Tapi, perjalanan sejarahnya, di awal Orde Baru, APDN "nasional" itu dianggap kurang mampu menampung kebutuhan penyediaan aparat pemerintah. Lulusan APDN tak cukup untuk mengisi pos-pos baru, terutama setelah terjadi pemekaran jumlah daerah tingkat II. Akhirnya, beberapa daerah berlomba-lomba mendirikan APDN. Sampai tahun 1989, tercatat ada 20 APDN lokal. Dampaknya, setelah berusia 36 tahun dan melahirkan 26 ribu alumni, mutu sekolah itu dianggap kurang memuaskan. Lulusan APDN yang satu tak setara dengan yang lainnya. Di samping itu, pemerintah daerah juga mulai keberatan beban karena harus menyandang dana. Akhirnya muncullah ide pengintegrasian itu. Tujuannya, seperti yang dikatakan Rudini ketika meresmikan APDN "satu atap", "Yakni penciptaan lulusan yang berwawasan Nusantara, efektivitas pendanaan, dan pemerataan mutu lulusan." Harapannya, dengan sistem yang standar, lulusan APDN nantinya bisa ditempatkan di mana saja. Ini, tentu saja, berbeda dengan lulusan APDN lokal di masa lalu yang cuma cocok di daerahnya saja. Agaknya, memang masuk akal bila lulusan APDN tak sederajat. Tenaga pengajar di daerah yang "sulit" direkrut seadanya. Baik dari lingkungan pemerintah daerah setempat maupun perguruan tinggi terdekat. "Kalau mutu lulusan tidak standar, pembinaan karier secara nasional juga akan terganggu," kata Menteri. Untuk mewujudkan gagasan Rudini itu, Departemen Dalam Negeri telah mempersiapkan sejak setahun lalu. Langkah pertama, dengan biaya Rp 45 milyar, dibangun sebuah kampus di atas tanah berbukit 280 hektare di Jatinangor. Menurut rencana, bangunan kampus -- dengan daya tampung 3.000 mahasiswa -- meliputi luas 78 hektare. Ini terdiri dari ruang kuliah, asrama, rumah dosen, rektoriat, fasilitas olahraga, dan lain-lain. Masih ada lagi 31 hektare untuk praktek pertanian dan peternakan. Pembangunan kampus dengan dana APBN dan iuran semua provinsi yang kini baru selesai 30% itu akan rampung awal 1991. APDN "gaya baru", selain statusnya terintegrasi secara nasional, juga punya perbedaan yang mendasar. Misalnya calon mahasiswa. Sebelumnya, yang bisa masuk APDN adalah lulusan SMA dengan ikatan dinas atau pegawai negeri dalam tugas belajar. Sekarang, mahasiswa yang diterima hanya dari lulusan SMA jurusan A1 dan A2. Dengan demikian, tak ada lagi istilah mahasiswa tugas belajar. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pengajar, para pengajar APDN yang selama ini tersebar di berbagai daerah akan di-upgrade dan ditarik ke Jatinangor. Sedangkan dosen yang mengajar bidang khusus seperti pertanian, peternakan, dan ilmu hukum akan didatangkan dari beberapa universitas di Bandung dan sekitarnya. Mahasiswa APDN, atau sering disebut praja, selain menerima pelajaran teori seperti masa lalu, kini dibekali pula dengan mata kuliah praktek. Dalam kurikulum yang dirancang "berwawasan nasional" itu, juga dimasukkan pengetahuan dan praktek, pertanian, peternakan, dan kerajinan. "Agar lulusan APDN memiliki pengalaman yang bermanfaat buat tugasnya nanti," kata salah seorang pengajar di Jatinangor. Memang, yang diharapkan, lulusan APDN "gaya baru" nantinya bisa lebih bermutu dan komplet. Selain punya ilmu pengetahuan pemerintahan dan pembinaan teritorial, mahasiswa juga digembleng dengan latihan-latihan fisik dan mental seperti gaya militer. Mereka antara lain diajar baris-berbaris dan pengetahuan militer lainnya. Yang juga penting, mereka tak boleh protes. Mereka benar-benar disiapkan menjadi calon pemimpin yang paham akan ilmu-ilmu kepemerintahan. "Dengan fisik yang baik akan diperoleh sikap kepemimpinan dan kepribadian yang baik pula," kata staf pengajar tadi. Syarat masuk dan materi kuliah di APDN "gaya baru" memang lebih berat. Namun, hal ini tak menjadi halangan bagi calon mahasiswa yang berebut masuk. Dengan sistem satu atap, sebagian mahasiswa justru beranggapan bahwa APDN kini lebih bergengsi. Mereka juga merasa aman akan mendapatkan pekerjaan setelah lulus nanti. "Saya melihat persaingan mencari kerja semakin keras. Karena di sini menjanjikan kesempatan kerja secara langsung, saya memilih APDN," kata Sabri, 21 tahun, lulusan SMA asal Sulawesi Selatan. Kalau lulusannya memang lebih berbobot, kiranya wajar bila Menteri Rudini menjanjikan akan memberikan penghargaan lebih baik bagi lulusan APDN. Antara lain, pangkat pertama setelah diangkat menjadi pegawai negeri akan lebih tinggi dibanding yang selama ini, cuma IIB. Ia memberikan ancar-ancar, pangkat lulusannya adalah IID. Logikanya, menurut Rudini, seorang lulusan APDN memerlukan waktu 12 tahun untuk bisa naik menjadi IIIA seperti sarjana lulusan universitas yang baru masuk. "Itu tidak adil," katanya. Yang kemudian menjadi "PR" Departemen Dalam Negeri adalah fasilitas sekolah yang sudah ada di berbagai daerah di samping sejumlah tenaga pengajar yang tentunya tak semuanya layak diboyong ke Jatinangor. Rustam F. Mandayun (Jakarta) dan Ahmad Taufik (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus