Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA bulan Mei, matahari tropis mulai sering merambat di atas 30 derajat Cel-sius. Kawasan pantai selatan Bali adalah tempat yang nikmat untuk bermandi matahari sambil berseluncur di riak ombak. Di tengah suasana berlibur seperti inilah sekitar 6.000 utusan pemerintah dari 189 negara anggota PBB dan 2.000 anggota lembaga swadaya masyarakat akan berkumpul di belasan hotel bintang lima di sepanjang pantai Nusa Dua, Sanur, Kuta, Jimbaran, dan Benoa. Mereka adalah peserta Preparatory Committee (PrepCom) IV, yang selama hampir dua pekan, 27 Mei-7 Juni, akan menghangatkan pantai Bali lewat kegiatan festival, lomba, karnaval, ekshibisi, dan diskusi.
Yang dibicarakan adalah sesuatu yang mahaberat tapi dipandang pesimistis oleh aktivis lingkungan hidup, yakni pembangunan berkelanjutan. Pembangunan ini diniatkan tidak mengorbankan lingkungan hidup, malah kalau bisa memperbaikinya. Perhelatan besar para menteri lingkungan berbiaya US$ 6,5 juta ini—US$ 4 juta dari APBN dan sisanya dari negara donor—adalah persiapan terakhir sebelum pertemuan para kepala pemerintahan di Johannesburg, Afrika Selatan, September nanti. Sesi terbaik dimulai ketika ratusan kepala negara itu bergantian menundukkan kepala memastikan tanda tangannya tak melenceng—juga janjinya—di lembaran terbelakang dari agenda World Summit on Sustainable Development (WSSD) hasil godokan Nusa Dua.
Saat itu, sebagai penghuni dunia, mereka—tak peduli dari negara kaya atau miskin—sadar bahwa merekalah yang harus menjaga bumi yang satu ini. Jika kita bayangkan bumi ini sebuah kapsul angkasa yang mengarungi waktu entah sampai kapan, hari ini kapsul itu kian penuh sesak oleh penumpang, sedangkan volumenya tak bisa bertambah. Rasa khawatir mulai menghinggapi mereka karena makin lama kapsul ini terlihat makin kelelahan menanggung beban. Udara, tanah, dan air, semuanya terkurung polusi.
Kekhawatiran seperti itulah yang kemudian melahirkan gerakan lingkungan hidup. Ini dimulai lebih dari seabad lalu di Amerika dan secara perlahan ditularkan ke seluruh dunia. Kecemasan makin merata. Maka para pemimpin negara pun berkumpul tiap sepuluh tahun: di Stockholm pada 1972, di Nairobi sepuluh tahun sesudahnya, dan di Rio de Janeiro pada 1992. Hasilnya kurang-lebih sama, peserta membeludak, agendanya amat luas, dan akhirnya tak satu pun sanggup menepatinya, kecuali beberapa negara Skandinavia macam Swedia. Lingkungan dunia makin memburuk. Juga Indonesia, yang terempas di-landa krisis ekonomi sejak beberapa tahun lalu.
Emil Salim, sang Ketua PrepCom, rupanya mengetahui benar hasil Rio yang gagal diterapkan di Indonesia—saat itu dia menjadi ketua delegasi Indonesia sebagai menteri lingkungan hidup. Kata Emil, sekarang dibutuhkan lebih dari sekadar program-program yang indah terdengar di telinga, yakni sebuah tindakan. "Sekarang saatnya untuk melakukan aksi," ujarnya.
Sekitar 100 agenda disodorkan oleh panitia PrepCom untuk dibahas dan disepakati. Agenda itu adalah kumpulan ribuan masalah dari setiap negara, dari soal lingkungan hidup, ekonomi, sosial, kesehatan, korupsi, pengurangan kemiskinan, hingga energi alternatif. Para aktivis organisasi nonpemerintah, seperti di Rio, mengkritik tajam agenda itu karena mereka anggap terlalu ambisius dan global. Ini pun diakui Erna Witoelar, ketua panitia nasional PrepCom IV. "Namanya pembangunan berkelanjutan, ya, seribu satu masalah," katanya kepada TEMPO di Bali.
Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan menyatakan dalam situs resmi WSSD bahwa lima agenda yang akan membawa perubahan besar adalah soal air dan sanitasi, energi, kesehatan, pertanian, dan keanekaragaman hayati. Tapi Emil meminta dunia inter-nasional mesti benar-benar punya niat untuk menjamin hasil Bali dan WSSD dengan cara ikut menjamin bahwa semua kebijakan dan operasionalisasi pembangunan diarahkan kepada keberhasilan implementasi agenda 21, termasuk menjamin keter-libatan negara berkembang dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Sedangkan aktivis dari kalangan LSM, lewat committee on sustainable development, telah mengajukan beberapa isu penting yang amat mendesak, antara lain isu ke-hutanan dengan meminta PBB mendirikan UN Forest Forum di bawah Sidang Umum tapi sebagai lembaga mandiri. Dalam isu perubahan pola produksi dan konsumsi, mereka meminta PBB membentuk departemen ekonomi dan sosial.
Isu berikutnya adalah pertanian, perdagangan, dan investasi yang menginginkan kerja sama lebih luas dengan kelompok Bretton Woods (Bank Dunia) dan WTO (1994), juga soal kelautan. Mereka juga menambahkan dampak dari tiga isu lainnya, yakni energi, pariwisata, dan transportasi.
Menurut mereka, pembangunan berkelanjutan harus memakai beberapa prinsip agar berhasil, yakni kesetaraan dalam akses terhadap sumber daya, penjaminan terpenuhinya hak dalam bidang sosial, ekonomi, lingkungan, dan budaya, kesadaran akan keterbatasan sumber daya alam dan pemakaian sumber daya yang bisa diperbarui, demokrasi, dan etika. Prinsip itu dalam pelaksanaannya harus mengikuti prinsip kehati-hatian, prinsip pencemar harus membayar, akuntabilitas, keanekaragaman, tanggung jawab bersama, keadilan, dan kerja sama.
Itulah gambaran besarnya yang dicoba diraih di pantai Bali. Tentu saja bisa dibayangkan bagaimana perdebatan panjang akan terjadi. Dalam pertemuan negara-negara kreditor pembangunan di Monterrey, Meksiko, mereka berjanji membantu US$ 12 miliar untuk pembangunan negara-negara Selatan yang lebih miskin. Janji yang sama diucapkan dalam dua kali pertemuan sebelumnya. Nyatanya? Janji itu tak pernah dilakukan.
Ombak yang memukul bibir Pantai Kuta makin riuh-rendah dengan deru pesawat terbang, bus, dan mobil pariwisata yang hilir-mudik mengangkut para peserta konferensi. Persiapan telah digelar, 5.000-an penjaga keamanan akan menjamin segalanya lancar, dan pejabat dari Renon—kawasan Kantor Gubernur Bali—berusaha meyakinkan segalanya oke. Para menteri akan bernegosiasi dan bersiasat. Negosiasi akan berjalan alot karena tiap negara tak mau rugi dan didikte. Kata Erna, delegasi Indonesia akan serius menggarap sekitar 17 isu penting. Tiga di antaranya soal kemiskinan, sumber daya alam, serta perubahan pola konsumsi dan produksi. Ia yakin hal itu akan gol karena dengan 300 anggota, delegasi Indonesia bisa bersuara keras dalam bernegosiasi di setiap sidang. Apalagi ini dilakukan di negeri sendiri.
Lain halnya Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, yang pesimistis akan golnya semua agenda Indonesia. Karena itu, ia tak mau menyentuh agenda yang "sensitif dan pasti kalah" macam perubahan iklim dan energi pengganti minyak bumi—semua agenda yang sebenarnya sudah disepakati sepuluh tahun lalu. Jadi, bisakah hawa Bali meneduhkan egoisme peserta dan tiga agenda besar—implementasi program, deklarasi politik, dan kemitraan—diselesaikan dengan manis? Dengar bisik pesimistis se-orang aktivis LSM. Ada tiga ciri konferensi bumi: lokasinya selalu eksotis, jadi pesertanya bisa sambil pelesiran, agendanya makin tebal, dan agenda itu semakin tak masuk akal untuk dijalankan.
I G.G. Maha Adi, Jalil Hakim (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo