Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUTAN alam seluas 420 ribu hektare bakal dibabat dan disulap menjadi hutan tanaman energi akasia serta eukaliptus. Area yang 1,3 kali lipat luas daratan dan perairan Ibu Kota Nusantara yang mencapai 324.332 hektare tersebut merupakan lahan yang disiapkan pemerintah untuk memproduksi pelet kayu. Jutaan ton pelet kayu itu digunakan untuk bahan bakar biomassa sebagai pengganti batu bara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Luasan deforestasi terencana tersebut kami hitung hanya dari 31 izin hutan tanaman energi (HTE) yang diberikan pemerintah untuk menyuplai wood pellet ke PLTU co-firing,” kata Manajer Komunikasi Forest Watch Indonesia Anggi Putra Prayoga kepada Tempo, Senin, 12 Agustus 2024. Ia memperkirakan luas konsesi tanaman energi jauh lebih besar untuk memenuhi kebutuhan 8-14 juta ton pelet kayu per tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anggi, pemerintah memiliki target 23 persen bauran energi PLTU batu bara dengan energi terbarukan alias co-firing. Tujuannya adalah mengurangi penggunaan energi fosil sebagai upaya menekan emisi gas rumah kaca. Biomassa yang berasal dari sekam padi, kernel sawit, serbuk gergaji, pelet kayu, dan serpihan kayu itu dipilih sebagai salah satu energi terbarukan.
Petugas memantau alat Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di Desa Saliguma, Pulau Siberut tengah, Kepulauan Mentawai, 2019. ANTARA/Muhammad Arif Pribadi
Upaya pengurangan emisi ini merujuk pada kewajiban untuk mendukung komitmen kontribusi penurunan emisi nasional yang ditentukan atau nationally determined contribution (NDC) sesuai dengan Perjanjian Paris. PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN wajib memprioritaskan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) serta secara bertahap mengakhiri penggunaan PLTU berbasis batu bara. Salah satu langkahnya adalah penggunaan biomassa sebagai bahan bakar PLTU yang ada dan terencana untuk menurunkan emisi karbon.
Pemerintah telah menyiapkan sejumlah skenario untuk merealisasi bauran energi ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030. Di antaranya 23 persen energi biomassa, 11,5 persen energi gas alam, 0,4 persen bahan bakar minyak, 1,2 persen potensi energi terbarukan, dan 64 persen pembakaran batu bara pada PLTU di Indonesia. Untuk mengejar target itu, 10-20 persen PLTU bakal diproyeksikan co-firing atau substitusi menggunakan biomassa.
Sekilas, target mengubah bahan bakar PLTU batu bara menjadi biomassa seolah-olah bisa mengurangi emisi. Padahal, menurut Anggi, untuk menghasilkan setiap megawatt listrik, dibutuhkan tonase biomassa yang jauh lebih banyak ketimbang batu bara. “Artinya, emisi yang dihasilkan dari pembakaran biomassa akan jauh lebih besar ketimbang saat membakar batu bara,” ucap Anggi.
Selain itu, dia memotret masalah di hulu yang tak dihitung sebagai potensi emisi, yakni hilangnya ratusan ribu hektare hutan alam yang kemudian akan disulap menjadi HTE. Apalagi berkaca dari kebijakan ekspor pelet kayu ke Korea Selatan dan Jepang yang tak pernah menghitung deforestasi akibat pembukaan hutan untuk HTE. Padahal, kata Anggi, pembabatan hutan merupakan sumber utama pelepasan emisi yang semestinya ditekan oleh pemerintah.
Masalah emisi pada pembangkit biomassa ini ternyata sudah terjadi di Inggris. Sebuah studi yang dikutip The Guardian menyebutkan bahwa Pembangkit Listrik Drax—pembangkit biomassa dengan kapasitas 2,6 gigawatt di Drax, North Yorkshire, Inggris—justru menghasilkan emisi empat kali lebih besar ketimbang PLTU batu bara di Britania Raya.
Tahun lalu, pembangkit listrik yang dimiliki Drax Group itu menciptakan 11,5 juta ton karbon dioksida (CO2) atau hampir 3 persen dari total emisi karbon di Inggris. Besaran emisi itu setara dengan polutan kendaraan yang dihasilkan Jakarta setiap tahun. Padahal Drax mendapatkan subsidi €22 miliar dari pemerintah untuk membakar kayu sebagai pengganti batu bara.
“Membakar kayu untuk mendapatkan listrik adalah risiko mahal yang membatasi kemandirian energi Inggris dan tidak memiliki tempat dalam perjalanan menuju nol emisi,” demikian tulisan Frankie Mayo, seorang analis Ember—organisasi independen nirlaba untuk mempercepat transisi energi bersih, berbasis di Inggris—kepada The Guardian. Menurut Mayo, membakar pelet sama halnya dengan emisi yang dihasilkan batu bara.
Manajer Program Bioenergi Trend Asia Amalya Reza Oktaviani mengatakan emisi yang dihasilkan pelet kayu dimungkinkan jauh lebih besar ketimbang batu bara. Nilai kalori pelet kayu, kata dia, hanya 4.200 kalori per kilogram atau masih di bawah batu bara yang mencapai 5.000 kalori per kilogram. “Artinya, untuk menghasilkan 1 kilowatt per jam, dibutuhkan pelet kayu lebih banyak untuk dibakar. Emisi dari pembakaran jauh lebih besar,” katanya, Senin, 12 Agustus 2024.
Trend Asia membuat permodelan emisi yang dihasilkan oleh co-firing 10 persen biomassa pada 107 unit PLTU, yang ternyata menghasilkan emisi 26,48 juta ton CO2 per tahun. Emisi itu dihitung sejak dimulainya pembabatan hutan alam untuk lahan HTE. Kemudian pengelolaan kayu HTE untuk memproduksi pelet kayu. Alih-alih berkurang, pencampuran biomassa dengan batu bara ini malah menambah emisi dari PLTU yang dalam RUPTL PLN 2021-2030 diproyeksikan terus naik menjadi 298,9 juta ton CO2 pada 2030.
Berapa Emisi Biomassa
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Eniya Listiani Dewi menjelaskan, biomassa adalah netral karbon, yakni keseimbangan antara emisi dan jumlah karbon melalui pemanfaatan limbah pertanian, perkebunan, hasil hutan, kebun energi, atau penanaman pohon energi yang menyerap CO2.
“Dengan konsep bioenergy carbon capture storage (BECCS) bisa menjadi negative emission,” kata Eniya kepada Tempo. Menurut dia, pemanfaatan biomassa untuk listrik dan carbon capture storage justru upaya pengurangan emisi yang signifikan.
Eniya menjamin pelet kayu yang dibakar untuk bauran PLTU tidak berdampak buruk bagi lingkungan. Hal ini lantaran komoditas pelet kayu sebelum dibakar harus dibuktikan muasalnya atau dapat dilacak. Regulasinya merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
Selain syarat tersebut, terdapat setumpuk ketentuan yang harus dilewati untuk menghasilkan pelet kayu atau kernel sawit. Di antaranya sertifikasi dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Kemudian surat jalan yang diteken tenaga teknis kehutanan untuk biomassa dari kawasan hutan. Ditambah surat angkutan kayu rakyat (SAKR) dari pemilik lahan atas kayu rakyat atau surat jalan pemilik limbah industri kehutanan.
Mekanisme tersebut, kata Eniya, telah membuat biomassa menjadi netral karbon. Dengan demikian, pemerintah dapat menggunakannya untuk pengurangan emisi dengan target 8,9 juta ton setara dengan karbon dioksida. Targetnya akan terealisasi pada 52 unit PLTU co-firing di Indonesia. Hal ini merupakan bagian dari rencana RUPTL PLN 2021-2030 yang menargetkan bahan bakar EBT berkontribusi 23 persen. “Kontribusi bioenergi ini ditargetkan sebesar 590 megawatt.”
Menurut Eniya, beragam upaya ini merupakan langkah progresif yang disiapkan pemerintah. Target penurunan emisi juga dilakukan melalui moratorium pembangunan PLTU baru dan dimulainya masa pensiun PLTU yang sudah ada. Adapun peralihan pembangkit energi fosil ke biomassa disesuaikan dengan jenis boiler pada setiap PLTU dan ketersediaan feedstock biomassa.
Pemaparan Eniya ihwal biomassa yang menghasilkan netral karbon dibantah oleh Amalya. Menurut dia, klaim itu disebut tidak terbukti. Penelitian Trend Asia justru mendapati stok karbon hutan alam hilang ketika proses pembabatan lahan untuk HTE. Masalahnya, kehilangan potensi karbon itu tidak terganti atas keseluruhan HTE yang terbangun. “Ada selisih net emisi sebanyak 6,8-11,3 juta ton CO2e,” ucap Amalya.
Pekerja memeriksa pasokan batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan
Pembakaran biomassa juga tidak mengurangi penggunaan batu bara untuk suplai PLTU. Berdasarkan statistik konsumsi PLN pada 2021, mereka menggunakan biomassa sebanyak 282.628 ton, naik signifikan dari 9.731 ton pada 2020. Pada saat yang sama, pemakaian batu bara juga naik menjadi 68,47 juta ton, dari 66,68 juta ton pada 2020. Dengan demikian, PLN disebut gagal menjalankan pengurangan konsumsi batu bara.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo sebelumnya menerangkan bahwa penggunaan co-firing biomassa justru mengurangi emisi. Sepanjang 2023, PLN berhasil menyerap biomassa sebesar 1 juta ton untuk pasokan 43 unit PLTU. Angka tersebut telah mencapai 71 persen dibanding realisasi pada tahun sebelumnya yang hanya 585 ribu ton.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo