Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENONTON di Jakarta International Expo Theatre, Kemayoran, 6 Desember lalu, bertepuk tangan panjang. Standing ovation berlangsung hingga lebih dari semenit setelah Yo-Yo Ma menuntaskan maratonnya. Selama sekitar satu jam, Ma, pemain cello terkemuka keturunan Cina yang tumbuh di Amerika Serikat, memainkan dua suite langsung dari rangkaian Six Cello Suites karya Johann Sebastian Bach. Tanpa rehat, walau sekadar untuk meneguk minuman. Ribuan penonton yang melihat Ma beraksi saja bisa membayangkan energinya terkuras untuk memainkan komposisi Bach. Jeda hanya berlangsung beberapa detik di tengah Suite No. 5 in C Minor, BWV 1011 dan setelahnya Ma kembali menggesek alat musiknya.
Sebelum menyuguhkan atraksi panjang itu, Ma menyebutkan suite dari Bach secara personal sangat dekat dengannya. Walau lahir 300-an tahun lalu, komposisi Bach terasa futuristik dan magis karena tetap punya kekuatan untuk menginspirasi dan menyembuhkan. Itu sebabnya Ma mendedikasikan dua suite pamungkas untuk perjalanan hidupnya dan para penonton. “Hidup ini tak gampang. Kadang rencana kita tak berjalan dengan baik. Kadang kita menderita karena trauma, bahkan mengalami kehilangan. Namun yang terburuk dari itu semua adalah bila kita kehilangan martabat. Dan, setiap mengalami perasaan tak enak, saya selalu kembali pada Six Cello Suites,” ujarnya.
Yo-Yo Ma mengusung gubahan Six Cello Suites Bach di panggung seluas 48 x 17 meter atau hampir dua kali lapangan basket. Di panggung gigantik itu, Ma tampil hanya berdua dengan cello. Ia duduk di kursi kayu, tanpa meja atau perabot dekoratif lain. Tak ada juga stand partitur karena Ma menghafal repertoar di kepala. Bahkan layar di belakang punggung dia pun hanya polos berwarna biru langit. Maka, sepanjang dua setengah jam pertunjukan, tak ada yang bisa mengalihkan perhatian orang pada Ma. Fokus tersedot pada kepiawaian pemain cello 64 tahun itu yang staminanya terlihat prima kendati digeber tanpa rehat.
Ma ibarat membentangkan peta emosi bagi penonton sejak ruang pertama komposisi Bach meluncur di panggung. Gesturnya terlihat tenang membawa Bach ke pengalaman penonton, dengan menghadirkan suasana yang kadang muram tapi lalu cerah, seperti yang kita dapati saat Suite No. 3 in C Major, BWV 1009 mengalun. Ia semacam mempersilakan kita bertualang ke masa lalu, gelisah mengingat kembali kenangan-kenangan, dan kemudian intens menenangkan. Berkesinambungan, seperti yang pernah dikatakan Ma dalam satu kesempatan: ibarat perjalanan sarabande nan lembut, menuju menuet yang bergas. Suara dari cello Ma terdengar bening bahkan tanpa mikrofon, karena panggung berbekal sistem teknologi akustik Meyer Constellation.
Ini adalah pergelaran The Bach Project ke-25 (dari rencana 36 konser di enam benua) yang dilakoni Ma sejak Agustus 2018. Sebelum mampir di Jakarta, Ma menggelar konser tunggal antara lain di Amerika Serikat, India, Meksiko, Peru, Spanyol, dan Yunani. Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang ia sambangi. Seperti kebiasaannya, seusai konser, Ma biasanya menggelar Day of Action di kota yang sama. Itu adalah program budaya yang mempertemukan dia dengan orang dari berbagai lintas disiplin. Di Jakarta pada 7-15 Desember 2019, program Day of Action Ma berlangsung di Museum Bank Indonesia. Di sana ia berdiskusi dengan pelaku seni, budayawan, juga komunitas seni lokal SukkhaCitta.
Musikus peraih 19 Grammy Awards yang sudah menelurkan 100 album ini mengaku menggelar konser di ceruk-ceruk dunia adalah kesempatannya bersinggungan dengan budaya baru. Di Indonesia, misalnya, ia mengenal istilah menarik, seperti Bhinneka Tunggal Ika dan gotong-royong sebagai bagian tradisi. “Kata-kata ini menginspirasi saya dalam perjalanan budaya sekaligus membuktikan bagaimana budaya menghubungkan kita,” ujar Ma setelah menyajikan Suite No. 1 in G Major, BWV 1007.
Bach dan budaya adalah dua hal yang mesra dengan Ma sejak kecil. Ia lahir di Paris, Prancis, dari keluarga pemusik. Bapaknya seorang komposer, pemain violin, dan konduktor, sedangkan ibunya adalah penyanyi. Keluarganya pindah ke New York saat Ma berumur 7 tahun. Di Amerikalah Ma makin menekuni cello, yang dipelajarinya sejak usia 4 tahun. Di Negara Abang Sam, dia sempat kuliah antropologi di Harvard University. Ketika itu, minatnya pada komposisi Bach tak surut dan malah menggebu setelah kepincut permainan Six Cello Suites dari cellist Pablo Casals. Ma kemudian menyelami ketertarikan Casals pada gubahan itu dan akhirnya ia turut menebarkan rangkaian lagu-lagu Bach ke dunia. Ma bahkan sampai tiga kali merekam Six Cello Suites ke dalam album. Yang pertama saat ia berusia 28 tahun, kemudian pada umur 40-an tahun, dan dua dekade kemudian.
Pentas Yo Yo Ma di Jakarta International Expo Theatre, Kemayoran, Jakarta, Desember 2019. Shoemaker Studios
Bagi Ma, karya Bach itu mengingatkan dia pada banyak kenangan. Kesendirian ayahnya yang saat Perang Dunia II kerap menghabiskan waktu di Cina dan Prancis dengan menghafal sonata Bach, juga persamuhan Ma dengan Casals, pemain cello asal Katalan, Spanyol. “Casals adalah pahlawan saya. Dari dialah saya menemukan filosofi musik dalam kehidupan,” ucap Ma, yang memprakarsai Silk Road Ensemble, proyek belajar bersama seniman antarbudaya di Amerika Serikat.
Bach, yang lahir di Jerman pada 1685, mengarang komposisi Six Cello Suites saat berusia 32 tahun. Karya yang didedikasikan Bach khusus untuk instrumen cello itu terdiri atas enam ruang yang berhubungan. Misalnya Suite No. 1 in G Major, yang terdiri atas sebuah prelude atau pengantar, allemande, courante, sarabande, menuet, dan gigue. Di sini Bach tak menentukan tanda tempo untuk setiap gerakan, sehingga cellist bisa berimprovisasi sesuai dengan interpretasi mereka.
Six Cello Suites dianggap sebagai salah satu karya ikonik musik klasik yang tak hanya mempengaruhi pemain cello dan pendengarnya, tapi juga format kesenian lain, seperti seni tari dan peran. Hingga kini pun masih banyak yang penasaran atas keberanian Bach menyusun komposisi tersebut. Mengingat cello pada masa itu bukan instrumen yang menarik minat Bach dan komposer lain pun memilih mengarang repertoar biola solo. Ma sendiri percaya Six Cello Suites adalah hasil perenungan Bach terhadap alam dan kemanusiaan. Sebagaimana tiga rangkaian pertama adalah buah eksperimen Bach untuk memberi ruang bagi cello dimainkan secara solo, pada tiga bagian akhir Bach seolah-olah merongrong sesuatu yang lebih.
Setelah Ma selesai memainkan rangkaian Six Cello Suites, penyanyi Dira Sugandi muncul ke tengah panggung. Kali ini Ma bangun dari kursi hitamnya. Dia ikut melenggak-lenggok meningkahi nada rancak dari alat musiknya. Mereka membawakan lagu karya Gesang Martohartono, Bengawan Solo, yang terdengar megah dengan paduan vokal Dira dan cello Ma yang jernih. Walau hanya membawakan satu lagu, keduanya mengingatkan kembali pada pernyataan kontemplatif dari Ma di panggung malam itu: bahwa budaya dan musiklah yang membimbing manusia untuk membangun perdamaian di tengah keributan, juga mengubah “mereka” menjadi “kita”.
ISMA SAVITRI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo