Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Guna lain dari cengkeh, krisan

Banyak tanaman yang jika diolah bisa menjadi pestisida ampuh untuk mematikan serangga plus hama. juga aman bagi manusia dan lingkungan.

11 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGALAMAN empiris selama ratusan tahun dengan pestisida alami yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan kini semakin dirasakan manfaatnya. Bahkan keampuhan pestisida alami sering juga disebut pestisida botani semakin luas diakui, termasuk oleh kalangan akademisi. Dalam seminar pemanfaatan pestisida botani di Bogor, 12 Desember 1993 berselang, terungkap bahwa Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah menemukan khasiat cengkeh yang bisa dimanfaatkan sebagai fungisida. Para peneliti di lembaga itu juga bisa memastikan setelah melakukan berbagai percobaan bahwa beberapa mikroorganisme (jamur dan bakteri) terhambat pertumbuhannya setelah diberi tepung atau minyak cengkeh. Tepung dan minyak cengkeh itu diperoleh dari pengolahan batang, daun, dan bunga cengkeh. Adapun eugenol, salah satu komponen minyak cengkeh, dapat dimanfaatkan sebagai insektisida. Dalam penelitian yang dilakukan Oktober lalu, konsentrasi eugenol 100% ternyata efektif membunuh serangga dewasa Stegobium paniceum, yakni hama utama biji-biji ketumbar dalam penyimpanan. ''Namun, sayang, pemanfaatan minyak cengkeh sebagai insektisida belum banyak diketahui,'' ujar Wiratno, peneliti di Balittro, Bogor. Begitu pula bunga krisan (Chrysanthenum cicverariafolium), menurut Sofyan Roesli dan kawan-kawan, dapat dipakai sebagai insektisida serangga rumah, hama gudang, dan serangga hama sayuran. Pestisida alami ini diperoleh dengan mencampurkan satu kilogram bubuk bunga krisan dengan 3,4 liter etanol. Dari campuran itu, dihasilkan 1,6 liter piretrin, yakni senyawa kimia yang dapat menyerang urat saraf pusat serangga dan tidak berbahaya bagi lingkungan di sekitarnya. ''Kelebihan piretrin tidak mempengaruhi spesies musuh alam, juga aman bagi manusia,'' kata Ida Nyoman Oka, Ketua Kelompok Kerja Program Nasional PHT (Pengendalian Hama Terpadu). Sebenarnya insektida alami telah menjadi sahabat petani sejak zaman dulu. Jauh sebelum revolusi insektisida sintetis, 1942, petani di Parahyangan telah pintar meracik obat anti hama serangga. Mereka memeras daun sirsak untuk mendapatkan larutan anti walang dan sundep, sedangkan potongan kulit pohon surian cukup ditanam dalam lumpur sawah, untuk mengusir hama beluk yang ngumpet di kuncup padi. Bahwa tumbuh-tumbuhan bisa digunakan sebagai pestisida, bukanlah satu hal baru. Tapi kemudahan yang ditawarkan pestisida sintetis, apalagi dengan promosi yang gila-gilaan, menyebabkan racun alami itu tersisihkan. ''Ia kalah dengan industri,'' kata M. Satta Wigenasantana, Direktur Bina Perlindungan Departemen Pertanian. Benar, beberapa negara mulai melirik kembali pestisida dari tumbuh-tumbuhan ini. Bahkan Food and Agriculture Organization (FAO), telah menyerukan untuk menekan pemakaian pestisida sintetis dan menggunakan musuh alami. Di Indonesia sendiri sudah banyak kebijaksanaan pemerintah yang disusun untuk menyambut seruan FAO tersebut, di antaranya pembatasan jumlah merek pestisida. Tapi seminar botani di Bogor itu juga merupakan respons yang cukup berbobot. Seminar ini diikuti oleh 400 peserta dari berbagai perguruan tinggi dan instansi, serta membahas sekitar 40 makalah. Dalam seminar tersebut dibahas 14 jenis tumbuhan yang bisa dikembangkan sebagai bahan pestisida. Selain cengkeh dan bunga krisan, ada akar tuba, bengkuang, tanaman mimba, serai wangi, dan buah nona. Semua tanaman itu bisa diolah menjadi pestisida yang aman bagi lingkungan. Andai kata bisa diproduksi secara massal, pestisida alami tentu bisa dijadikan alternatif pengganti bagi pestisida kimiawi yang banyak mencemari lingkungan. Cobalah simak lagi hasil survei FAO dua bulan lalu. Dalam surveinya yang mengambil responden 214 petani di Brebes dan Tegal, Jawa Tengah, FAO menemukan 69 gejala sakit, 43 di antaranya dikenal sebagai gejala khas keracunan pestisida, seperti sesak napas, pusing, dan muntah-muntah. Belakangan para ahli juga membuktikan bahwa pemakaian pestisida kimiawi yang berlebihan malah bisa jadi bumerang. Penyemprotan wereng, misalnya, tak hanya membuat hama itu kebal, tapi juga surjen. Karena sering disemprot, mereka makin gencar bertelur sehingga populasinya meledak tiba-tiba. ''Petani memang tidak menyadari bahwa pestisida itu sebenarnya racun. Mereka malah menyebutnya sebagai obat,'' kata Ida Nyoman Oka. Bagi petani yang terbiasa menggunakan pestisida kimiawi, penangkal hama ini sering dikaitkan dengan kenaikan hasil pertanian. Mungkin karena itu, mengubah perilaku petani tidak mudah. Tak heran jika pemakaian pestisida secara jor-joran masih tetap berlangsung. Dan tak heran pula bila konsumsi pestisida kimiawi di negeri ini sampai 20 ribu ton hampir Rp 250 miliar setahun. Dan sebagian besar pestisida itu masih diimpor. Dengan adanya beberapa pestisida alami yang ampuh, diharapkan pemakaian pestisida kimiawi dapat ditekan sekecil mungkin. Lagi pula, ''Pestisida botani lebih akrab dengan lingkungan,'' kata Satta. Kendati aman dan ampuh, pestisida botani kalah dalam satu hal dengan pestisida kimiawi. Biaya pembuatannya pasti lebih tinggi. Tapi berbagai hasil penelitian dalam seminar di Bogor itu tentu akan sangat bermanfaat bagi industri pertanian yang peduli lingkungan. Yang perlu ditunggu adalah para penyandang modal, hingga dengan dana besar dari mereka, pestisida alami bisa diproduksi secara masal. ''Masih dalam tahap penelitian,'' kata Pasril Wahid, Kepala Bagian Balittro, ketika ditanya komentarnya tentang kemungkinan tersebut. Bambang Aji dan Ida Farida (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus