Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Mengapa pencemaran cepat merebak

Laju pertumbuhan ekonomi asia yang pesat dibayang-bayangi oleh laju pencemaran yang lebih pesat. tingkat pencemaran di jakarta tergolong tinggi. kritik bank dunia.

11 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAPORAN Bank Dunia biasanya tak alpa menyisipkan kata-kata pujian, khususnya bila membahas kebijakan makro ekonomi Indonesia. Namun, laporannya yang resmi disiarkan 6 Desember ini tentang kondisi lingkungan hidup di Asia, termasuk Indonesia, menyimpang dari kebiasaan itu. Selain tanpa pujian, laporan itu cukup mengentak juga. Bank Dunia memastikan berdasarkan data dan penelitian bahwa pertumbuhan ekonomi kawasan Asia yang begitu cepat, ternyata, diiringi dampak pencemaran lingkungan yang lebih cepat. ''Ekonomi Asia memang tumbuh berlipat ganda,'' kata Carter Brandon, penulis laporan berjudul ''Towards An Environment Strategy for Asia'' (''Menuju Sebuah Strategi Lingkungan untuk Asia'') itu. ''Namun, pencemaran, pemakaian energi, dan jumlah kendaraan di jalan-jalan bertambah lima, delapan, bahkan sepuluh kali lipat,'' tambah doktor ekonomi lulusan Universitas Harvard tersebut. Tak kurang dari satu tahun Carter Brandon dan Ramesh Ramankutty mengumpulkan data dan mengolahnya menjadi laporan Bank Dunia yang runtut. ''Kami bermaksud membuat dampak pencemaran itu transparan,'' tutur Carter Brandon kepada TEMPO. Salah satu caranya adalah mengonversikan kerugian yang tak kasatmata seperti dampak pencemaran terhadap produktivitas kerja menjadi bilangan dalam dolar. Mereka memperhitungkan, kerugian produktivitas kerja akibat kemacetan jalan-jalan di Jakarta, mencapai 68 juta dolar setahun. Sedangkan kerugian produktivitas kerja akibat pencemaran udara di Jakarta, antara 400 dan 800 juta dolar setahun. Bukan hanya itu. ''Seluruh kerugian akibat pencemaran di Jakarta mencapai lebih dari satu miliar dolar setahun,'' tuturnya. Dibandingkan Bangkok yang menanggung beban pencemaran lebih dari dua miliar dolar setahun Jakarta memang sedikit lebih baik. Tapi Jakarta tergolong satu dari tujuh kota di dunia yang paling parah pencemaran udaranya. Mengapa? Soalnya, metropolitan itu masih memasarkan bensin bertimbal dan dipenuhi kendaraan bermesin diesel. Bahkan untuk pencemaran oksida belerang, Jakarta termasuk dalam enam kota paling tercemar di dunia. Mengkhawatirkan memang, tapi bukan berarti Bank Dunia ingin agar pertumbuhan ekonomi direm. ''Adalah salah sekali kalau upaya pelestarian lingkungan dianggap bisa mengurangi laju pertumbuhan ekonomi,'' kata Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Gautam S. Kaji. Alasannya? Karena lingkungan hidup yang tak tercemar itulah yang merupakan sumber daya sebenarnya. ''Adalah jelas siapa yang harus membayar bijih besi yang masuk ke pabrik baja,'' ujar Kaji. ''Tapi tak jelas, siapa pemilik sungai yang tercemar,'' katanya lagi. Maka, Kaji berpendapat, pemerintah harus menetapkan ganjaran setimpal bagi pelaku pencemaran. Tapi, bagaimana agar pemerintah dapat melakukan hal itu dengan baik? Untuk itu Bank Dunia menyodorkan sebuah strategi besar dengan lima jalur pemecahan. Pertama, agar pemerintah menentukan prioritas dalam menangani pencemaran, misalnya dengan mendahulukan masalah yang politis dan ekonomis dapat ditangani. Kedua, reformasi kebijakan yang mendorong masuknya pencemaran dalam kalkulasi biaya produksi kelompok industri/niaga. Ini perlu demi membiasakan praktek bisnis yang ramah lingkungan. Dan yang juga penting adalah peluang untuk tuntutan perdata atas pelaku pencemaran. Ketiga, penguatan institusi pemerintah di bidang lingkungan hidup. Bank Dunia terlibat, misalnya, dalam pembentukan Bappedal, yang mengawasi kegiatan anti pencemaran di sini. Keempat, berupa investasi swasta. Sampai tahun 2000 diperkirakan, perlu investasi sebesar 38 miliar dolar di Asia untuk menunjang usaha pelestarian lingkungan. ''Dana sebesar itu tak mungkin disediakan oleh pemerintah, jadi investasi swasta harus dirangsang,'' saran laporan itu. Proses alih teknologi perlu dipacu sebagai jalur kelima. Caranya membuat sistem ekonomi lebih terbuka, dan memperkuat sistem perlindungan hak cipta. Jika lima jalur itu dijalankan, diperkirakan laju pertumbuhan ekonomi yang cepat dan berkesinambungan (sustainable development), dapat dipertahankan. Tapi, perlu ada biaya tambahan. Menurut Carter Brandon, untuk itu diperlukan ''3 hingga 5 persen dari total investasi''. Dengan biaya itu, ia optimistis kebijakan pro pertumbuhan dapat disejalankan dengan pelestarian lingkungan. Kuncinya terletak pada pemerintah dan bagaimana ia berperan. Misalnya, soal air bersih di Jakarta. Kalau saja pemerintah dapat menyediakan air minum yang lebih murah, berarti tingkat efisiensi ekonomi di Jakarta bisa dinaikkan, Tampaknya, di bidang-bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak itulah, laporan Bank Dunia akan sangat bermanfaat. Setidaknya ia bisa ''mewarnai'' sikap para pengambil keputusan di Asia, terutama dalam hal untung rugi investasi bagi lingkungan hidup. Apalagi sejumlah pemerintah tak terkecuali Indonesia belum mampu atau belum mau menghitung kerugian yang selama ini terjadi akibat pencemaran lingkungan di negara masing-masing. Bambang Harymurti (Washington, D.C.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus