MINGGU, 15 Oktober, ada kejadian unik di markas besar Unesco
(Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB) di
Paris. Pada hari itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah,
diperingati Hari Hak-Hak Asasi Binatang Sedunia. Dan suatu
deklarasi hak-hak asasi binatang diserahkan kepada Amadou-Mahtar
M'Bow, orang Senegal (Afrika Barat) yang memangku jabatan Dirjen
Unesco.
Kemudian, tak kurang dari PM India Morarji Desai menyerahkan
lencana penghargaan kelestarian alam secara anumerta kepada
almarhum Albert Schweitzer, dokter-misionaris Perancis yang lama
bekerja di antara penduduk asli dan margasatwa di jantung
Afrika. Selain itu, kepada Amadou-Mahtar M'Bow diserahkan sebuah
petisi yang ditandatangani dua juta orang di Eropa dan AS.
Isi petisi itu mengutuk segala kekejaman yang dilakukan manusia
terhadap binatang. Termasuk pemunahan margasatwa di alam bebas
serta pemanfaatan binatang untuk eksperimen militer, medis, dan
lain-lain. Menurut AFP, petisi tersebut akan ditelaah oleh PBB.
Organisasi dunia ini sendiri mungkin akan mengeluarkan petisi
serupa di akhir abad ini.
Kehadiran Morarji Desai sebagai ketua panitia lencana
kelestarian alam itu bukan suatu kebetulan. PM India yang
penganut ajaran Mahatma Gandhi itu memang terkenal gigih
menentang pembunuhan hewan secara semena-mena. Sejak 1 April
lalu, dia memutuskan penghentian ekspor monyet rhesus secara
total dari negerinya. Keputusan itu diambil, setelah Desai
membaca laporan pers tentang penggunaan monyet-monyet India
dalam pengujian senjata-senjata nu-bi-ka (nuklir, biologi,
kimia) di AS. (TEMPO, 4 Maret).
Daftar Makin Panjang
Kampanye Morarji Desai yang didukung oleh M'Bow itu mungkin akan
merembes pula ke Indonesia. Namun Indonesia sebenarnya tak perlu
menunggu PBB. Perlindungan binatang liar -- khususnya yang
semakin langka -- sudah diundangkan oleh pemerintah kolonial
sejak 1931, dan diteruskan sampai sekarang. Setiap tahun daftar
jenis binatang yang dilindungi berdasarkan keputusan Menteri
Pertanian semakin panjang. Hingga kini telah mencapai 80 jenis
lebih. Keputusan terakhir Maret lalu, pada akhirnya telah
mencantumkan pula beberapa jenis paus yang sudah terancam punah
di seluruh dunia.
Begitu memangku jabatannya yang baru sebagai Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Emil Salim juga
telah berusaha menelusuri daftar binatang yang dilindungi itu
berikut jalur pengamanannya. Kelompok-kelompok pencinta alam,
Perbakin (Persatuan Menembak dan Berburu seluruh Indonesia) dan
Polri, sudah diajak serta. Hingga keluarlah keputusan Presiden
untuk menaikkan bea masuk senjata berburu, serta penetapan tujuh
suaka margasatwa yang bakal dinaikkan statusnya menjadi Taman
Nasional dalam Repelita mendatang.
Pekerjaan Emil semakin banyak tertumpuk -- mungkin akibat
pengawasannya di masa lalu hanya dibebankan pada sebuah
direktorat saja dalam lingkungan Ditjen Kehutanan, yang lebih
berkiblat kepada penghasilan devisa.
Semena-mena
Kasus demi kasus mulai terungkap, walaupun mungkin sudah agak
lama. Misalnya perburuan rusa secara semena-mena di Sulawesi
Tenggara, September 1976. Lalu, berita penembakan harimau di
Bengkulu (TEMPO, 21 Oktober). Dan belum lama ini, dalam suatu
jamuan makan siang antara Menteri Emil Salim dengan Perbakin,
Polri, dan beberapa organisasi pencinta alam di restoran Oasis
Jakarta, terbetik berita bahwa ada anggota Perbakin yang telah
menembak gajah yang dilindungi di Jambi (lihat Box).
Di kota-kota besar seperti Jakarta - juga Bandung, Surabaya dan
Medan - memang tumbuh subur hobi berburu, memelihara, dan
memiliki binatang yang seharusnya dilindungi. Terutama di
lapisan atas yang berada. Dan kadang-kadang, lalu-lintas hewan
terlarang itu terjadi di bawah hidung petugas PPA yang
seringkali tak dapat (atau sudah ogah) mengambil tindakan.
Toko Laba-Laba di Jalan Cikini Raya misalnya, sampai minggu lalu
masih menerima pengawetan cenderawasih. Burung-burung sorga itu
konon dibawa orang-orang Pertamina dari Irian Jaya. Sedang hotel
Kebayoran Inn di Jalan Senayan, Blok S, Kebayoran Baru, sempat
menahan seekor orang utan selama lima tahun dengan alasan
"memberikan suasana alamiah kepada hotel ini." Minggu lalu,
Bagong sudah diserahkan oleh pemiliknya kepada Kebun Binatang
embira Loka di Yogya.
Kesadaran perlunya mengembalikan hewan lindungan ke alam bebas
rupanya belum cukup luas dan kuat. Memang selama ini mana ada
penjelasan yang enak mengapa, orang tidak boleh begini begitu
dengan hewan? Atau ini sentimentalitas belaka?
Mungkin Menteri Emil Salim memang perlu menjawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini