Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hak Azasi Manu ... Eh, Binatang

Markas besar UNUSCO di Paris memperingati hari hak-hak azasi binatang sedunia. Indonesia memperketat pengawasan jenis binatang yang dilindungi berdasarkan keputusan presiden & menteri pertanian. (ling)

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINGGU, 15 Oktober, ada kejadian unik di markas besar Unesco (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB) di Paris. Pada hari itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah, diperingati Hari Hak-Hak Asasi Binatang Sedunia. Dan suatu deklarasi hak-hak asasi binatang diserahkan kepada Amadou-Mahtar M'Bow, orang Senegal (Afrika Barat) yang memangku jabatan Dirjen Unesco. Kemudian, tak kurang dari PM India Morarji Desai menyerahkan lencana penghargaan kelestarian alam secara anumerta kepada almarhum Albert Schweitzer, dokter-misionaris Perancis yang lama bekerja di antara penduduk asli dan margasatwa di jantung Afrika. Selain itu, kepada Amadou-Mahtar M'Bow diserahkan sebuah petisi yang ditandatangani dua juta orang di Eropa dan AS. Isi petisi itu mengutuk segala kekejaman yang dilakukan manusia terhadap binatang. Termasuk pemunahan margasatwa di alam bebas serta pemanfaatan binatang untuk eksperimen militer, medis, dan lain-lain. Menurut AFP, petisi tersebut akan ditelaah oleh PBB. Organisasi dunia ini sendiri mungkin akan mengeluarkan petisi serupa di akhir abad ini. Kehadiran Morarji Desai sebagai ketua panitia lencana kelestarian alam itu bukan suatu kebetulan. PM India yang penganut ajaran Mahatma Gandhi itu memang terkenal gigih menentang pembunuhan hewan secara semena-mena. Sejak 1 April lalu, dia memutuskan penghentian ekspor monyet rhesus secara total dari negerinya. Keputusan itu diambil, setelah Desai membaca laporan pers tentang penggunaan monyet-monyet India dalam pengujian senjata-senjata nu-bi-ka (nuklir, biologi, kimia) di AS. (TEMPO, 4 Maret). Daftar Makin Panjang Kampanye Morarji Desai yang didukung oleh M'Bow itu mungkin akan merembes pula ke Indonesia. Namun Indonesia sebenarnya tak perlu menunggu PBB. Perlindungan binatang liar -- khususnya yang semakin langka -- sudah diundangkan oleh pemerintah kolonial sejak 1931, dan diteruskan sampai sekarang. Setiap tahun daftar jenis binatang yang dilindungi berdasarkan keputusan Menteri Pertanian semakin panjang. Hingga kini telah mencapai 80 jenis lebih. Keputusan terakhir Maret lalu, pada akhirnya telah mencantumkan pula beberapa jenis paus yang sudah terancam punah di seluruh dunia. Begitu memangku jabatannya yang baru sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Emil Salim juga telah berusaha menelusuri daftar binatang yang dilindungi itu berikut jalur pengamanannya. Kelompok-kelompok pencinta alam, Perbakin (Persatuan Menembak dan Berburu seluruh Indonesia) dan Polri, sudah diajak serta. Hingga keluarlah keputusan Presiden untuk menaikkan bea masuk senjata berburu, serta penetapan tujuh suaka margasatwa yang bakal dinaikkan statusnya menjadi Taman Nasional dalam Repelita mendatang. Pekerjaan Emil semakin banyak tertumpuk -- mungkin akibat pengawasannya di masa lalu hanya dibebankan pada sebuah direktorat saja dalam lingkungan Ditjen Kehutanan, yang lebih berkiblat kepada penghasilan devisa. Semena-mena Kasus demi kasus mulai terungkap, walaupun mungkin sudah agak lama. Misalnya perburuan rusa secara semena-mena di Sulawesi Tenggara, September 1976. Lalu, berita penembakan harimau di Bengkulu (TEMPO, 21 Oktober). Dan belum lama ini, dalam suatu jamuan makan siang antara Menteri Emil Salim dengan Perbakin, Polri, dan beberapa organisasi pencinta alam di restoran Oasis Jakarta, terbetik berita bahwa ada anggota Perbakin yang telah menembak gajah yang dilindungi di Jambi (lihat Box). Di kota-kota besar seperti Jakarta - juga Bandung, Surabaya dan Medan - memang tumbuh subur hobi berburu, memelihara, dan memiliki binatang yang seharusnya dilindungi. Terutama di lapisan atas yang berada. Dan kadang-kadang, lalu-lintas hewan terlarang itu terjadi di bawah hidung petugas PPA yang seringkali tak dapat (atau sudah ogah) mengambil tindakan. Toko Laba-Laba di Jalan Cikini Raya misalnya, sampai minggu lalu masih menerima pengawetan cenderawasih. Burung-burung sorga itu konon dibawa orang-orang Pertamina dari Irian Jaya. Sedang hotel Kebayoran Inn di Jalan Senayan, Blok S, Kebayoran Baru, sempat menahan seekor orang utan selama lima tahun dengan alasan "memberikan suasana alamiah kepada hotel ini." Minggu lalu, Bagong sudah diserahkan oleh pemiliknya kepada Kebun Binatang embira Loka di Yogya. Kesadaran perlunya mengembalikan hewan lindungan ke alam bebas rupanya belum cukup luas dan kuat. Memang selama ini mana ada penjelasan yang enak mengapa, orang tidak boleh begini begitu dengan hewan? Atau ini sentimentalitas belaka? Mungkin Menteri Emil Salim memang perlu menjawab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus