Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seniman dari kota transit

Krishna mustajab, 47, seniman asal mojokerto yang menetap di surabaya. semula melukis obyek sekitarnya, semi abstrak, non figuratif. kini hadir dengan karya foto yang telah diperbesar jadi 30 x 40 cm. (sr)

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU Jakarta, Bandung atau Yogya menjadi pusat kegiatan seni rupa Indonesia modern memang wajar. Tapi Surabaya? Ternyata Surabaya bukan kota terasing. Dia menjadi kota transit bagi para senirupawan dari Jakarta, Bandung atau Yogya yang suka jalan-jalan ke Bali. Ini juga disebabkan karena di Surabaya bukan tak ada seni. Betapapun, tumbuhlah iklim kesenian di Surabaya, lalu pada gilirannya lahirlah para senirupawan. Salah seorang yang penting ialah Krishna Mustajab -- sekarang Direktur Kebudayaan Lembaga Indonesia-Amerika di sana. Lahir di Mojokerto 4 Desember 1931, baru mulai 1954 ia menetap di Surabaya. Krishna mula-mula menulis cerita pendek dan puisi. Tapi mungkin karena ia berkenalan dengan seorang Amerika yang memiliki koleksi buku seni rupa, seni lukis kemudian lebih menariknya. Dan tentu bukan tanpa pengaruh nama-nama yang sering singgah di rabaya dalam perjalanan ke Bali-seperti Rusli, Affandi, Surono, Nashar. Juga Karyono, orang Surabaya yang disebut Krishna sebagai ikut andil dalam membentuk dirinya. Mulai melukis bertolak dari obyek sekitarnya, tahun 1969 lukisan berubah menjadi semi abstrak. Kemudian sama sekali non-figuratif. Itu hasil dari banyaknya melukis pantai. Dari pengalaman itu ia memperoleh satu kesimpulan: alam pada hakikatnya dibagi tiga "tanah laut dan angkasa" .... Setelah babakan "trilogi" itu lahir karya-karyanya yang mengambil papan kayu sebagai kanvas. Papan itu tidak persegi, tapi digergaji menurut bentuk yang diinginkannya. "Karena bosan dengan bentuk persegi, dan diilhami bentuk wayang kulit." Nah, tiba-tiba kini ia hadir dengan karya fotonya. "Foto itu elemennya sama saja dengan seni lukis," katanya. Kecuali itu ia memang sedang bosan melukis. Tapi mengapa ia suka memperbesar bentuk-bentuk kecil? "Di situ kita bisa mensyukuri besarnya alam itu sendiri," katanya. Ternyata, tiap sudut paling kecil dari alam ini, penuh keindahan" ....... Bercerita tentang proses cetaknya bagi Krishna lebih kurang "sama dengan melukis." Lebih dahulu ia mencetak dari beberapa negatif yang berobyek sama, beberapa buah foto ukuran kartu pos. Lalu dipilihnya yang paling berkenan -- dan itu yang kemudian di jadikan contoh bagi pembesarannya. Ia membesarkan rata-rata menjadi 30 X 40 cm. "Bagi yang bertolak dari seni rupa ini biasa. Bagi yang bertolak dari foto mungkin melihat foto-foto saya tidak berhasil." Dan memang, mula-mula para pencetak foto tak mau mencetak negatifnya karena dianggap tidak jadi. "Gambarnya tidak jelas !"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus