KALAU Jakarta, Bandung atau Yogya menjadi pusat kegiatan seni
rupa Indonesia modern memang wajar. Tapi Surabaya?
Ternyata Surabaya bukan kota terasing. Dia menjadi kota transit
bagi para senirupawan dari Jakarta, Bandung atau Yogya yang suka
jalan-jalan ke Bali. Ini juga disebabkan karena di Surabaya
bukan tak ada seni. Betapapun, tumbuhlah iklim kesenian di
Surabaya, lalu pada gilirannya lahirlah para senirupawan.
Salah seorang yang penting ialah Krishna Mustajab -- sekarang
Direktur Kebudayaan Lembaga Indonesia-Amerika di sana. Lahir di
Mojokerto 4 Desember 1931, baru mulai 1954 ia menetap di
Surabaya.
Krishna mula-mula menulis cerita pendek dan puisi. Tapi mungkin
karena ia berkenalan dengan seorang Amerika yang memiliki
koleksi buku seni rupa, seni lukis kemudian lebih menariknya.
Dan tentu bukan tanpa pengaruh nama-nama yang sering singgah di
rabaya dalam perjalanan ke Bali-seperti Rusli, Affandi,
Surono, Nashar. Juga Karyono, orang Surabaya yang disebut
Krishna sebagai ikut andil dalam membentuk dirinya.
Mulai melukis bertolak dari obyek sekitarnya, tahun 1969 lukisan
berubah menjadi semi abstrak. Kemudian sama sekali
non-figuratif. Itu hasil dari banyaknya melukis pantai. Dari
pengalaman itu ia memperoleh satu kesimpulan: alam pada
hakikatnya dibagi tiga "tanah laut dan angkasa" ....
Setelah babakan "trilogi" itu lahir karya-karyanya yang
mengambil papan kayu sebagai kanvas. Papan itu tidak persegi,
tapi digergaji menurut bentuk yang diinginkannya. "Karena bosan
dengan bentuk persegi, dan diilhami bentuk wayang kulit."
Nah, tiba-tiba kini ia hadir dengan karya fotonya. "Foto itu
elemennya sama saja dengan seni lukis," katanya. Kecuali itu ia
memang sedang bosan melukis. Tapi mengapa ia suka memperbesar
bentuk-bentuk kecil?
"Di situ kita bisa mensyukuri besarnya alam itu sendiri,"
katanya. Ternyata, tiap sudut paling kecil dari alam ini, penuh
keindahan" .......
Bercerita tentang proses cetaknya bagi Krishna lebih kurang
"sama dengan melukis." Lebih dahulu ia mencetak dari beberapa
negatif yang berobyek sama, beberapa buah foto ukuran kartu pos.
Lalu dipilihnya yang paling berkenan -- dan itu yang kemudian
di jadikan contoh bagi pembesarannya. Ia membesarkan rata-rata
menjadi 30 X 40 cm.
"Bagi yang bertolak dari seni rupa ini biasa. Bagi yang bertolak
dari foto mungkin melihat foto-foto saya tidak berhasil." Dan
memang, mula-mula para pencetak foto tak mau mencetak negatifnya
karena dianggap tidak jadi. "Gambarnya tidak jelas !"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini