Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Hari-hari Sepi Di Gunung Bokor

Penduduk desa gunung bokor, Sumatera Utara, mengadu ke DPR mengenai tanah garapan dan rumahnya yang di gusur serta dipaksa menerima ganti rugi. PT Sulung Laut akan merubah jadi areal perkebunan. (krim)

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Hari-hari Sepi Di Gunung Bokor
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ACARA sedang berlangsung. Baru setengah jam Abdullah Eteng, anggota DPR RI, bicara dari hati ke hati dengan rakyat yang diwakilinya, penduduk Desa Gunung Bokor di Sumatera Utara, 6 Oktober lalu. Mendadak muncul petugas kepolisian. Dua orang hadirin, Syahri dan Manurung, dicomot dari muka hidung wakil rakyatnya dan langsung diborgol. Tentu saja hal itu membuat Abdullah Eteng, yang datang dari pusat ini, merasa tak diindahkan. Diapun menghardik polisi: "Saudara belum kenal saya?!" Kenal tidak kenal, nampaknya polisi tidak ambil peduli. Salah seorang dari merekapun menjawab dengan tak kalah kerasnya: "Perintah tangkap ini langsung dari Danres Deli Serdang dan harus dilaksanakan saat ini juga!" Abdullah Eteng, walaupun ia yakin kedudukannya sangat penting di negeri ini, cuma mampu mengelus dada. "Okeylah, kalau begitu," katanya. Polisi pun segera berlalu dari sana dan terus menggiring tangkapan terborgol itu ke Kores 202 Deli Serdang di Tebing Tinggi. Abdullah mengakhiri pertemuannya dengan penduduk sembari berjanji, akan membawa urusan lebih jauh ke pejabat yang lebih penting lagi di Jakarta. Sudah banyak yang terjadi sebelumnya -- dan sangat menggelisahkan rakyat. Rumah Sutini dan Samiun, suatu malam bulan Agustus lalu terbakar. Para tetangganya, penduduk Gunung Bokor di Kecamatan Sungai Rampah Deli Serdang, membantu kedua penduduk itu memadamkan api. Sebagian mencoba mengejar beberapa orang yang mereka sangka dengan sengaja menyalakan api. Tapi yang dikejar buru-buru kabur dengan kendaraan jip. "Mereka berpakaian seragam seperti polisi," kata Samiun. Polisi membakar rumah penduduk? Tak jelas benar. Tapi keesokan harinya memang ada sejumlah polisi turun ke desa. Tapi petugas ini bukan hendak mengusut soal kebakaran rumah Samiun dan Sutini. Sebab mereka mengemban tugas lebih penting: Samiun beserta beberapa tetangganya, ditangkap dan diseret ke kantor polisi. Kepada penduduk yang lugu ini tak ditunjukkan sepotong surat keterangan apapun. Samiun, yang tertua di antara mereka, 85 tahun, ditahan bersama Panut Sarwan, Musiran dan Suhut. Tuduhantelah mengancam keselamatan buruh-buruh perkebunan PT Sulung Laut atau Cina Kasih -- mudah diduga siapa pemiliknya -- yang tengah bekerja meratakan tanah dan sekaligus menggusur rumah, tanaman jagung, ubi, kacang milik penduduk serta kuburan dan masjid. Samiun tak membantah tuduhan. Katanya kemudian, "habis mereka membabat tanaman dan rumah kami seenaknya sendiri." Delapan hari penduduk Gunung Bokor ini mendekam dalam tahanan polisi. Polisi menyiksa dengan tamparan, pukulan, tendangan atau juga memaksa mereka mencuci kakus. Buntut-buntutnya polisi memperlihatkan sebuah surat yang tak dimengerti mereka. Hanya dikatakan berisi perjanjian yang pernah diteken beberapa orang penduduk, yang menyatakan dirinya harus meninggalkan tanah garapan bila sewaktu-waktu perkebunan memerlukannya. Sebab, katanya, tanah itu milik perkebunan yang digarap penduduk hanya berdasarkan pinjam pakai belaka. Surat yang ditunjukkan polisi itu membingungkan mereka. "Saya tidak pernah merasa meneken surat apapun," tutur Samiun kemudian. Namun, dalam keadaan kepepet, bagaimana Samiun dkk dapat membantah polisi? Mereka mengangguk bersama-sama. Beres dengan surat yang satu itu, polisi mengeluarkan surat lain. Dan harus ditandatangani pesakitannya saat itu juga. Apa isinya? Samiun atau yang lain tak mungkin tahu. Sebab mereka semua buta huruf. Pingsan Belakangan baru tahu isi surat yang diteken itu. Yaitu setelah mereka dibebaskan. Samiun tak menemukan rumahnya lagi. Tempat tinggal berikut tanaman di kebunnya telah rata kena traktor. Rupanya, menurut Samiun, surat itu merupakan penandatanganan pengrobohan rumah dan perataan kebun sayurnya. Samiun pun pingsan! Ganti rugi memang diberikan PT Sulung Laut kepada penduduk yang kehilangan rumah dan kebun. Orang seperti Samiun, misalnya, hanya menerima Rp 35 ribu untuk 2 hektar tanahnya. Itu tidak memuaskan. Karena itu mereka mengadu dan protes. Surat dikirimkan ke berbagai instansi pemerintah yang dianggap bisa dipercaya menyelesaikan urusan rakyat. Mulai dari Gubernur Sumatera Utara, Kepala Inspeksi Agraria Daerah Sum-Ut, sampai ke Bupati Deli Serdang. Tapi tak satupun dari para pejabat tersebut menjawab keluhan mereka -- apalagi turun tangan langsung menyelesaikannya. Untunglah sebuah surat, yang hanya merupakan tembusan saja, sampai ke meja DPRD Deli Serdang dengan baik. Dewan segera menurunkan anggotanya, Perdinan Sinurat dan Harun Hadi Prawira (PDI), ke Gunung Bokor. Mereka menyaksikan petugas kepolisian dan militer menangkapi penduduk. Bahkan, Saur br Sinurat (40 tahun), diseret petugas Koramil di bawah hidung anggota DPRD ini. Pulang Malam Alat negara terus menyebar ancaman: barang siapa tidak bersedla menerima ganti rugi dan tidak mau mengosongkan tanah perkebunan dengan segera akan ditindak! Desa Gunung Bokor jadi sepi. Siang hari penduduk menyelinap ke desa tetangga mencari perlindungan di rumah kenalan atau famili. Malam hari baru mereka berani pulang. Beberapa yang pulang malam juga kena cegat dan dipaksa menerima syarat: "Turuti apa yang dimaui pihak perkebunan" - begitu ancam petugas. Sementara itu buruh-buruh PT Sulung Laut tetap bekerja mentraktori kebun penduduk dengan pengawalan bersenjata. Berhubung anggota DPRD setempat kewalahan maka perlu bantuan DPR dari Pusat. Sebanyak 54 kepala keluarga berkumpul awal Oktober itu dan dipersilakan bicara langsung dengan Abdullah Eteng --beberapa menit sebelum polisi datang memborgol Manurung dan Syahri. Mereka menyatakan, telah menduduki tanah garapan mereka sejak 1953, yaitu sejak daerah itu masih merupakan hutan belantara. Untuk memenuhi hajat hidup mereka hutanpun diterabas dan dijadikan pedesaan. Pohon-pohon raksasa harus ditumbangkan. "Batangnya saja rata-rata dua kali pelukan orang," kata Samiun. Terbukalah Gunung Bokor dengan areal 90 hektar. Rakyat yang merasa punya hak setelah susah payah membuka hutan, menanami tanah garapannya dengan macam-macam keperluan: sayur, buah atau cengkeh. Tak ada gangguan apapun. Sampai muncul PT Sulung Laut, tahun 1963, yang tiba-tiba dikenal penduduk setelah minta tanah dari penduduk sebanyak 44 hektar tanpa ganti rugi sesenpun. Keributan kecil terjadi. Namun penduduk cepat menganggap urusan beres setelah Camat setempat dan pejabat lainnya turut mengatur. Sebanyak 44 hektar tanah garapan mereka ikhlaskan waktu itu. Dan sekarang, sisanya hendak dihabiskan pula oleh perusahaan swasta itu. Untuk itu Laksamana Sudomo, Pangkopkamtib, sudah menyerahkan urusan kepada pejabat di daerah. "Di sana 'kan ada Tambunan (Gubernur)! " Pesannya, seperti biasanya wanti-wanti pejabat penegak hukum "jangan sewenang-wenang menangkapi orang." Tapi persoalan rupanya bukan hanya tentang penangkapan sewenang-wenang. Sebab perkara ganti rugi itu juga menyangkut masa depan warga Gunung Bokor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus