ACARA sedang berlangsung. Baru setengah jam Abdullah Eteng,
anggota DPR RI, bicara dari hati ke hati dengan rakyat yang
diwakilinya, penduduk Desa Gunung Bokor di Sumatera Utara, 6
Oktober lalu. Mendadak muncul petugas kepolisian. Dua orang
hadirin, Syahri dan Manurung, dicomot dari muka hidung wakil
rakyatnya dan langsung diborgol.
Tentu saja hal itu membuat Abdullah Eteng, yang datang dari
pusat ini, merasa tak diindahkan. Diapun menghardik polisi:
"Saudara belum kenal saya?!" Kenal tidak kenal, nampaknya polisi
tidak ambil peduli. Salah seorang dari merekapun menjawab dengan
tak kalah kerasnya: "Perintah tangkap ini langsung dari Danres
Deli Serdang dan harus dilaksanakan saat ini juga!"
Abdullah Eteng, walaupun ia yakin kedudukannya sangat penting di
negeri ini, cuma mampu mengelus dada. "Okeylah, kalau begitu,"
katanya. Polisi pun segera berlalu dari sana dan terus
menggiring tangkapan terborgol itu ke Kores 202 Deli Serdang di
Tebing Tinggi. Abdullah mengakhiri pertemuannya dengan penduduk
sembari berjanji, akan membawa urusan lebih jauh ke pejabat yang
lebih penting lagi di Jakarta.
Sudah banyak yang terjadi sebelumnya -- dan sangat
menggelisahkan rakyat. Rumah Sutini dan Samiun, suatu malam
bulan Agustus lalu terbakar. Para tetangganya, penduduk Gunung
Bokor di Kecamatan Sungai Rampah Deli Serdang, membantu kedua
penduduk itu memadamkan api. Sebagian mencoba mengejar beberapa
orang yang mereka sangka dengan sengaja menyalakan api. Tapi
yang dikejar buru-buru kabur dengan kendaraan jip. "Mereka
berpakaian seragam seperti polisi," kata Samiun.
Polisi membakar rumah penduduk? Tak jelas benar. Tapi keesokan
harinya memang ada sejumlah polisi turun ke desa. Tapi petugas
ini bukan hendak mengusut soal kebakaran rumah Samiun dan
Sutini. Sebab mereka mengemban tugas lebih penting: Samiun
beserta beberapa tetangganya, ditangkap dan diseret ke kantor
polisi. Kepada penduduk yang lugu ini tak ditunjukkan sepotong
surat keterangan apapun.
Samiun, yang tertua di antara mereka, 85 tahun, ditahan bersama
Panut Sarwan, Musiran dan Suhut. Tuduhantelah mengancam
keselamatan buruh-buruh perkebunan PT Sulung Laut atau Cina
Kasih -- mudah diduga siapa pemiliknya -- yang tengah bekerja
meratakan tanah dan sekaligus menggusur rumah, tanaman jagung,
ubi, kacang milik penduduk serta kuburan dan masjid. Samiun tak
membantah tuduhan. Katanya kemudian, "habis mereka membabat
tanaman dan rumah kami seenaknya sendiri."
Delapan hari penduduk Gunung Bokor ini mendekam dalam tahanan
polisi. Polisi menyiksa dengan tamparan, pukulan, tendangan atau
juga memaksa mereka mencuci kakus. Buntut-buntutnya polisi
memperlihatkan sebuah surat yang tak dimengerti mereka. Hanya
dikatakan berisi perjanjian yang pernah diteken beberapa orang
penduduk, yang menyatakan dirinya harus meninggalkan tanah
garapan bila sewaktu-waktu perkebunan memerlukannya. Sebab,
katanya, tanah itu milik perkebunan yang digarap penduduk hanya
berdasarkan pinjam pakai belaka.
Surat yang ditunjukkan polisi itu membingungkan mereka. "Saya
tidak pernah merasa meneken surat apapun," tutur Samiun
kemudian. Namun, dalam keadaan kepepet, bagaimana Samiun dkk
dapat membantah polisi? Mereka mengangguk bersama-sama. Beres
dengan surat yang satu itu, polisi mengeluarkan surat lain. Dan
harus ditandatangani pesakitannya saat itu juga. Apa isinya?
Samiun atau yang lain tak mungkin tahu. Sebab mereka semua buta
huruf.
Pingsan
Belakangan baru tahu isi surat yang diteken itu. Yaitu setelah
mereka dibebaskan. Samiun tak menemukan rumahnya lagi. Tempat
tinggal berikut tanaman di kebunnya telah rata kena traktor.
Rupanya, menurut Samiun, surat itu merupakan penandatanganan
pengrobohan rumah dan perataan kebun sayurnya. Samiun pun
pingsan!
Ganti rugi memang diberikan PT Sulung Laut kepada penduduk yang
kehilangan rumah dan kebun. Orang seperti Samiun, misalnya,
hanya menerima Rp 35 ribu untuk 2 hektar tanahnya. Itu tidak
memuaskan.
Karena itu mereka mengadu dan protes. Surat dikirimkan ke
berbagai instansi pemerintah yang dianggap bisa dipercaya
menyelesaikan urusan rakyat. Mulai dari Gubernur Sumatera Utara,
Kepala Inspeksi Agraria Daerah Sum-Ut, sampai ke Bupati Deli
Serdang. Tapi tak satupun dari para pejabat tersebut menjawab
keluhan mereka -- apalagi turun tangan langsung
menyelesaikannya.
Untunglah sebuah surat, yang hanya merupakan tembusan saja,
sampai ke meja DPRD Deli Serdang dengan baik. Dewan segera
menurunkan anggotanya, Perdinan Sinurat dan Harun Hadi Prawira
(PDI), ke Gunung Bokor. Mereka menyaksikan petugas kepolisian
dan militer menangkapi penduduk. Bahkan, Saur br Sinurat (40
tahun), diseret petugas Koramil di bawah hidung anggota DPRD
ini.
Pulang Malam
Alat negara terus menyebar ancaman: barang siapa tidak bersedla
menerima ganti rugi dan tidak mau mengosongkan tanah perkebunan
dengan segera akan ditindak! Desa Gunung Bokor jadi sepi. Siang
hari penduduk menyelinap ke desa tetangga mencari perlindungan
di rumah kenalan atau famili. Malam hari baru mereka berani
pulang. Beberapa yang pulang malam juga kena cegat dan dipaksa
menerima syarat: "Turuti apa yang dimaui pihak perkebunan" -
begitu ancam petugas. Sementara itu buruh-buruh PT Sulung Laut
tetap bekerja mentraktori kebun penduduk dengan pengawalan
bersenjata.
Berhubung anggota DPRD setempat kewalahan maka perlu bantuan DPR
dari Pusat. Sebanyak 54 kepala keluarga berkumpul awal Oktober
itu dan dipersilakan bicara langsung dengan Abdullah Eteng
--beberapa menit sebelum polisi datang memborgol Manurung dan
Syahri. Mereka menyatakan, telah menduduki tanah garapan mereka
sejak 1953, yaitu sejak daerah itu masih merupakan hutan
belantara. Untuk memenuhi hajat hidup mereka hutanpun diterabas
dan dijadikan pedesaan. Pohon-pohon raksasa harus ditumbangkan.
"Batangnya saja rata-rata dua kali pelukan orang," kata Samiun.
Terbukalah Gunung Bokor dengan areal 90 hektar.
Rakyat yang merasa punya hak setelah susah payah membuka hutan,
menanami tanah garapannya dengan macam-macam keperluan: sayur,
buah atau cengkeh. Tak ada gangguan apapun. Sampai muncul PT
Sulung Laut, tahun 1963, yang tiba-tiba dikenal penduduk setelah
minta tanah dari penduduk sebanyak 44 hektar tanpa ganti rugi
sesenpun. Keributan kecil terjadi. Namun penduduk cepat
menganggap urusan beres setelah Camat setempat dan pejabat
lainnya turut mengatur. Sebanyak 44 hektar tanah garapan mereka
ikhlaskan waktu itu. Dan sekarang, sisanya hendak dihabiskan
pula oleh perusahaan swasta itu.
Untuk itu Laksamana Sudomo, Pangkopkamtib, sudah menyerahkan
urusan kepada pejabat di daerah. "Di sana 'kan ada Tambunan
(Gubernur)! " Pesannya, seperti biasanya wanti-wanti pejabat
penegak hukum "jangan sewenang-wenang menangkapi orang." Tapi
persoalan rupanya bukan hanya tentang penangkapan
sewenang-wenang. Sebab perkara ganti rugi itu juga menyangkut
masa depan warga Gunung Bokor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini