Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengawasan dan uji emisi kendaraan kategori N dan O belakangan menjadi cara pemerintah untuk meredam pencemaran udara dari sektor transportasi di Jakarta dan sekitarnya. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan upaya pengurangan emisi harus diperluas dari satu pool kendaraan kategori N dan O ke pool yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Menggunakan segala sumber daya untuk mengurangi emisi sebesar 33 hingga 35 persen," ujar Hanif dalam siaran resmi pada Rabu, 12 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uji emisi di wilayah PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) mengawali rangkaian kegiatan serupa yang akan dilaksanakan di Pelabuhan Pelindo mulai 18 Maret 2025. Kegiatan ini akan diteruskan ke terminal dan pintu tol utama wilayah Jabodetabek.
Area pengujian emisi mencakup kawasan berikat, kawasan industri, pelabuhan, terminal, serta area lainnya. Program ini dijalankan bersama oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perhubungan, Korps Lalu Lintas Polri, serta Dinas Perhubungan dan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
Berdasarkan kajian pada 2019 dan 2023, kendaraan berat atau heavy duty vehicles (HDV) seperti truk dan kendaraan besar berbahan bakar diesel menjadi penyumbang polusi udara terbesar di Jabodetabek, yakni lebih dari 50 persen parameter PM2,5. Adapun kendaraan tipe light duty vehicles (LDV) berkontribusi lebih dari 20 persen. Hal ini yang membuat pemerintah mendorong standar emisi EURO 4 dan baku mutu emisi kendaraan.
Menurut Hanif, pemerintah menindak kendaraan tidak lulus emisi dan mendorong penggunaan bahan bakar ramah lingkungan. "Pemilik kendaraan juga didorong rutin melakukan servis."
Aturan emisi kini masuk dalam pengujian berkala kendaraan bermotor sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 54 aturan menyatakan pemilik kendaraan yang tidak laik jalan bisa dikenai beberapa jenis sanksi, mulai dari peringatan tertulis, atau pembayaran denda. Pelanggaran terberat berpotensi dikenai pembekuan atau pencabutan izin sesuai Pasal 76 dari UU yang sama.
Menteri Hanif merencanakan penerapan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 100 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelaku yang lalai dan menyebabkan pencemaran udara bisa mendapat pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda paling besar Rp 3 miliar.
“Kami akan menindak tegas perusahaan atau pelaku yang tidak memenuhi baku mutu lingkungan dan menyebabkan pencemaran udara” tutur Hanif.