Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hijau kembali tanpa pidato-pidatoan

Kelompok tani cibanteng berhasil menghutankan padang alang-alang. hutan di kawasan cibanteng di tanami padi, kopi, jagung dan kedelai. juara i lomba kelompok tani hutan rakyat tingkat nasional.(ling)

27 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUTAN di kawasan Cibanteng, Desa Manglid, Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat, itu bukan hanya hijau dan rimbun. Di sela-selanya juga ada tanaman padi, kopi, dan kedelai. Bahkan di beberapa tempat terdapat kolam ikan yang tampak jernih airnya. Padahal, "Dulu kawasan ini tak lebih dari padang alang-alang," ujar Djamhuri, 37, ketua Kelompok Tani Cibanteng yang punya 150 anggota. Karena penghijauan yang sukses itu, mereka muncul sebagai pemenang pertama lomba kelompok tani hutan rakyat. Disebut hutan rakyat karena berlokasi di tanah milik rakyat. Piagam dan hadiah uang Rp 650.000 diserahkan sendiri oleh Presiden Soeharto pada peresmian Pekan Penghijauan Nasional (PPN) yang dipusatkan di Desa Arjasari, Kecamatan Pemeungpeuk (35 km selatan Bandung), Ja-Bar, pada 17 Desember silam. Dalam PPN tersebut, selain hutan rakyat, dilombakan juga upaya kelompok tani areal dampak usaha pelestarian sumber alam, areal dampak usaha tani menetap, areal dam pengendali, dan lomba kegiatan petugas lapangan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah teladan. Kelompok Tani Cibanteng, rasanya, pantas menjadi juara nasional tahun ini. Kesadaran lingkungan mereka cukup tinggi, meski, dllihat dari pendidikannya, kebanyakan mereka tidak lulus sekolah dasar, kecuali dua orang -- di antaranya Djamhuri, ketua kelompoknya. Sebelum ikut lomba ini, hutan Cibanteng juga sudah menghasilkan piagam dan uang Rp 600.000 dari Gubernur Ja-Bar, Yogie S.M., karena hutan rakyat itu terbilang paling baik di wilayah Jawa Barat. Penghargaan itu, tentu saja, membuat penduduk Desa Manglid amat girang, terutama kelompok taninya. Tidak percuma mereka menggarap padang alang-alang selama empat tahun ini. Kini tak ada lagi keluhan, seperti kata Djamhuri, "Menanam singkong saja umbinya cuma sebesar ibu jari." Bukan prestasi kecil, memang, kerja kelompok tani di sana. Pada 1982, atas saran Bupati Pandeglang, Djamhuri mampu membujuk 35 orang untuk memulai organisasi para tani ini. Menurut Suyaman, Bupati Pandeglang, memang agak sulit berkomunikasi dengan petani yang rata-rata pendidikannya rendah. "Pidato-pidatoan di sini tak laku," kelakarnya. "Apalagi, di wilayah ini, masih banyak jawara yang disegani penduduk," katanya pada Hasan Syukur dari TEMPO. Jawara ini semacam jagoan yang punya pengaruh cukup luas di samping pengaruh ajengan atau kiai. Namun, akhirnya 150 petani Desa Manglid terangkul dalam kelompok tani tersebut, setahun kemudian. Mereka sudah menyadari, adanya padang alang-alang itu juga merupakan sebagian dari ulah mereka juga. Sebab, itu tidak akan muncul bila dulu ketika masih berupa hutan asli -- pepohonannya tidak mereka tebangi. Tutur Djamhuri, banyak pohon yang berusia puluhan bahkan ratusan tahun dibabat. Semak belukar dibakar, lalu dipakai penduduk setempat untuk berladang. Setelah panen, tanah itu ditinggalkan begitu saja. Dan, sesuai dengan gaya petani nomaden, mereka lantas membabat hutan lagi untuk bercocok tanam. Sampai-sampai tak kurang dari 250 ha lahan di Desa Manglid kemudian dihuni alang-alang itu. Cara pertanian berpindah-pindah itu menjadi salah satu penyebab kerusakan tanah. Dari 260.960 ha Kabupaten Pandeglang, wilayah terluas dibanding kabupaten se-Jawa Barat, tahun 1980-an tercatat lahan kritis hampir 30.000 ha. Lalu, Bupati Pandeglang membuat proyek percontohan penghijauan di kawasan Cibanteng, yang dulu sudah dikenal sebagai hutan "Blok Cibanteng". Melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1983/1984, subsidi biaya penghijauan Rp 41.500 tiap hektar, dan bisa ditanam 1.650 batang albasia (balsa). Kelompok Tani Cibanteng menggarap 150 ha. Rumput ilalang lalu dibasmi. "Itu saja memakan waktu empat bulan, sebelum mulai menanam," ujar Djamhuri. Menurut petugas khusus penghijauan Kabupaten Pandeglang, Purwadi, kesuburan tanah pertanian bekas petani nomaden memang jauh berkurang. Pemulihannya memerlukan waktu sekitar lima tahun. Dan, kalau tidak segera ditangani, "Sekali kawasan itu menjadi tandus, sulit untuk membuatnya subur kembali," ujar sarjana pertanian lulusan UGM itu. Dengan albasia, kawasan Cibanteng, yang terletak sekitar 80 km selatan Pandeglang, itu menjadi hijau kembali. Ilalang pun, karena sinar matahari banya terhalang rerimbunan albasia, terhambat pertumbuhannya. Lama kelamaan musnah. Lalu tanah di antara pohor hijau itu digarap. Sebagian kelompok tani menjadikannya sawah. Lahar pada ketinggian 200 m dari permukaan laut itu ternyata, juga cocok untuk menanam kopi, jagung, kedelai, juga kapulaga -- sejenis tanaman obat. Kemudian, seperti mukjizat, air pun merembes keluar. Dengan air ini, tanaman padi di situ tidak bergantung pada hujan, seperti 40 ha sawah tadah hujan lain di Desa Manglid ini. Ada anggota kelompok tani yang mengalirkan air sawahnya untuk kolam ikan. Penghasilan petani dengan demikian bertambah. Apalagi jalan beraspal sudah terbuka ke Rangkasbitung. Sehingga lalu lintas ke sana untuk mengangkut hasil bumi pun lancar. "Bayangkan saja, dulu, sebelum ada jalan seharian memikul baru sampai tujuan," kata Madsaleh, 40, seorang petani Manglid. Maklum, jarak ke Rangkasbitung sekitar 40 km Kini, tampaknya, semangat para petani di sana menggebu. Setidaknya bila mendengal ada bibit albasia gratis, para petani tak segar datang untuk mendapatkan bagian. Yang paling girang mungkin Udin, 32 Kepala Desa Manglid. Setelah hutan Cibanteng dua kali meraih gelar juara, ia kini lebih leluasa melancarkan gerakan penghijauan pada hampir setengah wilayahnya yang luasnya 1.841 ha -- selain hutan Cibanteng Soalnya, sebelumnya, Udin merasa sudah cukup lama memberikan penerangan-penerangan, tapi sulit diterima masyarakatnya. "Akhirnya," katanya, "pengalaman pahit mereka sendiri yang menyadarkannya." Suhardjo Hs.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus